Saat alunan suling manis dan denyar renyah dari gamelan semarandana terdengar dari sisi kiri panggung, kita seakan tahu pentas apa yang akan tersuguh di atas panggung Ksirarnawa, Taman Budaya Denpasar, Bali, pada Selasa malam, 1 Februari 2022.
Dan seakan bisa ditebak, dari balik panggung keluar kemudian sederet perempuan dan laki-laki, lalu menari, lalu menanyi. Dari sisi panggung sebelah kiri, alunan semarandana dengan setia mengiringi. Namun mata penonton hampir dipastikan terpusat di atas panggung. Gendang telinga penonton pastilah terfokus pada tembang-temang klasik berbahasa Bali yang benar-benar menghanyutkan hati.
Begitulah sasolahan sandyagita “Ranu Murti” dimulai. Sasolahan dari Sanggar Seni Bungan Dedari Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar itu menjadi penutup dari rangkaian acara pembukaan Bulan Bahasa Bali yang dibuka Gubernur Wayan Koster.
Satu sumber menyebutkan, sandyagita berasal dari gabungan kata sandi (perpaduan), vadya (musik instrumenal), dan gita (seni suara vokal). Jadi, sandyagita merupakan suatu olah garap musikal yang menggabungkan antara konsep seni suara (tembang) dengan konsep seni musik gamelan.
Jadi, pada sandyagita, yang terpenting adalah musik dan nyanyian. Jika pun penyanyinya menggerakkan tubuh dan tangan, itu lebih sebagai semacam komposisi panggung agar tetap enak dipandang mata. Gerakan itu bukan gerakan tari pada umumnya, melainkan hanya sebagai pelengkap dari suara music dan nyanyian.
Namun pada Sandyagita “Ranu Murti” ini tarian digarap dengan cara yang sama seriusnya dengan music dan nyanyian. Tentu saja, karena sandyagita ini digarap untuk menyampaikan sebuah cerita yang cukup panjang tentang air. Tak cukup cerita itu dilantunkan lewat kata-kata Bahasa Bali dalam nyanyian, namun juga digarap menjadi tarian dan adegan-adegan dramatis.
Dikisahkan, Danau Batur sebagai stana Dewa Wisnu Pura Kahyangan Jagat merupakan sumber air kehidupan, mengalir dan merembes bermunculan dalam berbagai mata air baik dalam bentuk danu, klebutan, pancuran, bulakan, dalam berbagai Pura Beji, tempat pasucian manifestasi personifikasi Dewata.
Dari sumber-sumber mata air seperti ini masyarakat menjadikan tirta suci untuk ritual keagamaan. Penyatuan Sanghyang Tri Murti yakni Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa distanakan dalam pemujaan Pura-pura Patirtan menjadikan masyarakat Hindu dikenal sebagai penganut Agama Tirta.
Dari semburan mata air itu tersembur juga fungsi, kekuatan peruntukan air suci, baik sebagai tirta anugrah, tirta panglukatan palebur berbagai mala papa pataka kotoran alam buana agung dan juga buana alit.
Disamping itu juga menjadi mata air tanah kehidupan masyarakat, sementara aliran air limbahnya manjadi irigasi pengairan persawahan, tegalan dengan pengelolaan subak system dan budayanya.
Syahdan, kekuatan senjata bajra Dewa Indra menggelegar dalam bentuk pecutan kilat, tatit dan kakuwung sebagai dewa hujan, mampu membasmi keangkaraan Bhuta Durjana bersama pengikutnya yang berniat meracuni air amerta ciptaanNya. Kisah Bhuta Durjana yang tafakur haus akan kekuasaan, kehormatan dan tidak percaya akan keberadaan Tuhan dan menyatakan dirinya adalah yang kuasa patut untuk disembah oleh umat manusia menjadi lenyap oleh kekuatan air suci yang menyembur “Tirta Muncar” tirta amerta anugrah ciptaan Hyang Indra.
Sebagai seorang Yogiswaraning yadnya Sang Kulputih dengan pengikutnya mentaati ajaran keTuhanan memohon kehadapan Dewa Indra agar rakyat terbebas dari keangkaramurkaan manusia-manusia biadab seperti Bhuta Durjana yang diselimuti kegelapan. Dewa Indra sebagai gelegar kilat tatit dan kekuwungnya membuat para petani menjadi sangat senang, karena dari berkah hujanlah kesuksesan petani dapat mewujudkan srada baktinya dengan memuja dan memuliakan air sebagai sumber kehidupan.
Danu Kertih yakni memuliakan sumber mata air sebagai sumber kesejahteraan hidup manusia dan alam semesta, menjadi tuntutan kesadaran untuk tetap menjaga kesucian kualitas kemurnian air sebagai sumber kehidupan.
Cerita yang sarat dengan pesan moral dan pesan tentang penyelamatan lingkungan itulah yang diramu dalam music, tari dan nyanyian, yang digarap dengan cukup apik di panggung Ksirarnawa itu.
Sasolahan sandyagita ini dikoordinatori oleh I Gede Mawan dan didukung sekitar 50 pendukung penembang, penari dan penabuh. Mereka tentu saja tak hanya lihai dalam matembang (menyanyikan ayat-ayat kemuliaan tentang air), tetapi juga piawai menari.
“Yang membedakan dengan sandyagita yang biasa dikenal sebelumnya, yakni ada penokohan drama musikal. Selain menyajikan vokal, tari juga ada perpaduan dengan penayangan elidi yang mendukung suasana adegan,” papar Gede Mawan yang juga Ketua Sanggar Bungan Dedari, yang juga dosen Karawitan ISI Denpasar ini.
Konseptor garapan, yakni Desak Made Suarti Laksmi, mengemas garapan ini dengan cukup lihai, sehingga tari, nyanyian dan musik terlihat dan terdengar padu. Meski lirik-lirik lagu yang dinyanyikan sulit dimengerti, karena bahasa yang digunakan sepertinya lebih banyak Bahasa Bali atau Jawa Kuno, bukan bahasa Bali keseharian. Namun secara total, sebagai aksi panggung, sasolahan ini bisa disebut berhasil. [T][Ole/*]