11 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Matinya Kritisme: Ancaman Nyata Bali Hari Ini

Teddy Chrisprimanata PutrabyTeddy Chrisprimanata Putra
January 27, 2022
inUlasan
Matinya Kritisme: Ancaman Nyata Bali Hari Ini

Buku "Bali, Pandemi, Refleksi, Dinamika Politik Kebijakan dan Kritisisme Komunitas"

  • Ulasan Buku “Bali, Pandemi, Refleksi, Dinamika Politik Kebijakan dan Kritisme Komunitas“

Sejak I Ngurah Suryawan mengunggah satu postingan di akun sosial medianya tentang buku terbarunya, saya memutuskan harus membacanya. Sejauh ini, saya sudah membaca dua bukunya; Mencari Bali yang Berubah (2018) dan Saru Gremeng Bali, Sepilihan Esai Kritik Kebudayaan (2020)—juga membaca esai-esainya yang banyak dimuat oleh media-media di Bali. Buku yang terbit pada November 2021 ini ia beri judul “Bali, Pandemi, Refleksi, Dinamika Politik Kebijakan dan Kritisme Komunitas”. Desain sampul khas dari Gus Dark juga semakin membuat buku ini menarik untuk dibaca. Jadi, mari mulai pembahasannya.

Pasca pandemi Covid-19 menghantam, Bali seolah kehilangan pijakan. Pariwisata yang menjadi sumber pangupa jiwa sebagian besar masyarakat Bali mati. Tidak ada lagi riuh wisatawan menghiasi Bali. Bali kehilangan lebih dari 50% sumber penghasilannya. Wajar saja ekonomi Bali terseok-seok, banyak pekerja kehilangan mata pencahariannya—utamanya di sektor pariwisata. Kamar hotel didominasi oleh kamar kosong, pemilik vila sibuk banting harga, pemilik jasa transportasi mulai bingung cari cara bayar cicilan, hingga banyak proyek penunjang pariwisata mangkrak karena kehabisan modal. Bali layaknya kembang yang kehabisan sari untuk dihisap lebah, dan akhirnya ditinggalkan.

Wabah yang sering ditulis gering agung oleh I Ngurah Suryawan telah memberi pelajaran untuk masyarakat Bali—khususnya yang bergantung pada sektor pariwisata, meski kini semua sektor telah terintegrasi dengan pariwisata. Itulah konsekuensi menjadikan pariwisata sebagai panglima ekonomi. Pariwisata merupakan sebuah industri yang sangat rentang, ada 2 hal yang harus dijaga jika ingin industri ini dapat berumur panjang; keamanan dan kenyamanan.

Pertanyaannya, siapa yang bisa menjamin keamanan dan kenyamanan wisatawan di tengah situasi yang serba tidak pasti akibat Covid-19, apalagi kini begitu banyak varian dengan tingkat risiko yang juga berbeda-beda—membuat persoalan kesehatan semakin pelik. Oleh karenanya, sinergi pemerintah dengan seluruh pengampu kepentingan sangat penting di tengah situasi seperti sekarang ini. Pariwisata di Bali nampaknya memberikan efek samping yang rumit untuk diselesaikan dalam waktu singkat. Dampak-dampak yang diberikan oleh pariwisata inilah yang coba disampaikan oleh I Ngurah Suryawan dalam buku ini—tentu untuk mengajak kita agar lebih awas terhadap dampaknya.

Bali Manis Tanpa (dengan) Pemanis Buatan

Pemanis buatan merupakan bahan yang digunakan untuk memberikan rasa manis kepada suatu makanan, atau lainnya sehingga menimbulkan cita rasa yang berbeda dan lebih menarik dari biasanya. Penggunaan pemanis buatan tentu bukannya tanpa efek samping, banyak pemanis buatan memberi kerugian—khususnya kesehatan. Analogi tersebut sepertinya cukup tepat untuk menggambarkan kondisi Bali dewasa ini.

Dalam konteks hari ini, pemanis buatan tersebut dapat diidentikkan dengan pariwisata. Menjadi panglima ekonomi menjadikan pariwisata sangat dielu-elukan masyarakat Bali hingga hari ini. Sekolah pariwisata dari swasta sampai negeri, desa sampai kota berdiri bak jamur di musim penghujan. Seluruh pelosok berlomba-lomba untuk bersolek guna terlihat cantik dan menarik di mata wisatawan—sampai-sampai merubah bentang alam pun dilakukan untuk mendatangkan gemerincing dollar. Tentu rasanya begitu manis, tapi manis berlebih memiliki efek samping yang tidak terkira.

“Kini, budaya dan agama adalah sebuah modal, ‘barang’, ‘hak milik kebudayaan’ yang dimiliki orang Bali untuk dijual dalam bungkus pariwisata. Dalam kemasan investasi, pembangunan infrastruktur dan industrialisasi, pariwisata ditampilkan ‘manis dan manusiawi’ untuk kesejahteraan masyarakatnya.” (hal. 3).

Kini pembatas antara budaya, agama, dan pariwisata hanya garis tipis yang bisa dihapus kapan saja. Buat masyarakat Bali kini budaya, agama dan pariwisata menjadi modal krusial untuk menggerakkan hidup masyarakat Bali. Pariwisata membuat masyarakat Bali nyaman dalam dekapan mimpi, tertidur pulas dan abai dengan situasi sekitar—fokus untuk mencari gemerincing dollar agar bungut paon tetap menyala.Kemasan “pariwisata budaya” menggiring masyarakat Bali menyisipkan unsur pariwisata di setiap ruang-ruang kebudayan dan agama. Pemanis buatan telah menjadi candu, berbagai upaya pun dilakukan untuk mengabdi pada pariwisata yang telah mendatangkan gemerincing dollar, sekaligus meminggirkan dan menjadikan bidang-bidang lain sangat kecil bagaikan remah-remah wafer di kaleng Khong Guan.

Pemanis buatan yang disebut “gincu” oleh I Ngurah Suryawan diibaratkan sebagai upaya-upaya berlebih yang dilakukan untuk mempercantik diri, tentu bertujuan mendatangkan lebih banyak wisatawan. Karena semakin banyak wisatawan yang datang, semakin banyak dollar yang datang, semakin banyak pula masyarakat (baca: investor) yang menikmati keuntungannya.

Investasi kini menjadi penting. Tanpa modal-modal fantastis dari investor, Bali akan kesulitan memenuhi ambisinya untuk meningkatkan jumlah wisatawan yang datang ke Pulau Seribu Pura—kalau kata I Ngurah Suryawan Pulau Sejuta Ruko. Lewat investasi, Bali mempercantik diri. Lewat investasi pula masyarakat Bali kehilangan tanah untuk menghaturkan ayah yang disebabkan kepemilikan tanah berpindah ke tangan investor. Tanah yang dijual dijadikan hotel, vila, spa, restoran, dan sebagainya. Lalu si pemilik usaha memperkerjakan orang lokal, dan orang lokal tersebut akan dengan bangga menyebut dirinya bekerja di hotel A, vila B, restoran C. Miris bukan?

Kebanggaan tersebut kini tak lagi dimiliki. Pandemi Covid-19 berhasil memporak-porandakan segala harapan dan impian. Hantaman ini memberi dampak begitu dasyat bagi industri pariwisata. Akhirnya yang terjadi, hotel A tutup, villa B menjual asetnya, restoran C merumahkan karyawannya. Alhasil, Bali yang menggantungkan sebagian hidupnya di pariwisata pun terhuyung dan jatuh. Kuta, Ubud, Tanah Lot, dan destinasi-destinasi kelas dunia lainnya pun jatuh—tak ada wisatawan berkunjung. Efek samping yang menyakitkan, untuk keuntungan yang tidak seberapa.

Kelindan Agama dan Budaya di dalam Kebijakan Publik di Bali

Munculnya pandemi covid-19 melahirkan kebingungan di tataran pengambil kebijakan. Siapa sangka persoalan serunyam ini melanda dunia? Bahkan tidak ada yang berpengalaman untuk menghadapi sebuah pandemi, termasuk Bali di dalamnya.

“Wabah dengan demikian tidak hanya memiliki dampak dari segi kesehatan, tetapi juga mampu mengubah tatanan sosial masyarakat hingga memusnahkan suatu peradaban.” (hal. 34).

Covid-19 menjelma menjadi muasal krisis multi dimensi. Segala aspek tak luput terdampak wabah yang berasal dari Wuhan, China ini. Sebagai daerah yang laku masyarakatnya kental dengan nilai-nilai agama dan budaya, riuh ritual dan berbagai festival budaya pun dipaksa menepi. Tidak ada lagi ritual dengan rangkaian acara yang membutuhkan waktu lama, melibatkan orang banyak, dan menghabiskan dana begitu besar. Semua dibuat serba minimalis—yang penting substansi katanya. Pawai Ogoh-Ogoh tidak dilakukan atas nama kepentingan bersama—terhindar dari covid-19.

Pada titik ini saya menarik nafas panjang, nyatanya segala riuh ritual yang kerap kali dilaksanakan masyarakat Bali bisa terlaksana dengan penuh kesederhanaan. Tentu ini menjadi angin segar bagi masyarakat Bali yang sedang berada di persimpangan. Kenapa saya katakan manusia Bali berada di persimpangan? Satu sisi manusia Bali harus beradaptasi dengan berbagai kemajuan (sifatnya begitu logis) agar tidak tertinggal karena persaingan yang begitu ketat. Sisi lainnya manusia Bali masih bergantung (baca: sangat percaya) dengan hal-hal di luar nalar, yeng erat kaitannya dengan ritual. Mendapatkan fakta bahwa ritual yang mulanya dilaksanakan dengan begitu megah kini dilaksanakan secara sederhana, tentu sedikit membuka mata masyarakat Bali bahwa nyatanya pelaksanaan ritual tidak sekaku yang dikira sebelum-sebelumnya.

“Kita berorientasi pada yang tinggi, di masa depan. Yang sedang kita bangun adalah peradaban batin dan tenaga dalam. Kita yang hidup di dan oleh dunia, malu berurusan dengan duniawi. Peradaban tinggi ini, menyebabkan kita lebih mampu berkomunikasi dengan penghuni alam atas sana daripada dengan manusia, binatang, dan tumbuhan. Dengan sesame manusia kita sering gagal.” (hal. 39).

Di atas adalah usaha I Ngurah Suryawan mengutip pernyataan IBM Dharma Palguna dalam salah satu esainya yang berjudul “Nyejer Pejati dan Politik Ritual”. Peranan ritual di tengah masyarakat Bali yang tengah berada di persimpangan masih sangat penting. Segala hal tentu tak luput dari sentuhan ritual, tak terkecuali pandemi Covid-19. Kali ini Pemerintah Provinsi Bali bersama Majelis Desa Adat (MDA) Bali, dan Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali sangat gencar mengeluarkan himbauan agar masyarakat Bali tak henti-hentinya menghaturkan sesajen dan doa di merajan masing-masing dan memohon agar wabah ini segera berlalu.

Nyatanya hari ini pandemi covid-19 masih membayangi kehidupan. Lantas, apakah sesajen dan doa-doa masyarakat Bali yang dilakukan berdasarkan arahan penguasa wilayah tidak terkabul? Dalam hal ini menurut saya himbauan untuk menghaturkan sesajen dalam hal ini adalah pejati dan nasi wong-wongan adalah sebuah kegagalan. Pemerintah lupa kalau ritual harus didasari atas niat yang tulus, dan yang terpenting lagi adalah diimbangi dengan aksi nyata—langkah-langkah strategis penanganan pandemi covid-19 dari hulu ke hilir.

Niat tulus tampak samar mengingat begitu banyak masyarakat yang ngedumel di sosial media, “dadi betek baan himbauan dogen?” (memang bisa kenyang lewat himbauan saja?), kurang lebih begitu masyarakat Bali menumpahkan kekesalannya. Himbauan yang dilayangkan pun tidak diimbangi dengan aksi nyata yang dapat mengcover seluruh lapisan masyarakat yang rentan terhadap dampak yang diakibatkan oleh pandemi. Dalam esai yang berjudul “Gering, Ritual, dan Titik Balik Pariwisata” I Ngurah Suryawan menyebutkan bahwa segala macam wabah haruslah berorientasi pada korban—mengutamakan keselamatan dan kesehatan manusia, bukannya memberikan stimulus pada sektor pariwisata. Menurut saya ini penting karena manusia Bali lah perawat dan penjaga budaya yang “dijual” demi kepentingan pariwisata, gemerincing dollar, hiruk pikuk sudut-sudut destinasi wisata. Membiarkan manusia Bali terkapar dan mati, sama saja mematikan budaya.

Satu lagi hal krusial yang dihadirkan penguasa wilayah Bali baik secara administrasi, adat dan agama. Menjadikan ritual sebagai bahan untuk melahirkan kebijakan publik dengan harapan tidak ada yang mempertanyakan kebijakan tersebut, perlahan tapi pasti akan mendegradasi kualitas dari ritual tersebut—kasus serupa bisa dilihat dari tradisi dan budaya yang mulanya sakral perlahan dicarikan cara agar bisa dijual demi kepentingan pariwisata. Mungkinkah ini yang diharapkan oleh masyarakat Bali? Saya harap sih tidak.

Reorganisasi Ruang: Kesempatan yang Tidak Datang Dua Kali

Pandemi covid-19 harus diakui tidak hanya memberi hantaman luar biasa menyakitkan, tetapi juga memberi kita kesempatan untuk menarik nafas lebih panjang dari sebelumnya. Sebelum pandemi, nafas kita terengah-engah mengejar ambisi, pikiran dan tenaga difokuskan untuk menarik sebanyak-banyaknya investor ke Bali tanpa menimbang lebih jauh ketahanan lingkungan hingga sosial budaya yang dimiliki Bali.

Pariwisata benar-benar membutakan seluruh komponen di Bali. Mulai dari jajaran pemerintah, sampai ke masyarakat paling bawah. Benar-benar memuja pariwisata sebagai satu-satunya jalan yang dapat merubah nasib mereka. Pembangunan penunjang pariwisata gencar dilakukan, masyarakat mendadak banting setir untuk menjadi pelaku pariwisata.

“Menyeruaknya bisnis pariwisata di Nusa Penida meninggalkan situasi kegetiran masa pandemi. Jika sebelumnya Serawan (2019) melukiskan bahwa rompok-rompok sebagai ruang agraris sudah disulap menjadi bungalow dan restoran sebagai bukti kemajuan, kini, momen kemajua (pariwisata) tersebut sepi litig, sunyi senyap.” (hal. 11).

Nusa Penida tampak menjadi studi kasus yang sering diajukan oleh I Ngurah Suryawan dalam esai-esainya. Salah satu esainya dalam buku “Saru Gremeng Bali, Sepilihan Esai Kritik Kebudayaan” juga mengangkat tren pariwisata di Nusa Penida. Saya ingin mengelaborasikan apa yang sudah disampaikan I Ngurah Suryawan dalam esainya.

Saya sendiri memandang bahwa pariwisata benar-benar menyajikan proses yang instan dalam memperoleh keuntungan yang bisa membuat setiap orang ngiler akan jumlahnya. Sepenuturan sahabat saya yang tinggal di Nusa Penida, bahwa masyarakat di sana bisa membawa pulang uang dengan range Rp. 500.000 s.d Rp. 1.000.000. Bayangkan, dengan jumlah uang yang sebegitu besar, kecil kemungkinan masyarakat sekitar bertahan dengan profesi lamanya dan pasti memiliki kecenderungan untuk beralih ke pariwisata.

Benar kalau pariwisata adalah sektor yang dapat mendatangkan gemerincing dollar dalam waktu singkat. Tapi patut disadari pula bahwa tidak semua daerah dapat beradaptasi dengan sektor ini. Tidak semua daerah pula dapat memaksakan diri untuk bergantung pada pariwisata. Semestinya pemerintah daerah di tingkat I maupun II di Bali sudah memahami hal tersebut, setiap pemimpin mesti paham akan potensi daerahnya. Hal ini juga harus diikuti dengan partisipasi publik dalam mempertimbangkan potensi mana yang akan digarap. Memaksakan pariwisata di semua daerah yang ada di Bali sama saja menggiring Bali pada titik kehancuran.

Pandemi menjadi momentum untuk melakukan reorganisasi ruang. Setiap daerah mesti menonjolkan potensi terbesarnya, mengingat selama ini berbagai potensi yang ada terkubur oleh gemerlapnya pariwisata. Reorganisasi ruang yang dimaksud adalah bagaimana merancang grand design dalam upaya untuk mengelompokan berbagai sektor di masing-masing ruang khusus. Misal: satu daerah yang difokuskan untuk pertanian, satu lagi difokuskan untuk sektor industry, dan lainnya difokuskan untuk sektor pariwisata. Namun, tantangan dari hal tersebut adalah bagaimana mengintegrasikan satu sektor dengan sektor lainnya agar tercipta kesejahteraan bersama, tanpa meninggalkan kecemburuan antara daerah satu dengan daerah lain. Reorganisasi ruang ini penting untuk menghindari Bali makin tenggelam akibat rayuan gombal pariwisata.

Jargon “jaen hidup di Bali” hari ini tampak tidak relevan lagi. Karena pandemi, juga karena ketergantungan Bali dengan pariwisata menyebabkan Bali terkapar tak berdaya. Apa yang dipaparkan I Ngurah Suryawan dalam esainya yang terkumpul dalam “Bali, Pandemi, Refleksi, Dinamika Politik Kebijakan dan Kritisme Komunitas” ini saya tangkap sebagai pemantik kesadaran yang ditujukan kepada masyarakat Bali di tengah bombardir narasi-narasi yang seolah memposisikan diri baik-baik saja.

Penting juga diperhatikan bahwa kehadiran pemerintah di tengah masyarakat tidak hanya soal fisiknya saja, tapi juga soal kebijakan. I Ngurah Suryawan berhasil menguraikan secara spesifik berbagai persoalan Bali yang tak banyak disadari oleh masyarakat umumnya. Sudut pandang yang dipilih pun sangat berisiko di tengah kooptasi satu rezim yang begitu mengakar. Namun menurut saya, I Ngurah Suryawan seharusnya dapat memberi insight di luar sisi kelam yang sudah disuguhkan. Memberi jalan keluar yang objektif secara akademis untuk berbagai persoalan Bali, mengingat banyak akademisi yang menggadaikan pengetahuan mereka hanya untuk melegitimasi berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Kalau bukan I Ngurah Suryawan, siapa lagi? Hehehe [T]

Tags: baliBukuresensi buku
Previous Post

Atraktif dan Unik | Pameran TA Tiga Mahasiswa Prodi Seni Murni FSRD ISI Denpasar di Maha Art Gallery

Next Post

Rindik Karya Gede Eriawan, Dibuat di Desa Perbukitan, Dipasarkan di Australia

Teddy Chrisprimanata Putra

Teddy Chrisprimanata Putra

Lulusan Teknik Mesin Unud, tapi lebih memiliki minat ke dunia literasi juga organisasi. “Sublimasi Rasa” adalah karya pertama untuk melanjutkan karya-karya selanjutnya.

Next Post
Rindik Karya Gede Eriawan, Dibuat di Desa Perbukitan, Dipasarkan di Australia

Rindik Karya Gede Eriawan, Dibuat di Desa Perbukitan, Dipasarkan di Australia

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Duel Sengit Covid-19 vs COVID-19 – [Tentang Bahasa]

    11 shares
    Share 11 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

“Pseudotourism”: Pepesan Kosong dalam Pariwisata

by Chusmeru
May 10, 2025
0
Efek “Frugal Living” dalam Pariwisata

KEBIJAKAN libur panjang (long weekend) yang diterapkan pemerintah selalu diprediksi dapat menggairahkan industri pariwisata Tanah Air. Hari-hari besar keagamaan dan...

Read more

Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

by Arix Wahyudhi Jana Putra
May 9, 2025
0
Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

GERIMIS pagi itu menyambut kami. Dari Kampus Undiksha Singaraja sebagai titik kumpul, saya dan sahabat saya, Prayoga, berangkat dengan semangat...

Read more

Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

by Pitrus Puspito
May 9, 2025
0
Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

DALAM sebuah seminar yang diadakan Komunitas Salihara (2013) yang bertema “Seni Sebagai Peristiwa” memberi saya pemahaman mengenai dunia seni secara...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

April 22, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery
Pameran

Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery

INI yang beda dari pameran-pemaran sebelumnya. Santrian Art Gallery memamerkan 34 karya seni rupa dan 2 karya tiga dimensi pada...

by Nyoman Budarsana
May 10, 2025
“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra
Panggung

“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra

SEPERTI biasa, Heri Windi Anggara, pemusik yang selama ini tekun mengembangkan seni musikalisasi puisi atau musik puisi, tak pernah ragu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman
Khas

Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman

TAK salah jika Pemerintah Kota Denpasar dan Pemerintah Provinsi Bali menganugerahkan penghargaan kepada Almarhum I Gusti Made Peredi, salah satu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

May 10, 2025
Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

May 10, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [14]: Ayam Kampus Bersimbah Darah

May 8, 2025
Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

May 4, 2025
Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

May 4, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co