Pada tanggal 13 Desember 2021, banjir besar melanda Pulau Nusa Penida (NP). Banjir menerjang 6 desa pesisir di antaranya, Desa Suasana, Batununggul, Kutampi Kaler, Ped, Kampung Toyapakeh dan Desa Sakti. Hampir sepanjang (tubuh) pesisir utara Pulau NP mengalami rusak berat. Padahal, durasi hujan deras di daerah perbukitan hanya mencapai kurang lebih 4-5 jam. Namun, kiriman airnya mampu mencetak rekor spektakuler yakni banjir terparah sepanjang sejarah di NP.
Kok bisa, ya? Adakah berhubungan dengan ruang air (sungai mati) di NP saat ini? Ruang yang luput dari perhatian semenjak pariwisata bertahta di NP selama rentang 5-6 tahun terakhir. Betulkah laju “ekspansi” ruang pariwisata kian membatasi ruang air (sungai) di NP?
Fenomena banjir kali ini menarik untuk dibahas, bukan karena NP tidak pernah mengalami banjir sebelumnya. Ketika musim hujan, wilayah NP sering diguyur hujan deras bahkan seharian. Akan tetapi, tidak sampai menimbulkan banjir yang parah. Terakhir, 25 tahun yang lalu, banjir besar pernah melanda Pulau NP. Meski dilanda hujan deras selama lebih dari sehari, tetapi dampaknya tidak separah banjir sekarang yang hanya berdurasi 4 jam-an.
Beberapa rumah warga, tanggul air, jembatan dan termasuk beberapa titik badan jalan utama di pesisir menjadi jebol. Akibatnya, lalu lintas daerah pesisir menjadi terganggu. Kasus ini pun langsung mendapat sorotan dan respon cepat dari Pemda Klungkung. Proyek perbaikan jembatan dan badan jalan di daerah pesisir langsung dikebut.
Sebagai jalan utama, jalan-jalan pesisir NP memang tidak elok dibiarkan terbengkalai lama. Di samping berperan penting sebagai penghubung lintas desa, jalan-jalan pesisir utara juga menjadi akses utama pintu keluar masuk (penyeberangan) dari dan ke Nusa Penida. Pasalnya, jalan pesisir utara berkolerasi dengan titik-titik pelabuhan transportasi laut yang strategis di NP.
Jika akses ini terganggu, dipastikan akan menghambat aktivitas penyeberangan. Arahnya merembes pada citra pulau NP sebagai destinasi pariwisata. Ya, karena label pariwisata sangat sensitif dengan fasilitas yang menjadi daya dukungnya.
Banjir terparah di NP abad ini tidak hanya membuat masyarakat NP tercengang, termasuk masyarakat luar. Mereka tercengang setelah melihat dokumentasi banjir ini lewat panggung-panggung medsos. Momen-momen banjir itu tersebar begitu cepat dan berantai baik dalam bentuk deskripsi foto, video, teks dan lain sebagainya
Dampaknya, bukan hanya mengundang rasa prihatin, tetapi banjir parah kali ini juga mengundang pertanyaan yang “menganga” pada setiap insan. Bagaimana tidak? Pasca kebanjiran tamu, kini NP kebanjiran air bah yang parah sekarang?
Dugaan Penyebab
Spekulasi atas jawaban ini berseliweran. Banyak orang menduga bahwa faktor penyebabnya berkaitan dengan perilaku minus masyarakat terhadap sampah, terutama sampah plastik. Meskipun beberapa komunitas masyarakat peduli lingkungan (di NP) sudah melakukan aksi bersih-bersih sampah secara sporadis, rupanya gerakan ini baru berhasil pada tataran bersih fisik saja. Belum mampu “berbuah kesadaran” kepada masyarakat.
Banyak masyarakat belum tersentuh betapa sampah plastik sangat berbahaya. Tidak hanya mencemari lingkungan, sampah plastik juga dapat menjadi malapetaka ketika hujan deras melanda. Pencapaian “buah kesadaran” ini memang tidak mudah. Di daerah-daerah perkotaan sekali pun, masalah sampah plastik masih menjadi persoalan klasik hingga sekarang.
Di samping sampah plastik, beberapa media melaporkan bahwa dugaan kuat bersumber dari ruang air di NP. Dari pantauan pemerintah, ditemukan minus besar terhadap jalan air (sungai) di NP. Ada pendangkalan di beberapa hulu sungai di NP.
Salah satu penyebabnya ialah karena timbunan material. Tinjauan sementara, pemda Klungkung menemukan sejumlah material pada hulu sungai di NP. Di duga, beberapa pihak yang membangun membuang materialnya ke sungai tadah hujan yang ada di NP.
Temuan tersebut jelas tidak mengada-ada. Sangat rasional. Selama 5-6 tahun belakangan, ruang pariwisata semakin meluas di NP. Pembangunan akomodasi pariwisata seolah-olah tak terbendung. Dari pesisir hingga perbukitan Pulau NP, bertumbuh bangunan-bangunan baru. Keberadaan penginapan, rumah makan (restoran) dan fasilitas lainnya bertambah setiap harinya.
Bukan hanya kuantitasnya yang terus mengalami peningkatan, laju pembangunan akomodasi ini juga sering tak memedulikan lingkungan alam sekitar. Demi mempertahankan view dan keluasan ruang akomodasi, kadang-kadang pembangunan sampai merampas hak jalan air.
Selain pendangkalan, juga terjadi kasus penyempitan sungai. Mungkin tidak disadari, tetapi laju ruang pariwisata tidak bisa membohongi. Pembangunan akomodasi bertambah luas, sedangkan badan sungai mengalami penyempitan.
Dari sinilah, utak-atik ruang mulai dipermainkan. Semangat mabuk membangun melupakan hak-hak lingkungan. Namun, alam tak pernah melakukan perlawanan apalagi turun ke jalanan. Alam hanya memilih diam, sambil menunggu kepedulian dari pihak berwenang atau masyarakat untuk memperjuangkan hak-haknya. Kalau toh tidak ada yang peduli, alam memiliki caranya sendiri. Ia akan melawan dengan kekuatan dewanya. Alam tak peduli regulasi. Tak perlu petantang-petenteng.
Alam adalah silent power. Kekuatannya melebihi massa manusia di mana pun. Sayangnya, manusia tetap saja meremehkan alam. Libido meraup dolar lebih penting daripada membiarkan keleluasaan jalan air (alam) kepada sungai. Ya, karena memang tidak memberikan keuntungan. Sebaliknya, merugikan pihak pebisnis akomodasi pariwisata.
Mungkin ini bukan cerita baru. Ketika ruang pariwisata berkuasa, arogansi materi dan hedonis saling bertumbuh. Kompetisi egoisme meraup untung materi sangat ketat. Para pelaku pariwisata saling sikut untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Lalu, keuntungan alam kemana? Siapa yang peduli?
Ah, boro-boro peduli. Justru, orang sering berlomba-lomba mengekploitasi alam untuk mendukung berhala pariwisata. Alam dipermak untuk memenuhi hasrat pelaku dan tamu wisata. Kita berharap lomba eksploitasi alam ini tidak terjadi pada pengembangan ruang pariwisata selanjutnya di NP.
Banjir terparah di NP tahun ini cukup dijadikan alarm. Alarm betapa ruang air harus menjadi perhatian bersama. Semangat membangun bak air bah, jangan sampai tidak memperhatikan jalan air bah. Kalau tidak, maka apa yang dibangun bisa saja “bah” (roboh) diterjang air bah.
Karena itu, kedua ruang (pariwisata dan ruang air) mesti berjalan harmonis. Pembangungan ruang pariwisata bertumbuh, tetapi tetap memberikan ruang sewajarnya pada ruang sungai—sehingga kedua hasrat (manusia dan alam) berjalan sesuai porsinya masing-masing. Dari keadilan inilah kita berharap perdamaian dengan alam.
Jika tak mempedulikan jalan air, jalan perdamaian dengan alam akan semakin sulit diraih. Tidak hanya dampak perlawanan alam, citra pariwisata NP akan menjadi kurang baik. Apa jadinya jika destinasi pariwisata rawan banjir. Pasti akan mencoreng rasa aman para pengunjung. Padahal, konon rasa aman menjadi taruhan mendasar untuk menarik pelancong berkunjung ke suatu daerah.
Hal ini berarti bahwa pembangunan ruang wisata yang memperhatikan ruang air (alam) memiliki keuntungan ganda. Di samping menyelamatkan aset materi pebisnis, juga menyelamatkan kelangsung hidup pariwisata. Jika tak rawan banjir, pengunjung menjadi tertarik dan nyaman berkunjung ke NP. Yang untung bukan diri sendiri, tetapi semua pelaku pariwisata yang ada di NP.
Sebaliknya, jika mengabaikan ruang air dan menyebabkan rawan banjir—maka tindakan segelintir oknum ini berdampak kerugian kolektif kepada semua pelaku pariwisata di NP. Pengunjung merasa tidak tertarik untuk berkunjung ke NP. Buntutnya, pariwisata NP tidak bisa bertahan lama ke depannya.
Karena itu, alangkah baiknya jika tata ruang pariwisata NP selalu memperhatikan ruang alam (sungai). Masyarakat yang membangun (terutama di sekitaran sungai) agar selalu menyediakan ruang air sewajarnya. Kesadaran ini mungkin akan semakin kuat jika didukung oleh payung regulasi yang jelas.
Tidak mudah memang. Keberadaan sungai tadah hujan di NP cukup sulit dipetakan. Lintasannya tidak terbaca dengan jelas. Seringkali, tubuh sungai itu merupakan ladang milik warga, yang sudah memiliki sertifikat yang sah secara hukum. Para warga menanami palawija pada musim hujan. Jika hujan deras, tanaman itu dipastikan tergerus air sungai.
Berbeda dengan sungai yang terus dialiri air. Lintasan sungai itu sudah tampak jelas. Jadi, lekuk badan sungai tak perlu dipertanyakan lagi. Akan tetapi, sungai di NP sedikit abal-abal. Beberapa lintasan air memang melintasan ladang warga. Ketika hujan deras, baru kelihatan dengan jelas lintasan air hujan tersebut. Artinya, saat musim panas atau hujan biasa, menjadi kuasa manusia. Sedangkan, saat hujan deras menjadi kuasa air.
Untuk kepastian ilmiah, mungkin penting adanya tim khusus yang turun ke lapangan meretas banjir parah kali ini. Tim ini bertugas mengkaji, menganalisis dan berupaya menemukan solusi. Dalam menjalankan tugasnya, bisa bersinergi dengan semua elemen masyarakat guna mendapatkan hasil yang optimal.
Temuan kajian tersebut selanjutnya menunggu implementasi konkret di lapangan sehingga ke depan banjir dapat diminalisasikan. Lebih tinggi, dapat diantisipasi atau dicegah sejak dini. Tentu tidak gampang. Dibutuhkan waktu, biaya dan pemikiran dari semua pihak (baik secara individu maupun kolektif)—bukan hanya dari pihak pemerintah termasuk swasta, pakar lingkungan, masyarakat dan lain sebagainya.
Eksekusi research ini sangat urgen, tetapi sekarang lebih mendesak pertolongan nyata kepada warga yang terdampak di NP. Saat ini, masyarakat sangat membutuhkan tindakan sosial, kemanusiaan dan atau tindakan psikologis untuk bisa bangkit kembali.
Namun, sambil menunggu pulih, tidak ada salahnya tim pengkaji bergerilya ke lapangan untuk mendapatkan data-data ilmiah dan menganalisisnya. Apa pun temuannya nanti sangat berharga menjadi semacam instrospeksi diri bagi masyarakat NP. Introspeksi untuk berdamai dengan ruang air (alam) sehingga ke depan banjir parah tidak terulang kembali di NP. [T]