BURDAH Pegayaman itu khas, unik dan istimewa. Cerita tentang burdah dari Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Buleleng, Bali, selalu membuat saya takjub. Ada yang lain, ada yang beda, ada yang khas dibandingkan tentang burdah yang saya ketahui.
Sebenarnya sudah lama saya mendengar tentang burdah Pegayaman. Namun, selama ini hanya sebatas mendengar atau membaca di beberapa media. Tak pernah mendengar atau menyaksikan secara langsung. Pengetahuan saya tentang burdah Pegayaman selama ini sebatas bahwa di dalamnya ada akulturasi Hindu-Islam.
Sampai pada suatu hari, tepatnya Minggu, 28 November 2021, saya diajak Ketua Umum Grup Burdah “Burak” (Burdah Krama Kubu) Desa Pegayaman, Drs. Ketut Muhammad Suharto, mengunjungi legenda burdah Pegayaman, Wak Hasan Sagir, di rumahnya. (Wak Hasan merupakan Ketua Burdah Burak, sementara Suharto Ketua Umum Burak).
Kami bertiga saat itu; saya, Pak Harto, dan Drs. Amoeng Abdurahman (pemerhati sejarah Islam di Singaraja). Wak Hasan tinggal di tengah hutan. Ya di tengah hutan bukit Pegayaman, yang terpisah dari warga Pegayaman lainnya. Jalan menuju ke rumahnya lumayan memacu adrenalin. Dengan beton rabat tak penuh, hanya di sisi kiri dan kanannya saja. Di beberapa titik, ada tanjakan yang terjal, dan tikungan yang sangat tajam. Di sisi kiri-kanan jalan menuju rumahnya tak jarang langsung berhadapan dengan jurang. Betul-betul memacu adrenalin.
Rumah Wak Hasan berada di ketinggian 1.100 meter dari permukaan air laut. Saat kami sampai di rumah tersebut, alam diselimuti kabut. Tubuh kami dipeluk sejuk. Rintik hujan mulai menyapa.
Rumah Wak Hasan cukup sederhana. Dindingnya dari batako ‘telanjang’ di bagian bawahnya. Disambung papan-papan kayu, yang beberapa bagian sudah rapuh. Dengan lantai hanya plesteran semen. Sungguh amat sederhana bagi sosok yang boleh dibilang sebagai maestro burdah. Sosok yang menjadi legenda hidup seni burdah yang tak ternilai harganya bagi warga Pegayaman, atau bahkan bagi bangsa ini.
Saya menyebut Wak Hasan maestro burdah. Legenda hidup burdah Pegayaman. Inilah istimewanya burdah Pegayaman menurut saya. Kesenian ini memiliki seniman yang bergelut di seni burdah selama 80 tahun. Wak Hasan mulai menekuni seni burdah sejak usia 15 tahun. Saat itu zaman pendudukan Jepang. Umurnya kini 95 tahun.
Meskipun sudah usia lanjut, wajahnya masih tampak segar. Penglihatannya masih terang. Pendengarannya masih bagus. Daya ingatnya masih kuat. Ia masih mampu melantunkan 16 lagu burdah Pegayaman, tanpa teks.
Ke-16 lagu burdah Pegayaman yang dihapal Wak Hasan di antaranya lagu Tue, lagu Kampar, lagu Nganten, lagu Sulton Pahang, lagu Sulton Rasul, lagu Sulton Abdi, lagu Belaluan, lagu Melayu, lagu Parsi, lagu Mekondek, lagu Ngelungsuhan, lagu Tarik Dayung, lagu Hul Maula, serta lagu Masru.
Wak Hasan seperti sudah sedemikian menyatu dengan burdah. Ketika berbicara tentang burdah wajahnya langsung berseri. Semangatnya menyala. Senyumnya mengembang. Ada rona kebahagiaan di wajahnya. Ada kebanggaan yang tersirat dari tatapan matanya.
Ketika diminta melantunkan syair burdah, dengan sigap ia pun langsung menembangkannya. Semula ia nyanyikan syair burdah tanpa rebana. Ia melantunkan lagu “Tua”, lagu tertua di burdah Pegayaman. Ia berkidung penuh penghayatan. Melantunkan dengan penuh perasaan, sangat menjiwai. Suaranya begitu kontemplatif. Hati rasanya dibawa hayut ke semesta nurani. Jiwa dan perasaan seperti diterbangkan ke angkasa spiritual.
Sebagai pelantun lagu atau syair Al Barzanji dalam grup burdahnya, suara Wak Hasan masih bisa melengking. Suaranya masih kuat, nafasnya masih stabil. Cengkok-cengkoknya masih jelas. Hingga kini. Ya, hingga usianya yang demikian lanjut ini. Tangannya masih cekatan memainkan rebana. Bunyi-bunyi yang dilahirkan dari pukulan jari-jemari dan telapak tangannya begitu harmonis.
Yang istimewa juga, burdah Pegayaman umurnya ratusan tahun. Kesenian ini ada sejak kedatangan warga Pegayaman dari Blambangan Banyuwangi, sekitar tahun 1648 M. Dan hingga kini masih eksis.
Dalam perbincangan di rumah sang maestro itulah, saya tahu beberapa keunikan dan kekhasan burdah Pegayaman. Usai Wak Hasan melantunkan lagu “Tue” atawa Tua, Muhammad Suharto langsung mengomentari. “Itu lagu ‘Tue’, lagu tertua di burdah Pegayaman. Ini wajib dibaca di awal setiap penampilan burdah. Oleh ketua burdah,” tuturnya.
Menurut Suharto, lagu ‘Tue’ itu bahasanya Arab, syair burdahnya merupakan syair Al Barzanji. Sementara tembang atau iramanya seperti kidung Bali. Ya irama-irama yang tercipta di burdah Pegayaman kebanyakan mirip kidung Bali. Dari 16 lagu burdah di Pegayaman rata-rata lagunya seperti kidung Bali.
Dan lagu ‘Tue’ tersebut tenyata menjadi penguat cerita asal usul orang Pegayaman. Dari penuturan para panglingsir Pegayaman atau yang biasa disebut kumpi bukit, nenek moyang mereka berasal dari Kerajaan Blambangan, Banyuwangi. Namun, belakangan ada yang berpendapat, orang Pegayaman berasal dari Kerajaan Solo Mataram. Ada juga yang bilang orang Pegayaman merupakan keturunan Bali asli.
Untuk mengungkap mana yang benar, Suharto sempat mencari sejak sejarah orang Pegayaman ke Solo. Juga ke Blambangan, Banyuwangi. Dari penelusurannya, di Solo ia tidak menemukan jejak. Namun, di Blambangan, khususnya di kalangan suku Osing, Suharto menemukan beberapa jejak sejarah orang Pegayaman. Salah satunya adalah seni burdah.
Ia menemukan grup kesenian Burdah di suku Osing yang sama seperti di Desa Pegayaman. Misalnya bentuk rebananya sama. Hanya ada beda tipis pada lubang depannya. Rebana di Blambangan lubang depan lebar dan dibuat dari kayu nangka. Sedangkan rebana di Pegayaman lubangnya lebih sempit di depan dan terbuat dari kayu bungkil kelapa. Yang sama persis, menurut Suharto, adalah lagu awal kedua grup burdah. Lagu ‘Tue’ burdah Pegayaman sama dengan di Kemiren (suku Osing), Blambangan, Banyuwangi.
Itulah yang memperkuat cerita para kumpi bukit bahwa orang Pegayaman berasal dari Blambangan. 100 laskar Muslim yang direkrut Raja Panji Sakti kemudian tinggal di bukit Pegayaman merupakan nenek moyang warga Pegayaman. Menurut Suharto, 100 laskar tersebut merupakan kumpulan dari ksatria-ksatria Mataram (Jawa), Makassar, dan Madura. Sesampai di Bali, mereka menikah dengan perempuan-perempuan Bali. Jadi, kata Suharto, nenek moyang orang Pegayaman itu berasal dari Mataram (Jawa), Makassar, Madura dan Bali.
Selain sebagai penguat cerita asal usul orang Pegayaman, ada cerita tak kalah menarik dari burdah Pegayaman. Menurut Suharto, burdah Pegayaman kerap dijadikan terapi bagi orang yang sakit parah. Sakit yang dalam kacamata medis sulit disembuhkan.
Kalau ada yang sakit seperti itu, syair burdah Pegayaman bisa digunakan sebagai ‘obat’, sebagai terapi. Syair burdah dibacakan di hadapan orang yang sakit, diikuti masyarakat. Namun, syair burdah tersebut tidak dibacakan dengan lagu atau kidung. Hanya dibaca biasa saja. Biasanya dibaca selama tiga hari.
Dengan pembacaan syair burdah tersebut diharapkan agar yang sakit segera sembuh. Atau, kalau memang sakitnya tidak bisa disembuhkan agar segera dicepatkan meninggalnya. Agar yang sakit tidak terlalu lama menanggung rasa sakitnya.
Menurut Suharto dan dibenarkan oleh Wak Hasan Sagir, syair burdah tersebut ternyata mujarab. Segera setelah dibacakan syair burdah, yang sakit segera meninggal, lepas siksaan sakitnya. Ada juga yang segera sembuh, dan dapat beraktivitas seperti biasa lagi.
So, ternyata burdah Pegayaman memang unik dan istimewa kan? [T]