Sebuah dialog mengalir cair pada Minggu sore, 5 Desember 2021 di Taman Baca Kesiman, Denpasar. Dialog mulai dari bagaimana solidaritas di antara kawan-kawan difable di Yayasan Cahaya Mutiara yang kian menguat untuk menghadapi pandemi. Diasah oleh keadaan ketika beberapa anggota yayasan terpapar Covid-19 dan harus isolasi mandiri di yayasan akibat tidak siapnya satgas covid menyediakan ruang yang akses dan pendamping bagi kaum difable yang terpapar Covid-19.
Covid-19 membuat kebiasaan merawat kawan yang sakit harus ditinggalkan, karena mereka yang terpapar Covid-19 harus diisolasi. Pilihan juga harus diambil, memilih tetap tinggal di yayasan dengan akses yang mendukung kemampuan untuk mandiri atau pulang ke rumah yang artinya akan menghadapi keterbatasan akses untuk bisa melakukan aktivitas mereka secara mandiri.
Adaptasi juga harus dilakukan oleh lembaga-lembaga yang melakukan pelayanan rehabilitasi fisik dan alat bantu. Seperti yang kita ketahui, pelayanan rehabilitasi fisik merupakan pelayanan yang penting bagi kawan-kawan dengan perbedaan kemampuan fisik. Latihan yang intens, teratur dan terprogram hendaknya dilakukan sejak dini untuk mengoptimalkan kemampuan yang bisa dimiliki. Sayanganya tidak semua fasilitas kesehatan milik pemerintah menyediakan pelayanan ini secara khusus.
Pada saat pandemi lembaga seperti YPK Bali dan Puspadi Bali harus berusaha beradaptasi. Terutama pada awal-awal pandemi, disaat kebijakan work from home diberlakukan. Pelayanan yang biasa dilaksanakan di kantor atau terpusat di kecamatan tidak bisa dilaksanakan. Adaptasi tentu saja dengan membuat konseling online dan atau therapy online. Namun tentu efektifitas akan berbeda secara langsung. Hal senada juga dilakukan oleh Puspadi Bali yang memaksa mereka melaksanakan evaluasi lewat telpon.
Situasi lebih rumit juga harus dihadapi A.A Gede Putra Agung, salah satu pengajar di sebuah SLB di Kabupaten Badung. siswa yang selama ini diampunya merupakan siswa dengan kondisi tuna rungu (tuli) Tuna grahita (slow learning dan autism). Kendala yang dihadapi tentu lebih tinggi jika dibandingkan dengan tantangan sekolah pada umumnya. Pada kondisi pembelajaran anak difabel membutuhkan atensi dan interaksi pengajar dengan anak difabel.
Setelah kendala-kendala yang dihadapi dalam tingkat paling local akar rumput, obrolan berlanjut dengan cerita bagaimana Pemerintah Propinsi Bali telah menerbitkan Peraturan Daerah No.9 tahun 2015.
Harapannya dengan kehadiran Perda tersebut tentu saja adalah untuk mendorong Bali menjadi ruang yang lebih inklusif. Namun sayangnya tidak banyak perubahan setelah hampir 6 tahun perda tersebut disahkan.
Perjuangan iklusi yang dilakukan kawan-kawan difabel hingga berhasil melahirkan Perda Disabilitas tentu merupakan sebuah perjuangan panjang. Namun kelahiran perda tidak serta merta membuat Bali sebagai sebuah ruang untuk hidup bersama ramah untuk difabel. Jika menarik ke ruang yang lebih besar, situasi kian terlihat jelas ketika seoarng mentri memaksa kawa tuli untuk bisa mendengar.
Hal ini menunjukkan bagaimana pemerintah belum memiliki pemahaman akan apa hak-hak difabel.
Beberapa catatan menarik dari dialog yang terbangun:
- Difable sebuah keadaan yang bisa menimpa siapa saja dan kapan saja, baik oleh bawaan (factor kesehatan semenjak lahir) atau dapatan (kecelakaan, bencana alam [Indonesia adalah supermarket bencana]), dan atau oleh perilaku manusia (industri pertambangan dan rangkaiannya).
- Membangun sebuah forum inklusi dimana komunitas difabel dan kantong gerakan social lainnya bisa terhubung.
- Mencari tahu mekanisme penanganan pandemi bagi difabel dari satgas covid.
- Mengawalan dan sosialisasi Peraturan Daerah Provinsi Bali nomer 9 tahun 2015 tentang perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas yang telah disahkan, sosialisasi khususnya bagi difable dan atau keluarga dengan difable komunitas masyarakat secara umum.
- Menuntut sarana trasportasi publik dan fasilitas publik yang ramah difable, karena transport publik dan fasilitas publik yang bisa diakse dengan mudah oleh difable akan mendorong interaksi dan relasi baik diantara difable serta difable dengan masyarakat sekitarnya.
- Memulai dengan pendekatan local dalam membangun narasi inklusi.
- Komunitas atau organisasi difable harus madiri, memiliki inisiatif untuk mengajak kolompok-kelompok masyarakat yang lain (non difable) untuk untuk terlibat dalam setiap gagasan dan atau kegiatan perjuangan inklusi.
- Komitment pada gagasan dan gerakan yang menjadi inisiatif kawan-kawan difabel.
- Mengubah paradigma bahwasannya gerakan difabel merupakan gerakan ekslusif yang selama ini terbentuk oleh sistem yang dibangun, karena gerakan difabel berkaitan erat dengan gerakan buruh, gerakan lingkungan, kebencanaan, kesetaraan gender dan gerakan-gerakan social lainnya.
- Desa merupakan ruang kolektif terkecil dan terdekat yang yang butuh didorong dan distimulasi sebagai ranah perjuangan ruang inklusi, karena masih banyak difabel hidup dalam ruang dengan lingkungan yang terbatas atas pemahaman akan apa itu difable dan hak-hak difable.
- Menghapus pandangan (doktrin) serta pendekatan karikatif “AMAL dan PENYAKIT” yang masih tertanam dalam pemahaman birokrasi publik dan atau bahkan publik itu sendiri ketika memandang atau bersikap terhadap Difabel dan menggantinya dengan pemahaman pendekatan social, bahwasannya lingkungan merupakan daya dukung utama difable untuk menumbuhkan kemampuan kemandirian yang bermuara pada pendekatan hak asasi manusia bagi difabel.
- Inklusi adalah sebuah semangat untuk menciptakan ruang bersama yang ramah, setara dan aksesebel. Saling memahami dan menghormati setiap kemampuan yang dimiliki untuk kemudian berinteraksi dalam relasi saling merawat dan menjaga.
Dialog yang berlangsung merupakan rangkaian dari kegiatan Berbagi Kabar Akhir Tahun dengan tema Difable, Pandemi dan Perjuangan Inklusi. Diselenggarakan pada hari Minggu, 5 Desember 2021 di Taman Baca Kesiman, acara ini menjadi upaya kecil untuk ikut merayakan difable day yang jatuh setiap tanggal 3 Desember.
Acara dihadiri oleh perwakilan beberapa lembaga difable antara lain; Yayasan Cahaya Mutiara Ubud (YCMU), YPK Bali, PUSPADI Bali, PUSBISINDO Bali, Potads Bali, serta beberapa orang yang datang secara perorangan. Acara dilaksanakan secara hybrid dengan penanggap Heri Kurniawan dan Ken Karta dari Lingkar Sosial Malang, sosok-sosok yang intens membangun desa inklusi di beberapa kabupaten di jawa timur.
Acara yang dibuka dengan penampilan komposisi tari berjudul “Laneta” dari YCMU berakhir sekitar pukul 19.00 dengan harapan dialog mengenai difable dan perjuangan inklusi bisa lebih sering hadir di ruang-ruang publik. Sehingga pemahaman akan difabel bisa semakin meluas dan perjuangan inklusi tidak hanya menjadi perjuangan kaum difable namun juga perjuangan kita bersama, bukan untuk hari ini tetapi untuk esok. Esok, Pulau ini bisa menjadi pulau yang ramah tidak hanya bagi turist yang membawa dolar namun juga bagi warga difable yang setiap harinya hidup dan menghidupi Bali. [T][Rai]