PERISTIWA BIASA PADA HARI-HARI BAHAGIA
Minggu, hari matahari
Kujemur cahaya
Di sela urat daun
Tumbuh-tumbuhan
Senin, hari tumbuh-tumbuhan
Kusimpan serat gizi
Pada jinak atau liar
Tubuh hewan
Selasa, hari hewan
Kutanam budi baik
Tanpa balas dan bunga
Di setiap hati manusia
Rabu, hari budi manusia
Kurawat rasa dan kata cinta
Atas waktu luang
Milik pengetahuan
Kamis, hari pengetahuan
Kupetik segala yang terlihat
Oleh mata di dunia
Kusimpan di dunia maya
Jumat, hari pengetahuan maya
Kuciptakan puisi
Paling suci paling murni
Untuk ayah dan ibu
Sabtu, hari ayah dan ibu
Kupadati diri dengan cahaya kasih
Limpah ruah melebihi cahaya
Matahari
BERKEBUN DALAM RUMAH
Aku tanam pohon api dalam dingin
Kau petik kemudian rasa asin
Dari butir buah yang terbit
begitu saja di tepi kening
“Aku panen!” katamu.
Aku pun mengecup keningmu
Mencecap asin
yang sebentar lagi hilang
menjauh
dari masa tua
Kau tanam pohon api dalam udara
Aku pagut kemudian rasa sepat
Dari buah yang menggantung
Sedemikian rupa di ujung lidah
“Aku dapat!” ujarku
Kau pun memagut lidahku
Seakan menghentikan sepat kata-kata
yang dulu senantiasa lepas
jatuh bagai hujan
di atas kursi ruang keluarga
Aku tanam pohon air dalam panas
Kau petik kemudian rasa asam
Dari beratus-ratus buah yang berkumpul
Seperti sediakala di ujung-ujung jari
“Aku panen raya!” katamu
Aku pun mengisap jari-jarimu
Biar kunikmati sari asam kehidupan
sebelum larut
dalam manis janji-janji
di ceruk kuali
Kau tanam pohon air dalam udara
Aku hirup kemudian rasa hambar
Dari buah yang mengalir
Begitu rupa pada alur napas
“Aku berlimpah!” kataku
Kau pun menghirup napasku
Memberi rupa pada hambar
rupaku rupamu
rupa anak-anak
di meja makan
Aku tanam pohon udara dalam panas
Kau dapatkan kemudian rasa pedas
Dari buah yang terbayang-bayang
Sebegitu nyata dalam perih mata
“Aku dapat tunai!” katamu
Aku pun membasuh matamu
Agar kaulihat dengan sempurna
betapa lumrah segala yang lebih
betapa mewah segala yang kurang
di teras depan
Kau tanam pohon udara dalam dingin
Aku terkesiap disembur rasa pahit
Dari biji buah yang meluncur pesat
Sebegitu pesat pada alir darah di urat nadi
“Aku terima kasih!” kataku
Kau pun mengusap urat nadiku
Merawat rasa pahit sebagai penyembuh
luka di kaki
sakit di hati
nyeri di sekujur rumah
SEORANG ANAK MENGGAMBAR TIGA WUJUD POHON
1.
Pagi hari, si anak dengan kening berkerut
Menggambar pohon segitiga
“Ini pohon muda
Pohon pikiran di kepalamu, Ayah!” kata si anak.
Satu segi, satu pucuk, runcing ke langit
Makin tinggi makin tinggi
Si anak menyambung kertas di bagian atas
Makin panjang makin panjang
Bintang-bintang menyingkir
Mencipta ruang lengang, tembus lurus ke puncak angkasa
Kelelawar hilang sihir. Serangga gigil demam
Sayap kupu-kupu jadi serbuk awan di ketinggian
“Tapi, setinggi apakah pikiran
di kepalamu, Ayah?” tanya si anak.
Kau lewat pada batas, tak akan sampai pada akhir
Pohon tinggi mudah dihitung
Kedalaman akar susah diduga
“Pohon segitiga
Pohon pikiran di kepalamu, Ayah!”
Satu segi, satu pucuk, runcing ke langit
Dua segi dekat pada batang, runduk pada akar
Satu segi menjangkau matahari
Dua segi dijangkau matahari
2.
Siang usai makan, si anak dengan muka mengantuk
Menggambar pohon segi empat
“Ini pohon setengah tua
Pohon tubuh, pohon tubuhmu, Ayah!” kata si anak.
Sisi kiri sisi kanan melebar badan, rimbun mendatar
Sisi atas pun menunduk, sisi bawah menahan beban
Tangkai menjuntai, seribu buah melayang seperti bintang
Kelelawar tidur siang, timbun lemak bergayut di perut
Dan pada lengan cabang, semut berduyun serangga tualang
Kupu-kupu mengibaskan sayap dan seribu ulat tetas
setelah tuntas penyerbukan
Si anak menyambung kertas di pinggir kiri, juga di kanan
Hingga lewat semua warna pada dua ujung tangan
“Setengah tua, setengah usia
Apa yang ditakutkan tubuh
Selain berat pada ketinggian, Ayah?” tanya si anak.
Kau berhenti sebelum tiba pada tuju
Kepala menunduk, kaki menahan beban
Ulat seakan hama, sebelum pasrah jadi kupu-kupu
“Pohon segi empat
Pohon tubuhmu, Ayah!”
Semut serangga menyeberang leluasa
Dari ranting paling kiri ke ranting paling kanan
Dari kaki sebelah kiri ke kaki sebelah kanan
Jangankan melangkah, diam pun kau mulai susah
3.
Malam sebelum ke ranjang, si anak dengan wajah bersih
Menggambar pohon lingkaran
“Ini pohon matang
Pohon ulu hati
Ulu di hatimu, Ayah!” kata si anak
Ia menggambar satu titik
Di tengahnya ada jalin cabang, geliat ranting
Serat batang kuat dan liat inti kayu
Serabut dan tunggang akar. Daun rimbun berlapis
Melingkar serupa bola bumi
Hijau dan penuh
“Sepenuh apakah perasaan-perasaanmu
Yang tersimpan sunyi
Di ulu hati, Ayah?” tanya si anak
Kau tersesat pada titik yang tumbuh. Lingkar pohon
Yang hidup. Bulat belukar. Ular hijau ular pohon
Burung-burung kecil pada ranting. Burung besar di cabang
Iring-iring semut. Kertap serangga dan ulat bulu naik turun batang
Ulat buah pada buah, ulat tanah pada akar
Saling canda, saling mangsa, dengan tanda
dan perasaan yang sama
“Pohon lingkaran
Pohon ulu hatimu, Ayah!”
Kau masuk ke dalam titik
Tak sampai-sampai di kedalaman
_____