Memilih membaca karya-karya Danarto adalah jalan untuk mengenal lebih dekat dengan penulisnya. Danarto adalah seorang yang mampu menyuguhkan cerita dengan berbagai tema, situasi, waktu, kejadian, hingga berbagai tokoh. Dalam buku yang berjudul “Proses Kreatif-Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang Jilid 1”, Danarto menyebutkan bahwa menulis selalu ada kaitannya dengan ruang dan waktu.
Cerpen-cerpennya seolah menggiring pembaca untuk ikut lebur di dalamnya. Membacanya adalah upaya untuk menyelami pengalaman hidup yang telah dilalui oleh Danarto. Cerita yang dibangun olehnya pun sangat dekat dengan pembaca, itu karena memang sebagian besar karya-karyanya berangkat dari apa yang ia alami.
Lingkat Studi Sastra Denpasar memilih Danarto sebagai bahan diskusi Semenjana (Seri Membincang Jalan Ninja) edisi bulan Oktober 2021. Diskusi ini mencoba membicarakan cerpen-cerpennya, sekaligus mendedah proses kreatifnya yang dilakukan dengan membaca beberapa karyanya maupun sumber lain yang dirasa mewakili. Adapun cerpen-cerpen yang didiskusikan, yaitu: Bengawan Solo, Macan Lapar, dan Telaga Angsa.
Interpretasi Budaya dalam Karya Danarto
Dalam tulisannya yang dikutip di buku “Proses Kreatif-Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang Jilid 1”, Danarto mengatakan bahwa dirinya adalah penulis yang tidak pernah terikat oleh tempat. Ia hanya menulis segala sesuatu yang ada kaitannya dengan jelmaan ruang-waktu tersebut.
Berangkat dari hal tersebut, ia merasa memiliki ikatan yang kuat dengan kata, kalimat, hingga irama dan tempo membaca pun dipikirkan. Keluwesannya itu membawanya kepada banyak kejadian yang bisa dituangkan lewat cerpennya. Budaya menjadi topik utama yang kerap kali ditonjolkan Danarto dalam cerpen-cerpennya.
Tiga cerpen yang didiskusikan pun mengeksplorasi budaya. Membicarakan budaya adalah membicarakan kebiasaan. Budaya kerap kali disuguhkan dengan cara yang serius. Tapi, Danarto mampu menyuguhkannya dengan cara yang ringan, namun tetap sarat akan pesan moral di dalamnya. Seperti pada kutipan-kutipan berikut :
“Kiai Kintir alias Kiai Hanyut adalah kiai-tak seorang pun tahu nama aslinya-yang punya kebiasaan menghanyutkan tubuhnya di Bengawan Solo. Itulah jalan spiritualnya.” -Bengawan Solo
“Eko menyarankan supaya John menikah dengan gadis Solo saja. Di samping gemi, nastiti, ngati-ati (irit, terperinci, berhati-hati), putri Solo gaya berjalannya persis macan lapar yang bisa membekukan waktu.” – Macan Lapar
“Saya setuju, Eyang. Cobalah nikmati tari bedoyo. Dalam dandanan kebaya pinjungan, menyembulkan semburat merah jambu gunung kembar yang menjenguk lewat dada yang lebar terbuka. Para pujangga menyebutnya “Glatik Nginguk” artinya “Burung Gelatik yang Menjenguk” yang membuat dada para raja dan pangeran “maksir”, tergetar. Mendorong keanggunan Sembilan penari yang gemulai dalam balutan kain yang ketat. Dalam balet, seorang penari harus lebar-lebar merentangkan kakinya supaya bisa terbang, sedang dalam bedoyo para penari bahkan untuk berjalan biasa saja, cukup sulit, itulah keunikan tiap tradisi yang mewariskan budaya dunia. Suatu dakwah keindahan tiada tara.” – Telaga Angsa
Tiga kutipan dari tiga cerpen di atas menjadi penguat bahwa dalam karyanya, Danarto memang memiliki ketertarikan yang mendalam soal budaya. Seperti yang ia katakan bahwa saat dirinya memasuki suatu ruang, berdinding atau tidak, terjadilah perubahan di dalam dirinya. Suatu transformasi dan metamorfosa yang berkaitan dengan ruang tersebut—dan ruang tersebut tidak bisa dilepaskan dari yang namanya budaya. Tiga cerpennya pun seolah menegaskan bahwa Danarto mampu membawa konflik cerita dengan berbagai metode.
Cerpen Telaga Angsa, misalnya. Dimulai dengan menghadirkan suasana santai di mana banyak tokoh yang dihadirkan penulis menikmati suasana minum wine setelah pertunjukan. Cerita sedikit tidaknya berubah dengan percakapan satu keluarga dengan dua sudut pandang yang berbeda.
Dalam cerpen ini, Danarto mencoba menyuguhkan perdebatan yang sering kali terjadi di tengah masyarakat, bahkan di tengah keluarga sekali pun. Cara ini tampak berhasil mengundang kegeraman dan senyum pembaca dalam waktu bersamaan—hal tersebut tentu berhasil dihadirkan oleh Danarto melalui tokoh Kakek Zahra yang memiliki pemikiran yang cukup konservatif.
Ihwal Perempuan dalam Karya Danarto
Dalam sastra Indonesia, menjadikan perempuan sebagai topik atau bahkan pelengkap karya bukanlah hal baru, termasuk di dalam karya-karya yang dilahirkan oleh Danarto. Perempuan kerap kali menjadi objek dalam tiap karya sastra. Citra perempuan yang ditampilkan dalam karya sastra pun cenderung mengobjektifikasi perempuan, mulai dari fisik, kebiasaan, hingga menempatkan perempuan hanya pada peran-peran domestik saja. Hal itu juga terlihat dalam cerpen Telaga Angsa, seperti pada kutipan berikut :
“Meski Cuma berjalan di dalam rumahnya, gaya berjalan Putri Solo tetap persis macan lapar. Sehingga Putri Solo jauh lebih gandes, luwes, kewes, dan sensuous.”
“Mendadak muncul seorang gadis yang berpakaian lengkap mengesankan seorang penari. Kami terperangah melihat gaya jalannya yang Macan Lapar. Ketika pinggul kanan mencuat ke samping, pundak kanan tertarik ke belakang, sedang pundak kiri mencuat ke depan. Begitu bergantian. Sungguh cara berjalan yang menggetarkan.”
Pembaca diajak menyoroti perempuan lebih kepada fisik dan kebiasaannya, dalam hal ini cara berjalan seorang perempuan Solo. Penggambaran Danarto terhadap perempuan yang dikejar hanya karena kebiasaan yang seolah-olah hanya dimiliki perempuan tersebut melanggengkan steorotipe perempuan dalam kehidupan sastra di Indonesia. Seperti apa yang pernah dikatakan oleh Y.B. Mangunwijaya, “Perempuan adalah bumi, yang menumbuhkan padi dan singkong, tetapi juga yang akhirnya memeluk jenazah-jenazah manusia yang pernah dikandungnya dan disusuinya.”.
Ruang-Waktu Jelmaan Danarto
Dimensi cerita yang tidak jauh dari keseharian menjadi senjata di setiap tulisan Danarto. Pembaca dapat dengan mudah memahami jalan cerita yang disuguhkan dalam cerpen-cerpennya, lengkap dengan pesan moralnya. Kebiasaannya membuat sketsa—sebuah gambar corat-coret yang menjadi tempat di mana para tokoh yang diciptakannya akan bermunculan dan memainkan perannya.
Menurut Sapardi, Danarto adalah penulis yang tidak peduli pada karakteristik, plot, dan latar. Ceritanya mengalir begitu saja. Ia juga menyebutkan bahwa cerpen-cerpen Danarto seakan-akan lahir dalam suatu keadaan ‘trance’—bukan karena suatu proses kesadaran penuh, di mana penulis menguasai benar dirinya dan tahu ke mana dia akan pergi. Sehingga sangat wajar ketika cerpen-cerpennya memberi banyak hal baru dibanding cerpen-cerpen yang sudah ada sebelumnya.
Dialog-dialog yang dihadirkan oleh Danarto dalam cerpen-cerpennya pun selalu menyiratkan pesan-pesan moral. Hal ini tentu meringankan kerja narator dalam satu cerita. Penggunaan diksi keseharian, cenderung menyesuaikan dengan latar tempat pun memberikan petunjuk pada pembaca, pada kondisi dan situasi seperti apa sang penulis melahirkan karyanya.
Melalui karya-karyanya, Danarto seolah memberi tamparan kepada penulis-penulis muda yang belakangan cenderung mencari inspirasi yang berada jauh dari sekitarnya—karena sejatinya, karya-karya dapat dilahirkan dari peristiwa-peristiwa yang ada di sekitar kita dengan menambahkan sedikit bumbu lewat daya imajinasi kita.
Lewat karyanya pula, Danarto memberikan pesan tersirat bahwa untuk berkarya tidak perlu mengkhawatirkan bagus tidaknya sebuah karya, karena sejelek apapun karya yang dihasilkan, paling tidak rayap pun masih bersedia untuk membacanya. [T]
- Penulis: Teddy Chrisprimanata Putra
BACA JUGA: