Setelah pertunjukan “Hal-19: Bali” oleh Kalanari Theatre Movement yang digelar serangkaian Festival Seni Bali Jani di Taman Budaya, Art Center, Denpasar, 1 November 2021, saya sempat bertemu dengan Andika Ananda—salah satu aktor dalam pertunjukan ini—dan ia berkata, “Kuakui, Aktingku tadi buruk,” dan saya ingin segera menampar pipi sendiri. Ia bermain dengan luwes di atas panggung, tubuhnya yang menjadi modal penting seorang aktor tampak sudah bisa ia pegang, sebagaimana ihwal yang biasa dia katakan: “kita (aktor) harus sadar dengan tubuh”.
Tubuh adalah dualitas, ia adalah milik, sekaligus kita sendiri. Tetapi, sebisa mungkin aktor memiliki tubuh, berjarak dengannya—menyadari gerak tubuh keseharian sehingga ketika berada di panggung, aktor tidak gelagapan dengan ketiba-tibaan gerak tubuh yang terkodifikasi. Andika Ananda bermain dengan tubuhnya yang luwes, ritme jalan, gayungan tangan, roll, dan ekspresi dengan proyeksi penonton dalam panggung prosenium di Gedung Ksirarnawa.
Ia berperan seperti Joker, kadang keluar dengan balon terbang dengan tali terikat di leher—seolah ia adalah antagonis pulau Bali—kadang dengan sepeda, kadang sebagai guid, kadang sebagai moderator yang ngobrol dengan pelaku tamu: I Ngurah Suryawan. Tetapi, “Itu akting buruk,” katanya. Lambat laun saya sadar, jika saja akting Andika adalah akting yang jelek, maka banyak aktor yang aktingnya “jelek aja belum”.
Sebuah pertunjukan tentu tidak bisa mengandalkan satu tubuh aktor saja. Kekuatan pertunjukan mesti dirajut dari kemampuan masing-masing aktor dan harus diakui, aktor-aktor Kalanari bagaikan “pendekar yang turun gunung”. Saya ingat, ketika seseorang berkata bahwa aktor harus memiliki pegangan.
Dalam konteks ini, pegangan adalah semacam dasar pijakan aktor, bisa berupa tari, silat, atau hal-hal lain yang menjadi modal dalam bermain peran. Dan, rata-rata aktor Kalanari memiliki pegangan itu: tari, silat, dan sebagainya. Meskipun bentuk-bentuk pijakan itu tidak muncul secara mentah di atas panggung, tetapi tubuh adalah arsip pengalaman, termasuk pijakan itu yang telah ada di sana, sehingga aktor-aktor itu saya sebut “Para pendekar yang turun gunung”.
Pada adegan awal pertunjukan “Hal-19: Bali”, misalnya, para aktor tersebar di bangku penonton, lampu general menyala; tak ada fokus lampu, dan beberapa pemain mondar-madir dengan kostum warna-warni, ransel, sebatang daun palem, dan wajah yang telah dirias; beberapa di antaranya terlihat sedih, beberapa terlihat sedang bingung mencari sesuatu, dan semua penonton bisa memilih untuk melihat salah satu atau beberapa dari mereka—barangkali tenggelam pada impresi yang muncul dari gerak-gerik mereka. Meskipun lampu general menyala, kostum yang tidak lerlalu mencolok di antara kursi merah penonton, aktor tetap membuat penonton menjadi hening; atau mungkin penonton sedang menduga-duga persebaran para pemain, atau bertanya-tanya, apa yang para aktor itu akan lakukan.
Sepanjang pertunjukan, mereka tampil dengan gerakan yang tampak sederhana. Kesederhanaan gerak ini justru memperlihatkan tubuh para aktor, tubuh-tubuh itu seolah sedang berbicara suatu hal pada penonton. Katakanlah pada satu adegan, ketika para aktor berkumpul, berjalan dengan langkah kecil, dan seseorang dari kerumunan itu memegang perahu yang juga kecil—seolah mereka sedang berlayar dengan kecemasan, kepasrahan—hanya berjalan kecil! Berjalan kecil! Tapi mereka telah berbicara sesuatu dengan komposisi itu: raut wajah cemas, tangan memeluk beberapa barang, dan ransel dan bendera merah.
Simbol-simbol dalam “Hal-19: Bali”
Kesempatan ini adalah kali pertama saya menonton langsung pertunjukan Kalanari Theatre Movement. Pentas Kalanari kali ini digelar serangkaian Festival Bali Jani III 2021. Saya tidak ingin terbebani dengan tafsir. “Kita adalah memahami,” secara sederhana dan serampangan, saya menggunakan pemahaman itu dalam menonton pertunjukan Kalanari, saya melepas segala beban usaha untuk menafsir bentuk pertunjukan.
Beruntungnya, berbagai simbol yang hadir di panggung membuat saya bisa tetap relaks. Katakanlah pada satu bagian yang menjadi satu adegan paling menghanyutkan saya: para aktor mengambil apel dari ransel mereka, lalu apel digigit dan tangan para aktor pelahan melepas apel, lalu bergerak lembut seperti hendak terbang. Apel tetap menempel di mulut. Lampu biru dan musik sendu mengiringi adegan ini. Dan, saya tidak bisa pergi meski ada satu hal yang harus segera diselesaikan di toilet.
Hingga pertunjukan selesai, saya tak ingin menafsir adegan per adegan. Sialnya, kata Heidegger, kita adalah memahami, dan bukankah keterhanyutan pada adegan adalah satu bentuk “memahami”? Barangkali, simbol-simbol yang mereka tawarkan bisa dituntut lebih dari sekedar keindahan, keterenyuhan, kegetiran, dan segala ketegangan makna atas itu. Tetapi, saya seolah dihentikan untuk melanjutkannya (mungkin enggan?), sebab pertunjukan itu sendiri adalah simbol yang lebih besar: keindahan untuk membicarakan Bali dan hal-hal yang ditulis oleh penulis asing pada buku mereka di halaman 19.
Di satu sisi, beberapa penonton yang saya temui merasa ingin menangis. “Bagian mana?” tanya saya. Dalam hati, saya menduga, jangan-jangan bagian yang sama dengan yang saya alami. Dan, betul, ketika tokoh anak—diperankan oleh Sarinah—menangis ketika diajak merantau ke Kalimantan.
Dialog anak itu sungguh tidak realistis, ia ingin liburan, sebagaimana anak-anak pada umumnya yang ingin plesir, tetapi ketika orang tua (M. Dinu Imansyah sebagai ayah dan Mailani Sumelang sebagai ibu) mengatakan bahwa mereka akan ke Kalimantan untuk menetap di sana, si anak menolak, berbicara layaknya orang dewasa, dan entah apa yang bekerja, adegan itu begitu mengharukan. Anak itu tak mau meninggalkan rumah dengan alasan Merajan baru dibangun. Sulit rasanya menemui anak macam itu—tidak mau pergi lantaran permasalahan yang entah dipahaminya atau tidak—tetapi, tetap saja, air mata tangisan anak itu telah jatuh pada pipi penonton.
Perjudian dan “Hal-19: Bali”
“Hal-19: Bali” serupa perjudian, melihat Bali dari halaman 19 buku-buku yang ditulis oleh orang asing. Perjudian tentunya secara langsung menggandeng resiko: berhasil atau tidak, menang atau kalah.
Teks-teks dari halaman 19 yang acak itu sengaja tidak dijadikan sebagai narasi utuh, namun ditenun oleh sutradara, yaitu Ibed Surgana Yuga sebagai sebuah refleksi, kritik, introspeksi, serta perluasan pandangan ke ruang-ruang narasi yang membentuk Bali kini, sebagaimana realitas yang merupakan jejaring makna, dan Bali hari ini adalah salah satu titik yang terajut dari jalinan makna; atas peristiwa-peristiwa besar tersebut.
Usaha yang dilakukan Kalanari, seolah ingin menunjukan banyak Bali hari ini dibentuk dari berbagai hal yang pernah dialami. Meskipun, dalam pertunjukan ini disebutkan berbagai tahun-tahun yang menjadi titik penting dalam sejarah Bali, tetapi ada satu hal yang begitu melekat di kepala saya, yaitu perjudian yang dilakukan orang-orang Bali dalam mengikuti program pemerintah yaitu, transmigrasi, di mana sebagian penduduk Bali harus pergi dari tanah kelahiran, meninggalkan merajan, menggandeng kecemasan atau mungkin kesedihan akan nasib yang tidak pasti. [T]