2 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Belajar “Akting Buruk” dari Pentas “Hal-19: Bali” Kalanari Theatre Movement

Agus WiratamabyAgus Wiratama
November 9, 2021
inUlasan
Belajar “Akting Buruk” dari Pentas “Hal-19: Bali” Kalanari Theatre Movement

Pertunjukan “Hal-19: Bali” oleh Kalanari Theatre Movement yang digelar di Art Center, Denpasar pada 1 November 2021,

Setelah pertunjukan “Hal-19: Bali” oleh Kalanari Theatre Movement yang digelar serangkaian Festival Seni Bali Jani di Taman Budaya, Art Center, Denpasar, 1 November 2021, saya sempat bertemu dengan Andika Ananda—salah satu aktor dalam pertunjukan ini—dan ia berkata, “Kuakui, Aktingku tadi buruk,” dan saya ingin segera menampar pipi sendiri. Ia bermain dengan luwes di atas panggung, tubuhnya yang menjadi modal penting seorang aktor tampak sudah bisa ia pegang, sebagaimana ihwal yang biasa dia katakan: “kita (aktor) harus sadar dengan tubuh”.

Tubuh adalah dualitas, ia adalah milik, sekaligus kita sendiri. Tetapi, sebisa mungkin aktor memiliki tubuh, berjarak dengannya—menyadari gerak tubuh keseharian sehingga ketika berada di panggung, aktor tidak gelagapan dengan ketiba-tibaan gerak tubuh yang terkodifikasi. Andika Ananda bermain dengan tubuhnya yang luwes, ritme jalan, gayungan tangan, roll, dan ekspresi dengan proyeksi penonton dalam panggung prosenium di Gedung Ksirarnawa.

Ia berperan seperti Joker, kadang keluar dengan balon terbang dengan tali terikat di leher—seolah ia adalah antagonis pulau Bali—kadang dengan sepeda, kadang sebagai guid, kadang sebagai moderator yang ngobrol dengan pelaku tamu: I Ngurah Suryawan. Tetapi, “Itu akting buruk,” katanya. Lambat laun saya sadar, jika saja akting Andika adalah akting yang jelek, maka banyak aktor yang aktingnya “jelek aja belum”.

Sebuah pertunjukan tentu tidak bisa mengandalkan satu tubuh aktor saja. Kekuatan pertunjukan mesti dirajut dari kemampuan masing-masing aktor dan harus diakui, aktor-aktor Kalanari bagaikan “pendekar yang turun gunung”. Saya ingat, ketika seseorang berkata bahwa aktor harus memiliki pegangan.

Dalam konteks ini, pegangan adalah semacam dasar pijakan aktor, bisa berupa tari, silat, atau hal-hal lain yang menjadi modal dalam bermain peran. Dan, rata-rata aktor Kalanari memiliki pegangan itu: tari, silat, dan sebagainya. Meskipun bentuk-bentuk pijakan itu tidak muncul secara mentah di atas panggung, tetapi tubuh adalah arsip pengalaman, termasuk pijakan itu yang telah ada di sana, sehingga aktor-aktor itu saya sebut “Para pendekar yang turun gunung”.

Pertunjukan “Hal-19: Bali” oleh Kalanari Theatre Movement serangkaian Festival Seni Bali Jani di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Denpasar, Bali, pada 1 November 2021 malam.

Pada adegan awal pertunjukan “Hal-19: Bali”, misalnya, para aktor tersebar di bangku penonton, lampu general menyala; tak ada fokus lampu, dan beberapa pemain mondar-madir dengan kostum warna-warni, ransel, sebatang daun palem, dan wajah yang telah dirias; beberapa di antaranya terlihat sedih, beberapa terlihat sedang bingung mencari sesuatu, dan semua penonton bisa memilih untuk melihat salah satu atau beberapa dari mereka—barangkali tenggelam pada impresi yang muncul dari gerak-gerik mereka. Meskipun lampu general menyala, kostum yang tidak lerlalu mencolok di antara kursi merah penonton, aktor tetap membuat penonton menjadi hening; atau mungkin penonton sedang menduga-duga persebaran para pemain, atau bertanya-tanya, apa yang para aktor itu akan lakukan.

Sepanjang pertunjukan, mereka tampil dengan gerakan yang tampak sederhana. Kesederhanaan gerak ini justru memperlihatkan tubuh para aktor, tubuh-tubuh itu seolah sedang berbicara suatu hal pada penonton. Katakanlah pada satu adegan, ketika para aktor berkumpul, berjalan dengan langkah kecil, dan seseorang dari kerumunan itu memegang perahu yang juga kecil—seolah mereka sedang berlayar dengan kecemasan, kepasrahan—hanya berjalan kecil! Berjalan kecil! Tapi mereka telah berbicara sesuatu dengan komposisi itu: raut wajah cemas, tangan memeluk beberapa barang, dan ransel dan bendera merah.

Simbol-simbol dalam “Hal-19: Bali”

Kesempatan ini adalah kali pertama saya menonton langsung pertunjukan Kalanari Theatre Movement. Pentas Kalanari kali ini digelar serangkaian Festival Bali Jani III 2021. Saya tidak ingin terbebani dengan tafsir. “Kita adalah memahami,” secara sederhana dan serampangan, saya menggunakan pemahaman itu dalam menonton pertunjukan Kalanari, saya melepas segala beban usaha untuk menafsir bentuk pertunjukan.

Pertunjukan “Hal-19: Bali” oleh Kalanari Theatre Movement serangkaian Festival Seni Bali Jani di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Denpasar, Bali, pada 1 November 2021 malam.

Beruntungnya, berbagai simbol yang hadir di panggung membuat saya bisa tetap relaks. Katakanlah pada satu bagian yang menjadi satu adegan paling menghanyutkan saya: para aktor mengambil apel dari ransel mereka, lalu apel digigit dan tangan para aktor pelahan melepas apel, lalu bergerak lembut seperti hendak terbang. Apel tetap menempel di mulut. Lampu biru dan musik sendu mengiringi adegan ini. Dan, saya tidak bisa pergi meski ada satu hal yang harus segera diselesaikan di toilet.

Hingga pertunjukan selesai, saya tak ingin menafsir adegan per adegan. Sialnya, kata Heidegger, kita adalah memahami, dan bukankah keterhanyutan pada adegan adalah satu bentuk “memahami”? Barangkali, simbol-simbol yang mereka tawarkan bisa dituntut lebih dari sekedar keindahan, keterenyuhan, kegetiran, dan segala ketegangan makna atas itu. Tetapi, saya seolah dihentikan untuk melanjutkannya (mungkin enggan?), sebab pertunjukan itu sendiri adalah simbol yang lebih besar: keindahan untuk membicarakan Bali dan hal-hal yang ditulis oleh penulis asing pada buku mereka di halaman 19.

Di satu sisi, beberapa penonton yang saya temui merasa ingin menangis. “Bagian mana?” tanya saya. Dalam hati, saya menduga, jangan-jangan bagian yang sama dengan yang saya alami. Dan, betul, ketika tokoh anak—diperankan oleh Sarinah—menangis ketika diajak merantau ke Kalimantan.

Dialog anak itu sungguh tidak realistis, ia ingin liburan, sebagaimana anak-anak pada umumnya yang ingin plesir, tetapi ketika orang tua (M. Dinu Imansyah sebagai ayah dan Mailani Sumelang sebagai ibu) mengatakan bahwa mereka akan ke Kalimantan untuk menetap di sana, si anak menolak, berbicara layaknya orang dewasa, dan entah apa yang bekerja, adegan itu begitu mengharukan. Anak itu tak mau meninggalkan rumah dengan alasan Merajan baru dibangun. Sulit rasanya menemui anak macam itu—tidak mau pergi lantaran permasalahan yang entah dipahaminya atau tidak—tetapi, tetap saja, air mata tangisan anak itu telah jatuh pada pipi penonton.

Perjudian dan “Hal-19: Bali”

“Hal-19: Bali” serupa perjudian, melihat Bali dari halaman 19 buku-buku yang ditulis oleh orang asing. Perjudian tentunya secara langsung menggandeng resiko: berhasil atau tidak, menang atau kalah.

Pertunjukan “Hal-19: Bali” oleh Kalanari Theatre Movement serangkaian Festival Seni Bali Jani di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Denpasar, Bali, pada 1 November 2021 malam.

Teks-teks dari halaman 19 yang acak itu sengaja tidak dijadikan sebagai narasi utuh, namun ditenun oleh sutradara, yaitu Ibed Surgana Yuga sebagai sebuah refleksi, kritik, introspeksi, serta perluasan pandangan ke ruang-ruang narasi yang membentuk Bali kini, sebagaimana realitas yang merupakan jejaring makna, dan Bali hari ini adalah salah satu titik yang terajut dari jalinan makna; atas peristiwa-peristiwa besar tersebut.

Usaha yang dilakukan Kalanari, seolah ingin menunjukan banyak Bali hari ini dibentuk dari berbagai hal yang pernah dialami. Meskipun, dalam pertunjukan ini disebutkan berbagai tahun-tahun yang menjadi titik penting dalam sejarah Bali, tetapi ada satu hal yang begitu melekat di kepala saya, yaitu perjudian yang dilakukan orang-orang Bali dalam mengikuti program pemerintah yaitu, transmigrasi, di mana sebagian penduduk Bali harus pergi dari tanah kelahiran, meninggalkan merajan, menggandeng kecemasan atau mungkin kesedihan akan nasib yang tidak pasti. [T]

Tags: baliFestival Seni Bali JaniKalanari Theatre MovementTeaterYogyakarta
Previous Post

Galungan, Ayo Ngelawang Barong Lagi di Ubud

Next Post

Membaca Danarto dengan Segala Imajinasinya | Catatan Diskusi Semenjana

Agus Wiratama

Agus Wiratama

Agus Wiratama adalah penulis, aktor, produser teater dan pertunjukan kelahiran 1995 yang aktif di Mulawali Performance Forum. Ia menjadi manajer program di Mulawali Institute, sebuah lembaga kajian, manajemen, dan produksi seni pertunjukan berbasis di Bali.

Next Post
Membaca Danarto dengan Segala Imajinasinya | Catatan Diskusi Semenjana

Membaca Danarto dengan Segala Imajinasinya | Catatan Diskusi Semenjana

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lonte!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Screen Time vs Quality Time: Pilihan Berkata Iya atau Tidak dari Rayuan Dunia Digital

by dr. Putu Sukedana, S.Ked.
June 1, 2025
0
Screen Time vs Quality Time: Pilihan Berkata Iya atau Tidak dari Rayuan Dunia Digital

LELAH dan keringat di badan terasa hilang setelah mendengar suaranya memanggilku sepulang kerja. Itu suara anakku yang pertama dan kedua....

Read more

Google Launching Veo: Antropologi Trust Issue Manusia dalam Postmodernitas dan Sunyi dalam Jaringan

by Dr. Geofakta Razali
June 1, 2025
0
Tat Twam Asi: Pelajaran Empati untuk Memahami Fenomenologi Depresi Manusia

“Mungkin, yang paling menyakitkan dari kemajuan bukanlah kecepatan dunia yang berubah—tapi kesadaran bahwa kita mulai kehilangan kemampuan untuk saling percaya...

Read more

Study of Mechanical Reproduction: Melihat Kembali Peran Fotografi Sebagai Karya Seni yang Terbebas dari Konvensi Klasik

by Made Chandra
June 1, 2025
0
Study of Mechanical Reproduction: Melihat Kembali Peran Fotografi Sebagai Karya Seni yang Terbebas dari Konvensi Klasik

PERNAHKAH kita berpikir apa yang membuat sebuah foto begitu bermakna, jika hari ini kita bisa mereproduksi sebuah foto berulang kali...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Pramana Experience Luncurkan Rasayatra Edisi Kedua: Manjakan Indera, Sentuh Kesadaran Historis — Koneksi Tamu, Tradisi, Waktu
Panggung

Pramana Experience Luncurkan Rasayatra Edisi Kedua: Manjakan Indera, Sentuh Kesadaran Historis — Koneksi Tamu, Tradisi, Waktu

HUJAN itu mulai reda. Meski ada gerimis kecil, acara tetap dimulai. Anak-anak muda lalu memainkan Gamelan Semar Pagulingan menyajikan Gending...

by Nyoman Budarsana
June 1, 2025
Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025

MEMASUKI tahun ke-10 penyelenggaraannya, Ubud Food Festival (UFF) 2025 kembali hadir dengan semarak yang lebih kaya dari sebelumnya. Perayaan kuliner...

by Dede Putra Wiguna
May 31, 2025
ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”
Panggung

ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”

MENYOAL asmara atau soal kehidupan. Ada banyak manusia tidak tertolong jiwanya-sakit akibat berharap pada sesuatu berujung kekecewaan. Tentu. Tidak sedikit...

by Sonhaji Abdullah
May 29, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co