12 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Belajar “Akting Buruk” dari Pentas “Hal-19: Bali” Kalanari Theatre Movement

Agus WiratamabyAgus Wiratama
November 9, 2021
inUlasan
Belajar “Akting Buruk” dari Pentas “Hal-19: Bali” Kalanari Theatre Movement

Pertunjukan “Hal-19: Bali” oleh Kalanari Theatre Movement yang digelar di Art Center, Denpasar pada 1 November 2021,

Setelah pertunjukan “Hal-19: Bali” oleh Kalanari Theatre Movement yang digelar serangkaian Festival Seni Bali Jani di Taman Budaya, Art Center, Denpasar, 1 November 2021, saya sempat bertemu dengan Andika Ananda—salah satu aktor dalam pertunjukan ini—dan ia berkata, “Kuakui, Aktingku tadi buruk,” dan saya ingin segera menampar pipi sendiri. Ia bermain dengan luwes di atas panggung, tubuhnya yang menjadi modal penting seorang aktor tampak sudah bisa ia pegang, sebagaimana ihwal yang biasa dia katakan: “kita (aktor) harus sadar dengan tubuh”.

Tubuh adalah dualitas, ia adalah milik, sekaligus kita sendiri. Tetapi, sebisa mungkin aktor memiliki tubuh, berjarak dengannya—menyadari gerak tubuh keseharian sehingga ketika berada di panggung, aktor tidak gelagapan dengan ketiba-tibaan gerak tubuh yang terkodifikasi. Andika Ananda bermain dengan tubuhnya yang luwes, ritme jalan, gayungan tangan, roll, dan ekspresi dengan proyeksi penonton dalam panggung prosenium di Gedung Ksirarnawa.

Ia berperan seperti Joker, kadang keluar dengan balon terbang dengan tali terikat di leher—seolah ia adalah antagonis pulau Bali—kadang dengan sepeda, kadang sebagai guid, kadang sebagai moderator yang ngobrol dengan pelaku tamu: I Ngurah Suryawan. Tetapi, “Itu akting buruk,” katanya. Lambat laun saya sadar, jika saja akting Andika adalah akting yang jelek, maka banyak aktor yang aktingnya “jelek aja belum”.

Sebuah pertunjukan tentu tidak bisa mengandalkan satu tubuh aktor saja. Kekuatan pertunjukan mesti dirajut dari kemampuan masing-masing aktor dan harus diakui, aktor-aktor Kalanari bagaikan “pendekar yang turun gunung”. Saya ingat, ketika seseorang berkata bahwa aktor harus memiliki pegangan.

Dalam konteks ini, pegangan adalah semacam dasar pijakan aktor, bisa berupa tari, silat, atau hal-hal lain yang menjadi modal dalam bermain peran. Dan, rata-rata aktor Kalanari memiliki pegangan itu: tari, silat, dan sebagainya. Meskipun bentuk-bentuk pijakan itu tidak muncul secara mentah di atas panggung, tetapi tubuh adalah arsip pengalaman, termasuk pijakan itu yang telah ada di sana, sehingga aktor-aktor itu saya sebut “Para pendekar yang turun gunung”.

Pertunjukan “Hal-19: Bali” oleh Kalanari Theatre Movement serangkaian Festival Seni Bali Jani di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Denpasar, Bali, pada 1 November 2021 malam.

Pada adegan awal pertunjukan “Hal-19: Bali”, misalnya, para aktor tersebar di bangku penonton, lampu general menyala; tak ada fokus lampu, dan beberapa pemain mondar-madir dengan kostum warna-warni, ransel, sebatang daun palem, dan wajah yang telah dirias; beberapa di antaranya terlihat sedih, beberapa terlihat sedang bingung mencari sesuatu, dan semua penonton bisa memilih untuk melihat salah satu atau beberapa dari mereka—barangkali tenggelam pada impresi yang muncul dari gerak-gerik mereka. Meskipun lampu general menyala, kostum yang tidak lerlalu mencolok di antara kursi merah penonton, aktor tetap membuat penonton menjadi hening; atau mungkin penonton sedang menduga-duga persebaran para pemain, atau bertanya-tanya, apa yang para aktor itu akan lakukan.

Sepanjang pertunjukan, mereka tampil dengan gerakan yang tampak sederhana. Kesederhanaan gerak ini justru memperlihatkan tubuh para aktor, tubuh-tubuh itu seolah sedang berbicara suatu hal pada penonton. Katakanlah pada satu adegan, ketika para aktor berkumpul, berjalan dengan langkah kecil, dan seseorang dari kerumunan itu memegang perahu yang juga kecil—seolah mereka sedang berlayar dengan kecemasan, kepasrahan—hanya berjalan kecil! Berjalan kecil! Tapi mereka telah berbicara sesuatu dengan komposisi itu: raut wajah cemas, tangan memeluk beberapa barang, dan ransel dan bendera merah.

Simbol-simbol dalam “Hal-19: Bali”

Kesempatan ini adalah kali pertama saya menonton langsung pertunjukan Kalanari Theatre Movement. Pentas Kalanari kali ini digelar serangkaian Festival Bali Jani III 2021. Saya tidak ingin terbebani dengan tafsir. “Kita adalah memahami,” secara sederhana dan serampangan, saya menggunakan pemahaman itu dalam menonton pertunjukan Kalanari, saya melepas segala beban usaha untuk menafsir bentuk pertunjukan.

Pertunjukan “Hal-19: Bali” oleh Kalanari Theatre Movement serangkaian Festival Seni Bali Jani di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Denpasar, Bali, pada 1 November 2021 malam.

Beruntungnya, berbagai simbol yang hadir di panggung membuat saya bisa tetap relaks. Katakanlah pada satu bagian yang menjadi satu adegan paling menghanyutkan saya: para aktor mengambil apel dari ransel mereka, lalu apel digigit dan tangan para aktor pelahan melepas apel, lalu bergerak lembut seperti hendak terbang. Apel tetap menempel di mulut. Lampu biru dan musik sendu mengiringi adegan ini. Dan, saya tidak bisa pergi meski ada satu hal yang harus segera diselesaikan di toilet.

Hingga pertunjukan selesai, saya tak ingin menafsir adegan per adegan. Sialnya, kata Heidegger, kita adalah memahami, dan bukankah keterhanyutan pada adegan adalah satu bentuk “memahami”? Barangkali, simbol-simbol yang mereka tawarkan bisa dituntut lebih dari sekedar keindahan, keterenyuhan, kegetiran, dan segala ketegangan makna atas itu. Tetapi, saya seolah dihentikan untuk melanjutkannya (mungkin enggan?), sebab pertunjukan itu sendiri adalah simbol yang lebih besar: keindahan untuk membicarakan Bali dan hal-hal yang ditulis oleh penulis asing pada buku mereka di halaman 19.

Di satu sisi, beberapa penonton yang saya temui merasa ingin menangis. “Bagian mana?” tanya saya. Dalam hati, saya menduga, jangan-jangan bagian yang sama dengan yang saya alami. Dan, betul, ketika tokoh anak—diperankan oleh Sarinah—menangis ketika diajak merantau ke Kalimantan.

Dialog anak itu sungguh tidak realistis, ia ingin liburan, sebagaimana anak-anak pada umumnya yang ingin plesir, tetapi ketika orang tua (M. Dinu Imansyah sebagai ayah dan Mailani Sumelang sebagai ibu) mengatakan bahwa mereka akan ke Kalimantan untuk menetap di sana, si anak menolak, berbicara layaknya orang dewasa, dan entah apa yang bekerja, adegan itu begitu mengharukan. Anak itu tak mau meninggalkan rumah dengan alasan Merajan baru dibangun. Sulit rasanya menemui anak macam itu—tidak mau pergi lantaran permasalahan yang entah dipahaminya atau tidak—tetapi, tetap saja, air mata tangisan anak itu telah jatuh pada pipi penonton.

Perjudian dan “Hal-19: Bali”

“Hal-19: Bali” serupa perjudian, melihat Bali dari halaman 19 buku-buku yang ditulis oleh orang asing. Perjudian tentunya secara langsung menggandeng resiko: berhasil atau tidak, menang atau kalah.

Pertunjukan “Hal-19: Bali” oleh Kalanari Theatre Movement serangkaian Festival Seni Bali Jani di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Denpasar, Bali, pada 1 November 2021 malam.

Teks-teks dari halaman 19 yang acak itu sengaja tidak dijadikan sebagai narasi utuh, namun ditenun oleh sutradara, yaitu Ibed Surgana Yuga sebagai sebuah refleksi, kritik, introspeksi, serta perluasan pandangan ke ruang-ruang narasi yang membentuk Bali kini, sebagaimana realitas yang merupakan jejaring makna, dan Bali hari ini adalah salah satu titik yang terajut dari jalinan makna; atas peristiwa-peristiwa besar tersebut.

Usaha yang dilakukan Kalanari, seolah ingin menunjukan banyak Bali hari ini dibentuk dari berbagai hal yang pernah dialami. Meskipun, dalam pertunjukan ini disebutkan berbagai tahun-tahun yang menjadi titik penting dalam sejarah Bali, tetapi ada satu hal yang begitu melekat di kepala saya, yaitu perjudian yang dilakukan orang-orang Bali dalam mengikuti program pemerintah yaitu, transmigrasi, di mana sebagian penduduk Bali harus pergi dari tanah kelahiran, meninggalkan merajan, menggandeng kecemasan atau mungkin kesedihan akan nasib yang tidak pasti. [T]

Tags: baliFestival Seni Bali JaniKalanari Theatre MovementTeaterYogyakarta
Previous Post

Galungan, Ayo Ngelawang Barong Lagi di Ubud

Next Post

Membaca Danarto dengan Segala Imajinasinya | Catatan Diskusi Semenjana

Agus Wiratama

Agus Wiratama

Agus Wiratama adalah penulis, aktor, produser teater dan pertunjukan kelahiran 1995 yang aktif di Mulawali Performance Forum. Ia menjadi manajer program di Mulawali Institute, sebuah lembaga kajian, manajemen, dan produksi seni pertunjukan berbasis di Bali.

Next Post
Membaca Danarto dengan Segala Imajinasinya | Catatan Diskusi Semenjana

Membaca Danarto dengan Segala Imajinasinya | Catatan Diskusi Semenjana

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Duel Sengit Covid-19 vs COVID-19 – [Tentang Bahasa]

    11 shares
    Share 11 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Krisis Literasi di Buleleng: Mengapa Ratusan Siswa SMP Tak Bisa Membaca?

by Putu Gangga Pradipta
May 11, 2025
0
Masa Depan Pendidikan di Era AI: ChatGPT dan Perplexity, Alat Bantu atau Tantangan Baru?

PADA April 2025, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh laporan yang menyebutkan bahwa ratusan siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kabupaten Buleleng,...

Read more

Animal Farm dalam Interpretasi Pemalsuan Kepercayaan

by Karisma Nur Fitria
May 11, 2025
0
Animal Farm dalam Interpretasi Pemalsuan Kepercayaan

PEMALSUAN kepercayaan sekurangnya tidak asing di telinga pembaca. Tindakan yang dengan sengaja menciptakan atau menyebarkan informasi tidak valid kepada khalayak....

Read more

Enggan Jadi Wartawan

by Edi Santoso
May 11, 2025
0
Refleksi Hari Pers Nasional Ke-79: Tak Semata Soal Teknologi

MENJADI wartawan itu salah satu impian mahasiswa Ilmu Komunikasi. Tapi itu dulu, sebelum era internet. Sebelum media konvensional makin tak...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

April 22, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space
Pameran

Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space

JUMLAH karya seni yang dipamerkan, tidaklah terlalu banyak. Tetapi, karya seni itu menarik pengunjung. Selain idenya unik, makna dan pesan...

by Nyoman Budarsana
May 11, 2025
Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery
Pameran

Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery

INI yang beda dari pameran-pemaran sebelumnya. Santrian Art Gallery memamerkan 34 karya seni rupa dan 2 karya tiga dimensi pada...

by Nyoman Budarsana
May 10, 2025
“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra
Panggung

“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra

SEPERTI biasa, Heri Windi Anggara, pemusik yang selama ini tekun mengembangkan seni musikalisasi puisi atau musik puisi, tak pernah ragu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

May 11, 2025
Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

May 11, 2025
Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

May 11, 2025
Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

May 10, 2025
Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

May 10, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co