IKAN BAKAR DAN SEPORSI SORE
Di hadapanku sore berdebar
di atas piring datar
segaris di depannya tatapan garis pantai
berlumur senyum ringan tipis tak beralamat
tak beraturan dibentuk kecemasan
Barangkali ini tak pernah kurasa sebelumnya
maka bersyukur kulakukan pertama
rumah terbaik bagi rasa
sebab musim tak pernah sama
Meski janji ombak pada pasir belum tuntas
Telapak kakiku terlena harum nyala batang dupa
menyimpul setengah rona dan degup dada
Di hadapanku teronggok puisi
dalam seporsi sore
dan bumbu lengkap obrolan di restoran seafood
Barangkali ini deja vu
maka perlu kucari-cari ruang ingat
berasil!
seporsi sore dan ikan bakar harum batok kelapa
menghentikan air mata dan kemarau panjang
tentu tak bisa diremehkan
juga janji ubi santan
dan tumis pakis bunga pepaya
berhasil mengaduk genangan kenangan
aroma garam menohok hidung
bercampur sedap sampai sudut-sudut rumah nelayan
akan lelaki tua itu
pengipas ikan pada tungku bakar
tempat ia pulang
(2018)
LAWAR BUATAN NENEK
/1/
adalah penyembuh
tak ada alasan pada citra buruk rupa
karena rasa istana
bersalut doa dan suka cita
dirajang secukupnya
/2/
daun pakis cuga nangka muda
menawarkan kekawatiran pada lidah-lidah asing
di halaman belakang rumah
daun belimbing cenderung
memesona ketimbang daun cabau puyung
misalnya ketika berpose
di akun-akun instagram restoran tradisional milik ajik dan biang
yang setia merekam momen
dalam menu-menu penuh borehan bumbu
/3/
kenangan buat tak ragu kembali
menegak tradisi yang dijual mahal
konon rempah jamu
antusias diimbuhi begitu rupa pariwisata
menyegarkan tanah pertiwi
sudah barang tentu
juga mengeraskan rindu
tak lelah menari bersama jari-jari
dan riak manis nyiur
meneduhkan di atas kepala kami
(2018)
GULA-GULA KAPAS
- bersama putri, dayu, pandit
kami pernah jadi anak-anak
dengan kisah hampir sama
suka jajan pinggir jalan
ringan tapi manis
kami ingin lagi jadi anak-anak
senyum simpul,
lipatan rindu
pada saku kemeja marun
bermotif ruas-ruas Denpasar
kami bukan lagi anak-anak
maka, kutitip gelak
pada percakapan kalian
dengan malu-malu
kurajut lalu jadi puisi
warna-warni
(2017)
BAYANGKAN JAGUNG
Aku suka membayangkan
butir-butir keemasan itu
kuantar pada tiap libur panjangku
dari dapur ibu yang sederhana
Aku senang
melukis lepet, urap, talam, dan bubur
di atas piring porselen
koleksi kebanggaan ayah
yang tampak selalu menggodamu
ya, mungkin kala itu masih pagi
matahari masih hangat
ibu masih sehat
Aku menginginkan
perlahan saja
waktu kini
mengirimkanmu lagi
bukan hanya dongeng
(2017)
MEMINUM KOPI
Rintik sisa hujan menyejukkan
mengiringi perjalanan menuju secangkir kopi
adalah berkat bagi lambung
Sore semakin gigil
jalan setapak makin lengket
mampirlah jika tak sibuk
sekadar bertegur sapa buat buah tangan
bercerita tentang pemandangan indah
pesona pisang goreng dan lupis ketan aroma pandan
buatan istri
atau menyimpan sejuk pedesaan
dalam satu dua jepretan langit cerah, angin tawa, dan keluh lirih
atau kembang kopi
pendongeng ulung
perekam kisah nenek moyang
juga penjawab bagi segala pertanyaanmu
bahkan hingga malam menggeliat manis
serupa cairan gula palem
(2018)
PUNGGUNG UDANG DI LINGKAR PIRING
Di ruang dingin ini
Bunyi sibuk diantar satu-satu
Gemeltuk langkah sepatu gadis ramah
yang luput dari ingatan
biarkan gambar-gambar asing mengering
di piring ini
aroma sahaja pada setangkai doa
bangun pagi sebagai petarung
duduk menunggu disapa senyum-senyum ranum
asmara sejak halaman pertama
di balik harum bumbu
cerita dimulai oleh bibir beku
ditumis api waktu
hingga dendang gurih kutunggu
di malam ini surga disajikan dalam seporsi lagi
punggung udang irisan seledri
membangun kembali keikhlasan, kesabaran, sisa mimpi
di ruangan dingin ini
kutulis mantra penyambung hidup
kueja dengan riang
meski kadang malah berbuah air mata
(2018)
TUAN LIDAH
di sebuah meja yang di atasnya
ditata cerita
di dalam perut
riang berdendang
berulang kali rempah, bawang putih, dan kemiri
lekas tegakkan punggung lidah
mulut terkagum
oleh kelihaian seorang peracik
untuk para pencari
sajian pagi
(2016)
WARUNG TENDA PASAR NYANGGELAN
kau masuk mendesah
gemulai kenangan mulai menggenang
bersilat di genuruh dada
di sudut malam minggu
nama, sebuah kalimat sampai satu-satu
berulang jadi sepasang
jadi rindu menggebu
sendawa bercinta
malam mulai pergi
saat bunyi blender,
pekat kopi, dan wangi tempe goreng
menunggu di ujung hidung
kau telah usai
terbata bereskan warung
ketika tiba-tiba
aroma minyak wangi penjual soto sapi
tergerus angin dan gerimis
pada atap-atap terpal
(2018)
SAMBAL MATAH
cerita berderai
mata redup lampau
menatap potongan cabai rawit merah
seakan tak ada lagi pagi
kepada wangi minyak kelapa
di dalam gemulai lincah perutmu
waktu menjelma cemburu
harum daun jeruk
gelinding bawang merah
kukenang demikian di kepala
menyelinap potongan serai
di antara wangi garam kusamba
dengan hati terbuka
menghamburkan bahagia
(2015)
CUMI BEGALO
mari berlayar
sari laut menyambut kita
menuang kembali
sebagai kenangan di atas piring
dalam ribu tanya
baluran rempah
menyelimuti debur ombak
belum terjawab
kupilih diam
saat kata-kata gempita
buat kembali membumbung langit lidahku
sesekali tercium aroma ampas kopi
di mata di lidahmu
cahaya puas terkulum
(2017)
NASI MEN DARTA
: Made Adnyana Ole
Setelah kubaca sajak nasimu,
ada ruang sempit bagi pengelana
buat hilang rasa lapar
Maka saat lapar berikutnya,
kuingat kembali cerita pengantar pulang itu
kupesan seporsi nasi men darta, seperti katamu
Tak terbayangkan bisik rempah hangatkan tubuh
kutambah sedikit garam,
kubiarkan waktu sambung tali sejarah
biar kuah bening tulang kaki tambah resah
Sebab jarak masa lalu
serakkan kata-kata persinggahan denpasar – singaraja
telah dilindas kendaraan-kendaraan
pencari kenangan
(2019)