Dua seniman asal Rusia, Anna Evtiugina (producer & curator) dan Nikita Shokhov (visual artist & filmmaker) hadir di rumah Belajar Komunitas Mahima di Singaraja Bali, dalam acara Meeting Point Artist Talk “How to Reach Greatness in Your Artistic Medium”, Jumat 22 oktober 2021.
Dalam acara yang diselenggarakan oleh Lepud Art Management bersama Komunitas Mahima dan Main Cerita, itu hadir dan bicara juga seniman Indonesia, Kadek Sonia Piscayanti (writer), Wanda & Jegeg Bulan (ventriloquist), Kardian Narayana (Journalist & Filmmaker) dan saya sendiri, I Gede Made Surya Darma (Pelukis & seniman Performance).
Dari Museum Arma
Acara ini di latar belakangi oleh pertemuan saya dengan Anna Evtiugina dan Nikita Shokhov. Dua seniman itu bercerita tentang proyek kesenian dan ketertarikannya dengan budaya Indonesia.
Dalam proyek-proyeknya, Nikita sering mengeksplorasi aspek karnaval dari realitas dalam budaya barat. Dalam arti tertentu, citraan karnaval ini menyatu dengan tradisi dan kesenian Indonesia. Hal ini memunculkan minatnya untuk meneliti dan mempelajari lebih dalam tentang budaya dan seni Bali.
Nikita mengenal budaya Indonesia pertama kali saat melihat tarian tradisional di The Watermill Center. Dalam residensi seni di New York ini, ia bekerja dengan Robert Wilson dalam mengembangkan produksi operanya. Kemudian, Nikita melihat pertunjukan Orkestra Gamelan di California Institute of the Arts di mana ia belajar pembuatan film eksperimental.
Ia juga belajar agama Buddha di sebuah biara dekat San Francisco, dan agama Hindu di India. Ia pun tertarik dengan kisah seniman kelahiran Rusia berkebangsaan Jerman, Walter Spies, yang menetap di Bali.
Karena itulah saya kemudian mengajak Nikita dan Anna mengunjungi Museum Arma Ubud menyaksikan lebih dekat mengenai karyanya. Kami disambut Anak Agung Gde Rai, pemilik Museum ARMA, yang kemudian menceritakan menegenai kisah jejak perjalanan Walter Spies, serta menunjukkan koleksinya mengenai karya Walter Spies.
Saat kami makan bersama di restaurant di Museum Arma pun kami melanjutkan obrolan. Anak Agung Gde Rai menceritakan secara detail latar belakang beliau yang awalnya seorang pedagang acung, pedagang yang menjajakan lukisan untuk wisatawan, sejak SMP hingga akhirnya pada pada umur 20 tahun sudah mampu membeli tanah untuk membangun museum, dan pada umur 40 tahun akhirnya museum ARMA diresmikan atas jerih payah dan kecintaanya terhadap karya seni. Kami juga diberitahu proyek terakhirnya mengenai Wisma Seni untuk kegiatan artist in residency.
Artist Talk
Dengan latar belakang tersebut, saya melalui Lepud Art Management berinisiatif untuk mengadakan presentasi dan artist talk, bekerja sama dengan Komunitas Mahima dan juga Main Cerita di Singaraja.
Dalam acara tersebut, masing masing seniman yang terlibat mempresentasikan karyanya, sesuai dengan minat dan bidang masing masing, yang berupa lukisan, film, karya sastra, performance art dan pertunjukan ventriloquist.
Kardian Narayana menampilkan karya film yang berjudul “Belajar Pada Pandemi”, yang dibuatnya pada masa dunia dilanda Pandemi Covid-19. Film tersebut disutradarai oleh Eka Prasetya dan Kardian Narayana.
Dalam film tersebut memperlihatkan kisah ibu tentang berbagai kendala yang dialami dalam proses belajar mengajar di masa pemberian pelajaran secara daring, juga menampilkan kisah seorang guru yang sedang hamil untuk mengajar siswanya. Karena keterbatasan para siswa yang tidak memiliki handphone android, untuk kebutuhan mendapatkan pelajaran, dengan susah payah harus menemui siswanya menaiki perbukitan. Sangat ironi sekali.
Bali sebelum terkena pandemi bergelimpangan harta, dampak dari pariwisata, namun disisi lain banyak daerah di Bali masih dengan situasi di bawah garis kemiskinan.
Kadek Sonia Piscayanti seorang sutradara dan penulis naskah drama dan puisi, menampilkan karya puisi yang berjudul Schizo Voice dan Burning Tongue tahun 2017.
Schizo Voice adalah tentang suara seorang pengidap schizophrenia yang berada di antara masa lalu, kini dan masa depan. Sedangkan Burning Tongue adalah soal bagaimana kita harusnya memelihara lidah dan kata, agar tak menyakiti. Sebuah sarkas soal lidah dan kata yang bisa melukai seumur hidup.
“Jadi di puisi itu saya bilang kalau tidak bisa menggunakan lidah dengan baik, sebaiknya dibakar,” ujar Sonia, kehidupan sosial masyarakat sehari-hari banyak menjadi ide karya Sonia, dan bebera karyanya pernah di pentaskan di Malaysia, India, Nepal, Australia, Belanda dan Prancis diajang pertunjukan kesenian di tingkat Dunia.
NI Luh Wanda Putri Pradanti, seorang ventriloquist muda asal Bali menampilkan karya kalaborasinya dengan boneka Vent Figure yang di beri nama Jegeg Bulan, nama Jegeg Bulan tersebut di ambil dari, kata Bahasa Bali yang berarti sangat cantik. Dalam acara ini Wanda & Jegeg Bulan menampilkan karya yang berjudul A Story of Stars, bercerita tentang seorang anak yang mengunjungi bintang-bintang.
Cerita ini biasanya dibawakan sebagai pengantar jika ingin mengajak anak-anak mencari tahu tentang siklus hidup bintang dan tentang benda langit lainnya. Awal perjalanan Wanda sebagai ventriloquist adalah karena ia sering mendongeng untuk anak-anak. Ia percaya mendongeng untuk anak-anak dapat membantu mengembangkan imajinasi mereka, serta membangun kedekatan emosional. Ia jadi akrab dengan penggunaan boneka, kemudian mulai tertarik dengan dunia ventriloquism.
Saya sendiri, I Gede Made Surya Darma, mempresentasikan karya seni yang pernah ditampilkan di ajang seni, International di berbagai negara seperti Cina, Malaysia, India, Jepang, Myanmar, Jerman, Filipina, dan Austria. Saya juga menunjukkan dokumentasi karya performance art mengenai perjalanan wabah yang diakibatkan oleh virus di seluruh dunia sejak 1200 tahun SM hingga saat ini, yaitu Covid-19.
Saya juga mempresentasikan keterlibatan dalam pembuatan proyek kesenian seperti Festival International Performance Art yang mengambil tema “Spiritual Renewal” bersama Performance Club Jogja pada tahun 2007, ikut dalam komunitas seniman di asia “Asian Youth Imagination” membuat festival subak dengan nama “Subak with Art Festival tahun 2010.”
Saya pernah menjadi menejer di salah satu gallery kontemporer di Bali, menjadi direktur project pameran Ironi In Paradise di Museum Arma ubud padatahun 2013 bersama Sanggar Dewata Indonesia, konseptor acara dan Direktur proyek Festival Pasar Rakyat Denpasar tahun 2019, dan akhirnya membentuk management seni bernama Lepud Art Management.
Anna dan Nikita
Anna Evtiugina merupakan seorang produser dan kurator seni yang saat ini menetap di New York. Ia bercerita mengenai proyek kurator kesenianya. Ia merupakan salah satu pendiri studio kreatif iPureLand, lembaga penasihat dan kuratorial yang berfokus pada proyek seni internasional.
Ia juga memiliki pengalaman profesional bekerja dengan International Studio and Curatorial Program, Residency Unlimited NY, State Hermitage Museum, San Jose Museum of Art, Moscow Museum of Modern Art, Galerie Iragui, Pictura Gallery. mendukung keberlanjutan organisasi seni dan budaya melalui konsultasi, kemitraan strategis dengan bisnis, dan pengembangan profesional.
Ia juga bercerita mengenai penelitianya yang saat ini difokuskan pada pengembangan kemitraan dan pertukaran strategis AS-Rusia di bidang seni. Di ISCP, Anna mengkurasi Artist Residency Award untuk artis pendatang baru yang didirikan bersama dengan grup AES+F (sejak 2020). Di Residency Unlimited, Anna mengkurasi program pengembangan dan pertukaran profesional untuk seniman, kurator, dan galeris yang berbasis di Rusia pada tahun 2019.
Selain itu, ia juga bercerita mengenai keterlibatanya dalam proyek pembuatan film eksperimental 360 derajat The Klaxon (AS/Rusia, 2021) yang disutradarai oleh Nikita Shokhov, Anna mengeksplorasi penggunaan gambar sferis untuk imersif baru dan pendekatan partisipatif untuk melibatkan komunitas lokal.
Bersama Antonio Geusa, Anna mengkurasi proyek instalasi video dan media multi-channel Maret lalu oleh Naum Medovoy, Nikita Shokhov dan Oleg Makarov. Pada tahun 2017, bersama-sama mengkurasi pameran Maret Terakhir di Museum Seni Modern Moskow bekerja sama dengan galeri Salamatina yang berbasis di NY pada tahun 2017.
Pada tahun 2021, bagian kedua dari proyek dipamerkan di pusat seni Cube.Moscow dan fasad media di Yeltsin Center. Ruang tontonan online proyek: https://lastmarch.org/en. Di Museum State Hermitage, Anna bekerja di pameran monografi Roberto Matta sebagai asisten kurator (2019).
Anna mengkurasi The Art of Becoming Black in America di Indiana University (2017) yang mencakup simposium dua hari tentang peran seni dalam sejarah perlawanan dan lokakarya gerakan dengan African American Dance Company.
Pada 2011-2015, ia menjadi direktur dan asisten kuratorial di Galerie Iragui di Moskow, untuk seniman konseptual Rusia dan seniman eksperimental baru.
Evtiugina memegang gelar MA dalam Administrasi Seni dari Universitas Indiana, MA dalam Bisnis Internasional dari Universitas Federal Ural (Yekaterinburg, Rusia) dan sertifikat dalam Komunikasi Antarbudaya dari Universitas Friedrich-Schiller Jena (Jerman). Deskripsi tentang program dukungan untuk galeri yang berbasis di Rusia termasuk partisipasi dalam pameran seni, pengembangan profesional, dan residensi di NY.
Nikita Shokhov seniman visual, menjadikan manusia sebagai subjek utama dari praktiknya bersama dengan agenda filosofis. Ia mempelajari seni visual berbasis lensa di dapatnya ketika menempuh Pendidikan di Rusia dan Amerika Serikat. Dalam presentasinya, ia menceritakan pengalamanya dalam berbagai bidang proyek kesenian, juga ketertarikanya mengenai lingkungan yang imersif, melalui karya grafik 3D dalam kehiduapan realitas, juga mengenai karyanya yang berbentuk dokumenter, video volumetrik, fotografi, dan film.
Karya-karya yang ditampilkan dalam presentasinya adalah karya yang pernah ia pamerkan di Moscow Museum of Contemporary Art, Manifesta 10 di St. Petersburg, Photoquai Biennial di Paris, galeri GRAD di London, Spring/Break Art Show di New York, teater Redcat di Los Angeles.
Atas keunikan karyanya, Nikita mendapat penghargaan di bidang kesenian di World Press Photo dan Nova Art.
Seniman Indonesia dan Rusia
Hubungan seniman Indonesia dan Rusia sudah dibina sejak kedatangan Walter Spies yang datang ke Indonesia tahun 1923. Dan menetap di Bali sejak tahun 1927.
Di masa pemerintahannya, presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno, pernah dihadiahi lukisan langka dari seniman Rusia, Konstantin Yegorovich Makovsky dengan judul “Perkawinan Adat Russia” dengan ukuran 295 x 450 cm saat kunjungan presiden Soekarno ke Rusia. Lukisan ini merupakan hadiah rakyat Rusia melalui Pemimpin Uni Soviet (1956-1964), Nikita Khurushchev. Lukisan tersebut di perkirakan usianya lebih dari 129 tahun
Hubungan ini juga terlihat dengan dipamerkanya karya lukisan Indonesia di Museum The State Of Oriental di Moskow yang bertajuk “ Kehidupan Baru. Kesenian Indonesia” pada tanggal 28 September hingga 16 Oktober 2016. Pameran tersebut diselenggarakan untuk memeriahkan acara Tahun Kebudayaan Rusia-ASEAN. Ada 33 koleksi lukiansa, yaitu karya karya lukisan seniman Indonesia di era tahun 1950 – 1960-an.
Semua karya itu dibuat pada priode artistik Indonesia yang sangat penting dan sekaligus menandai tahap baru perkemabangan seni rupa Indonesia. Beberapa seniman terkenal Indonesia yang ikut pameran tersebut, antara lain Joko Pekik, A. Rustamaji, Basuki Rosobowo, dan Idji Tarmizi.
Karena adanya alasan ideologi, di Indonesia sendiri karya-karya seniman di era tersebut tidak banyak ditemukan, dan pameran tersebut dianggap penting karena pengenalan sejarah Indonesia pada masa itu.
Hubungan bilateral Indonesia dengan Rusia baru-baru ini juga ditandai dengan diadakan pameran yang bertajuk “Untaian Katulistiwa (Necklace of Equator) yang digelar di Galeri Nasional Indonesia, di Jakarta. Pada tanggal 3-17 Februari 2019 Pameran tersebut untuk memperingati 70 tahun hubungan Indonesia dengan Russia.
Hubungan-hubungan seperti ini melalui seni dan kebudayaan patut di jaga untuk kemajuan seni dan kebudayaan bersama. [T]