Kalau bicara sekaa gong dan tari-tarian, semua desa di Bali punya. Tapi, seni-hiburan tapel gandong mungkin hanya ada di Di Desa Les, Kecamatan Tejakula, Buleleng. Tapel gandong bahkan sudah menjadi seni-hiburan rakyat yang disaksikan dari generasi ke generasi secara turun-temurun di desa itu.
Saat petang, pas bulan purnama bergerak meninggi, 20 Oktober 2021 saya berkesempatan mendengarkan cerita dari Wayan Madiana. Lelaki itulah yang saat ini memaikan tapel gandong di Desa Les yang selalu kerubuti anak-anak.
Di Desa Les ia lebih dikenal dengan nama Yan Mangku. Ia adalah penyimpan sekaligus pementas tapel gandong yang sangat terkenal dan selalu menjadi tontonan seru nan menghibur bagi warga, khususnya pada saat Hari Pengerupukan, sehari sebelum Nyepi.
Tapel berarti topeng, gandong artinya gendong. Yang unik dan lucu dari tapel gandong ini tentu saja semacam adanya “tipuan” mata. Seakan-akan Yan Mangku yang digendong oleh seseorang yang beropeng, padahal Yang Mangku-lah yang memegang sosok yang dibuat sedemikian rupa seperti nenek tua itu.
Saya sendiri berusia 34 tahun saat ini. Dan saya ingat betul sudah menyaksikan pementasan rakyat ini sedari kelas 1 Sekolah Dasar. Yan Mangku saat ini berusia 50 tahun. Dan waktu remaja ia sudah menyaksikan tapel gandong yang dimainkan oleh sang ayah. Jadi, seni tapel gandong ini sudah sangat lama.
Cerita Yan Mangku pun mengalir. Saya mendengar sembari menyaksikan rembulan yang meninggi di langit ti8mur. Tapel gandong, menurut cerita yang ia ingat, pertamakali dibuat oleh almarhum Kaki Seneng.
Meski tak ada bukti tertulis, tapel gandong ini dipercaya sudah dibuat saat zaman pendudukan Jepang di Indonesia. Tapel yang diwarisakn dari zaman Jepang itu sempat hilang. Namun generasi setelahnya lewat Jro Penyarikan Nail dan kawan-kawan membuat tapel gandong lagi untuk bisa diteruskan menjadi tradisi di Desa Les dan menghibur masyarakat.
Nama-nama seperti Almarhum Pak Yan Turpa dan Almarhum Pak Nengah Srikanti adalah sosok penari yang pernah memainkan tapel gandong sebagai pertunjukan paling yang diingat dari generasi ke generasi di Desa Les.
Nah, Wayan Madiana alias Yan Mangku memainkan warisan tapel gandong itu sejak tahun 2009. Yan Mangku adalah anak dari almarhum Nengah Srikanti. Tongkat estafet tapel gandong pun berlanjut di Desa Les.
Selain menjadi hiburan rakyat di Desa Les, tak jarang tapel gandong ini dipentaskan di ajang pawai di kota Singaraja. Tapel gandong ini memang dipentaskan untuk menyimbolkan orang yang pincang, berwujud tua, yang digendong. Pesan yang hendak disampaikan, lewat seni pertunjukan ini kita harus saling tolong menolong, bantu membantu sesama.
Saat pengerupukan di Desa Les, warga biasanya menyebut-nyebut kata-kata khas sambil membawa prakpak (daun kelapa kering) yang dibakar. Kata-kata itu antara lain , “Ane dengkleng gandong, ane buta dandan“. Artinya, yang pincang digendong, yang buta digandeng tangannya.
Pengiring tarian tapel gandong ini awalnya adalah tektekan. Alat musik dari bambu ampel, dalam istilah lokal. Tidak hanya menyimpan dan mementaskan, Yan Mangku telah menjadi bagian dari cerita dan kenangan ribuan orang dari berbagai generasi di Desa Les tentang pertunjukan tapel gandong.
Dan bukan juga karena alasan mistis, ketika dipentaskan Yan Mangku mengaku badannya terasa sangat ringan dan terasa melayang-layang. “Ibarat digendong seseorang,” tuturnya.
Besar harapan Yan Mangku, ada generasi penerus untuk meneruskan warisan seni ini agar tak hanya bisa di nikmati lewat tulisan atau video suatu saat nanti. Dan saat ini Yan Mangku setia menyimpan dan mementaskan jika ada yang meminta untuk pentas.
Yang tak pernah lupa, setiap tumpek, tapel gandong ini dihaturi sesajen. Begitulah cinta terhadap warisan apa pun, yang jarang diketahui, dan tujuannya untuk menghibur semua orang. [T]