Desa Penglipuran, Bangli, adalah salah satu desa wisata yang berhasil menjaga tradisi, adat, keindahan alami, keindahan arsitektur, sekaligus juga sukses memenuhi tuntutan dunia modern, semisal system sanitasi yang baik.
Saya bersama istri, Rabu, 13 Oktober 2021, datang ke Desa Penglipuran dalam rangka menjalankan program Bakti Wiyasa Art Project untuk membagun kecintaan dan kelestarian akar budaya Bali. Dalam program ini, saya akan berkeliling Bali secara bertahap, utamanya mengunjungi situs tua dan desa tua, sembari melukis situs-situs dan desa-desa itu dengan cat air di atas kertas.
Di Desa Penglipuran, saya datang dengan istri karena istri juga ingin belajar tentang bagaimana merawat tatanan adat-tradisi dan bangunan kuno, selain juga belajar mengembangkan wisata berbasis desa adat. Kebetulan istri juga mengajar mangement pariwisata di kampus Tri Atma Mulia, Dalung, Badung.
Saya berkunjung ke Desa Penglipuran dan melihat geliat pariwisata di desa itu mulai terasa. Wisatawan terlihat mulai ramai, terutama wisatawan domestic.
Usaha kuliner dan kerajian serta tanaman di rumah rumah warga terlihat ramai pembeli. Terutama membeli buah durian dan jajan Bali. Wisatawan juga tampak membeli pakaian adat dan langsung dipakai lalu dengan ceria berfoto bersama dan swa foto.
Sudah beberapa hari, kata seorang warga, geliat ekomoni hadir kembali di desa itu. Desa wisata berbasis desa adat ini menerapkan wisata kolektif yang hasilnya bisa dinikmanti seluruh warga. Warga pun dengan setia menjaga arsitektur tradisonalnya yang bernasis bambu. Warga juga setia merawat hutan desa berupa hutan bambu di tepi desa.
Ini yang penting. Tiap toilet di rumah warga terawatt baik, bersih. Ada juga jalur evekuasi jika ada bencana. Semua itu adalah kombinasi penting antara menjaga kearifan lokal dan menjaga kenyamanan tamu yang yang datang.
Saya perlu rasanya untuk datang kembali ke desa itu karena belum cukup rasanya membuat sketsa dan melukis Pengelipuran dengan segala kebaikan dan keindahannya.
Di Penglipuran saya menggarap empat buah lukisan, dan tentu saja bukan jumlah yang memuaskan, sehingga saya bertekad untuk datang lagi ke desa itu. Lukisan dibuat dengan cat air di atas kertas A3 dan arr traveling watercolor book.
Dorongan melukis sangat terasa menghentak-hentak. Ini karena menarik sekali kolektifitas dan cara warga Desa Penglipuran menjaga bagian tradisinya di tengah moderinasi ini. Apalagi sanitasi mereka terjaga dengan baik. Dan tak salah jika Desa Penglipuran berkali-kali di tetapkan sebagai salah satu desa terbersih di dunia. [T]