Di tepi Sungai Mati di Desa Les, Kecamatan Tejakula, Buleleng, Bali, ada sebuah cerita tentang Gede Suryantara. Ini cerita sederhana tentang lelaki yang hidup secara sederhana di sebuah tempat yang jauh dari keramaian.
Gede Suryantara, lelaki berusia 40 tahun, hidup bersama istri di tepi sungai, diapit dua tebing menjulang tinggi di kanan dan kiri. Hanya jalan setapak menuju tempat tinggal yang sederhana itu. Di sekitarnya hutan.
Ia tinggal di tempat itu sejak 10 tahun lalu bersama istrinya. Dan sejak 10 tahun lalu itulah hidupnya berjalan dengan tenang, penuh makna, meski dijalani dengan sangat sederhana.
Dulu, Gede Suryantara tinggal di Kota Denpasar, bekerja serabutan. Ia berharap, di kota penghasilannya terus meningkat dan sesekali pulang kam,pung membawa bekal yang melimpah. Namun harapan tinggal harapan. Ia pun memutuskan untuk memutar haluan, lalu tinggal di desa, di sebuah tempat yang asri dan nyaman.
Rumah tinggalnya yang ia sebut pondok atau rompok luasnya hanya 2X3 meter dan jaraknya sekitar 2 kilometer dari pusat desa. Atap rumahnya dari seng dan daun kelapa, dinding bedeg (anyaman bambu), dan lantai semen dengan teras dan halaman masih berupa tanah. Ia tinggal dan hidup di tempat itu. Sesekali ke desa untuk membawa hasil kerajinan atau sekedar mencari kebutuhan dapur.
Sebenarnya di rumahnya itu dilengkapi dapur dan kamar mandi, namun dua bangunan sederhana itu habis disapu tanah longsor saat hujan lebat setahun lalu. Saat itu, tengh malam, tebing sebelah kiri rumahnya longsor. Dapur dan kamar mandi pun tersapu oleh longsor. Beruntung saat itu pasangan suami-istri yang belum dikaruniai anak ini tidak tidur di tempat itu.
Alam memang lengkap dengan berkah sekaligus potensi bencana. Dalam kondisi semacam itulah Suryantara hidup. Ia tak mengeluh. Ia mengambil berkah dari alam, sekaligus berupaya terus-menerus memelihara alam agar tak menimbulkan bencana.
Tinggal di pondok itu, awalnya ia bekerja sebagai kuli bangunan di desa dan bertani. Namun sejak lima tahun lalu alam memberinya berkah secara sederhana. Ia belajar mengayam bambu untuk dibuat berbagai jenis keranjang. Awalnya untuk keperluan sendiri, namun kemudian siapa menduga, ketekunannya menganyam bambu kini menjadi sumber penghasilan.
Dan kini, Gede Suryantara adalah satu-satunya pengrajin ulatan (anyaman) bambu lokal di Desa Les.
“Awalnya teori dan praktek mengulat bambu bersama mertua,” kata Suryantara. “Lalu, semua datang secara alami,” imbuhnya.
Awalnya tidak ada motivasi untuk menjual dan menjadi sumber penghasilan. Ia belajar membuat barang-barang ulatan bambu awalnya untuk keperluan sendiri. Pertama-tama bentuk ulatannya tidak sempurna, dan ia belajar lagi, makin-makin sempurna, dan benar-benar sempurna kemudian hasil kerjanya.
“Saya terus belajar. Tak puas, belajar lagi, tak puas, lalu belajar lagi, sembari terus mengulat sampai hati puas terhadap bentuk yang dihasilkan,” katanya.
Dan tak disangka, beredarlah kabar dari mulut ke mulut bahwa Suryantara bisa membuat keranjang dari anyaman bambu. Pesanan pun mengalir. Terutama pesanan untuk membuat sarana yang diperlukan di desa, seperti keranjang banten, keranjang tegenan, sumbul, bedeg untuk alas menjemur jaja begina.
Apalagi pada musim buah. Orang-orang desa mulai banyak yang memesan keranjang sebagai wadah buah rambutan dan manga.
Yang unik, ia kemudian bisa membuat jenis keranjang atau berbagai sarana dari anyaman bambu dalam berbagai bentuk. Bahkan, hanya dengan melihat contoh bentuk anyaman yang dibawa oleh pemesan, ia langsung bisa menirunya.
Hiduplah ia bersama istri dari hasil membuat anyaman. “Kalau dirata-ratakan penghasilan per hari kurang lebih Rp.70.000,” katanya.
Yang menarik, ia tidak pernah memberi harga kepada produknya. Pemesan biasanya sudah mengetahui pasaran harga arang yang dipesan. Dan kalau pun baru pertama kali membuat anyaman bambu sesuai permintaan pemesan, ia akan menerima berapa pun uang yang diberikan oleh pemesan.
“Misalnya sepasang keranjang pengalapan (untuk tempat buah rambutan) hasil karya pertama dibayar Rp. 200.000,” katanya. Membuat keranjang pengalapan itu diselesaikan selama dua hari.
Menurut Suryantara, hidup ibarat mengulat (mengayam) tiada putus. “Rejeki sudah ada yang mengatur, kita mengulat saja, saling melengkapi satu sama lain, biar kuat dan kokoh seperti ulatan bambu,” ujarnya.
Memang, pesanan berbagai jenis anyaman dari lima tahun ini tidak pernah putus. Kalau tidak ada pemesan dalam beberapa hari, mungkin dimaksudkan agar ia bisa sesekali istirahat atau liburan di rompok mungil miliknya yang menyatu bersama alam. [T]
___