Selasa, 27 Juli, saya ditemani sdr. I Gede Kusuma Wahyudi berkunjung ke kediaman Bapak I Made Pageh ; salah satu staff dosen di lingkungan Jurusan Sejarah Sosiologi dan Perpustakaan Undiksha. Maksud kedatangan kami malam itu adalah mengucap bela sungkawa atas kepergian ibunda tercinta sekaligus mewakili teman-teman angkatan yang tidak dapat bertemu menyampaikan uang suka duka dari alumni Prodi Pendidikan Sejarah angkatan 2007.
Dalam pertemuan singkat itu, saya membayangkan obrolan yang melankolis dengan nuansa sentimentil yang kuat. Sekaligus bernostalgia dengan hiruk pikuk kenangan beliau dengan ibunda tercinta yang sudah berpulang ke rumah Tuhan. Nyatanya, hal itu tidak terjadi. Hanya sesekali saya melihat wajahnya yang telah menua dan keriput dengan tatapan nanar menengadah ke langit malam. Dalam kondisi itu, saya justru menangkap gairah intelektual yang tidak tersalurkan dari dalam dirinya yang selama ini terkungkung rutinitas kampus. Kesibukan sebagai birokrat kampus, sebagai ayah, kakek dan sekaligus suami, yang tentu saja telah menyita waktu, tenaga dan pikirannya sehingga tidak sempat menuangkan gagasan akademis.
Kedatangan kami seperti pelita di tengah kegelapan ; temaram, namun cukup menerangi jiwanya yang sedang suram. Untuk sementara, kesedihannya teralihkan dengan diskusi-diskusi berat tentang kebangsaan Indonesia. Pertemuan itu sekaligus mengobati rasa rindunya berada di mimbar akademik. Suaranya yang parau dan berat khas Bali selatan memulai obrolan hingga larut malam.
Apa itu Indonesia?
Tulisan ini disaripatikan dari percakapan kami malam itu. Sengaja saya terbitkan di momen tujuh belasan supaya lebih terasa spirit kejuangannya. Saya sisipkan beberapa referensi agar lebih menukik dan dialektik. Secara khusus, saya persembahkan tulisan ini kepada mahaguru, sahabat dan teman berpikir, Bapak I Made Pageh. Saya dan sdr. Kusuma Wahyudi dengan setia mendengarkan penjelasan yang disampaikannya. Berat dan berbobot. isinya daging semua. Serasa kembali kuliah S1.
Pertanyaan pertama yang perlu dijawab adalah “apa itu Indonesia?” Selanjutnya, definisi harfiah itu akan membimbing kita pada prosesualisasi historis untuk menemukenali eksistensi Indonesia sebagai sebuah konsep berpikir yang selama ini dipahami secara monolitik. Dengan meminjam gagasan Eric Hobsbawm, sejarawan Inggris menyatakan bahwa ide-ide nasionalisme yang diwujudkan dengan runtuhnya monarki Eropa dan lahirnya negara republik baru sebagai fenomena termutakhir di Eropa sejak awal abad ke-19. Ia menyebutnya invented tradition, atau sesuatu yang ditemuciptakan. Pun demikian dengan gagasan Indonesia, merupakan gagasan yang ditemuciptakan dan tidak memiliki akar sejarah yang panjang dibanding istilah-istilah kawasan lain yang telah eksis sebelumnya seperti Nusantara, Dipantara, Nederland Indie, bahkan Insulinde.
Sejak awal, nama Indonesia hanya diperuntukkan sebagai entitas kebudayaan dan bagian dari simplifikasi terhadap kompleksitas kawasan “selatan Cina”. Ia hanya, atau lebih sering dibicarakan di mimbar akademik, alih-alih politik. Oleh sebab itu, sangat kental nuansa elitisnya. Bagi akademisi Barat yang saat itu sedang gandrung menghadirkan wawasan orientalisme sebagai antitesis oksidentalisme, kawasan “selatan cina” yang kemudian disebut “Indonesia” adalah penyedia bahan mentah yang sangat kaya bagi arkeolog, sejawaran, antropolog, linguistik, filolog, epigraf dan masih banyak lagi bidang ilmu lainnya.
Tercatat, konsep Indonesia mulai popular diwacanakan dan dibicarakan di dalam mimbar akademik dengan tujuan memudahkan identifikasi kebudayaan “selatan Cina” sejak tahun 1850. Nama Indonesia pertama kali ditemukan di sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia yang terbit di Singapura. Ditulis oleh Richardson Logan dan Samuel Windsor Earl. Sebelum menghasilkan nama Indonesia, keduanya terlibat perdebatan linguistik. Logan memilih nama Melayunesia, sedangkan Earl memilih nama Indunesia. Belakangan Logan sepakat dengan Earl, lalu mengganti huruf U dengan O sehingga menjadi Indonesia ; artinya kawasan kepulauan yang mendapatkan pengaruh India. Gagasan keduanya diteruskan dan dipopulerkan lagi oleh etnolog Jerman, Adolf Sebastian melalui bukunya Indonesien Oder Die Inseln des Malayischen Archipels dan Die Volkev des Ostl Asien, terbit 1884.
Oleh karena sifatnya yang elitis, nama Indonesia belum dilirik oleh founding fathers kita di era pergerakan nasional sejak awal abad XX. Organisasi modern proto Indonesia seperti Boedi Utomo, Sarekat Islam dan Indische Partij masih memperlihatkan primordialisme golongan, suku dan agama dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Boedi utomo, di awal pendirian pada 20 Mei 1908 lalu dikukuhkan sebagai hari kebangkitan nasional, merekrut anak-anak lulusan STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) yang radikal dan nonkooperatif seperti Tjipto, Sutomo dan Suwardi, pada akhirnya ditinggalkan oleh anggota-anggotanya karena dianggap kurang progresif, jawasentris, feodal dan lebih banyak diisi aristokrat Jawa yang berposisi sebagai ambtenaar Pemerintah Belanda. Akibatnya, ide-ide kebangsaan yang sempat tersemai sejak digagas dr. Wahidin Sudirohusodo layu sebelum mekar. Setelahnya, Budi Utomo menjadi organisasi proto Indonesia berstatus medioker, artinya bidang kajian hanya mencakup sosial dan kebudayaan. Tidak ada keberanian merambah ke persoalan-persoalan politik kebangsaan.
Pada tahun 1905, Raden Tirto Adi Suryo memelopori kelahiran Sarekat Dagang Islam (SDI) di Bogor. Pramoedya, Sastrawan Lekra yang dihukum penjara tanpa perose peradilan di era Orde Baru menyebutnya sebagai “bapak pers nasional” dan menjadikan Tirto sebagai tokoh sentral di dalam novelnya yang bernas berjudul “sang pemula”. Gagasan Tirto tentang SDI di Bogor menjalar ke Solo ; Haji Samanhudi membentuk SDI di Solo pada 1912 untuk mewadahi pedagang batik lokal agar mampu bersaing dengan pedagang batik Cina yang didukung pemerintah kolonial. Radikalisasi ide-ide kemandirian pedagang batik lokal yang terwadahi di dalam organisasi SDI mencapai titik kulminasi di era Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto. Agar tidak terkesan ekonomistis, SDI diubah menjadi Sarekat Islam. Dengan begitu, basis gerakannya adalah Islam untuk mewujudkan keadilan sosial.
Kooptasi ide-ide komunisme yang dibawa Henk Sneevliet melalui organisasi buruh Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) ke dalam tubuh SI menyebabkan organisasi itu pecah menjadi dua kubu yakni putih yang konvensional Islam dan merah yang komunis marxis. Akibatnya, militansi anggota SI terhadap kolonialisme menjadi berkurang. Popularitasnya menurun seiring dengan pengetatan pengawasan terhadap aktivitas politik HOS dan kondisi kesehatan yang semakin memburuk. Sepeninggal HOS, SI menatap sandyakalaning dan digantikan oleh organisasi radikal lainnya.
Serupa dan sejaman dengan SI Solo bentukan H. Samanhudi, Indische Partij (IP) hadir dengan visi keadilan antargolongan. Salah satu pendirinya, Douwes Dekker berdarah campuran. Dalam struktur sosial masyarakat Hindia Belanda saat itu, warga blasteran kurang mendapat tempat sehingga sering diacuhkan dalam interaksi sosialnya. Secara umum, citizenship masyarakat Hindia Belanda saat itu hanya mengakui tiga kelompok yakni Eropa (Belanda, Inggri, Prancis), Timur Asing (Cina, India, Jepang dan Arab), dan bumiputera. Stratifikasi sosial ini sekaligus berdampak pada dimensi lain khususnya pendidikan. Akibatnya, golongan masyarakat Eropa, karena kedudukannya paling atas, berhak mendapatkan layanan pendidikan yang memadai dibandingkan bumiputera. Hanya bumiputera yang orang tuanya memilki kedudukan penting dalam hirarki negara Kolonial saja yang bisa mendapatkan akses pendidikan Barat.
Umur IP tidak panjang. Radikalisasi yang ditunjukkan Suwardi Suryaningrat melalui tulisan als ik nederlander was, serta tulisan-tulisan agitatif Tjipto di beberapa surat kabar sebagai bagian dari pengalaman saat menjadi dokter pribumi yang bersedia diturunkan ke Malang saat kawasan itu mengalami wabah pes yang hebat, menyebabkan ketiganya diasingkan. Aktivitas politik ketiganya dianggap meresahkan dan menganggu visi rust en orde negara kolonial. Perjuangan berhenti dan akhirnya mati.
Jalan Keindonesiaan
Meski tidak satupun dari organisasi proto Indonesia yang mempopulerkan nama Indonesia sebagai basis gerakan politik, aktivitas politik yang mereka lakukan telah menginspirasi jalan keindonesiaan. Dua organisasi berikutnya yang bisa dikatakan menjadikan Indonesia sebagai entitas politik adalah Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Perhimpunan Indoesia (PI). Partai Komunis Indonesia lahir dari kubu merah, pecahan SI. Pendirinya, seperti Muso, Alimin dan Darsono adalah anak ideologis HOS Tjokroaminoto. Ketiganya bahkan pernah indekost di rumah HOS. Setiap malam selalu terlibat diskusi tentang marxisme dan revolusi-reovokusi besar dunia. Tidak ketinggalan, di kediaman HOS, Soekarno muda yang berhasil masuk ke HBS (hogere burgere school) digembleng mentalnya. Aktivitas diskusi tiap malam itu ibarat kawah candradimuka bagi tersemainya ide-ide kebangsaan Indonesia yang dilahirkan dari pemikiran Soekarno di era berikutnya.
Pada tahun 1920, Partai Komunis Hindia terbentuk, namun hanya berselang setahun kemudian berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia. Hanya dalam hitungan bulan, organisasi pergerakan yang lahir dari anak-anak Leiden Belanda seperti Hatta dan Sjahrir yang menamai gerakannnya dengan Indische Vereeniging, segera menggantinya dengan nama Perhimpunan Indonesia (PI). Sejak saat itu, gerakan-gerakan kebangsaan gandrung menggunakan nama Indonesia di belakang nama organisasinya. Pada tahun 1927, Soekarno membentuk Partai Nasional Indonesia (PNI). Namun, karea agitasi politiknya yang dianggap berbahaya menyebabkan ia dihukum di penjara Sukamiskin. Pada tahun 1930, ia diadili, dan memberi pleidoi yang sangat terkenal, “Indonesia Menggugat”.
Setelah tahun-tahun yang menegangkan, menyeret pemimpin organisasi pergerakan ke dalam penjara dan pengasingan seperti yang dialami Sjahrir dan Hatta yang diasing ke Papua Boven Digul, nuansa pergerakan nasional pasca bubarnya PNI dan PI berubah dari yang nonkooperatif menjadi kooperatif. Sejak saat itu, radikalisasi dan militansi berorganisasi mencapai titik jenuh hingga kedatangan Jepang pada tahun 1942.
Di era Pendudukan Jepang 1942-1945, cita-cita kemerdekaan yang telah berfondasikan ide-ide keindonesiaan relatif cair. Hanya saja, hal tersebut diwarnai dengan bipolarisasi ideologis antara Golongan Muda dengan Golongan Tua. Golongan Muda enggan tunduk pada fasisme Jepang. Oleh sebab itu, mereka mengambil sikap berseberangan dengan pemerintah Jepang. Mereka berusaha mewujudkan cita-cita kemerdekaan dengan cara-cara ilegal melalui gerakan bawah tanah. Sebaliknya, Golongan Tua yang diwakili Soekarno dan Hatta cenderung berhati-hati, sebab mereka sadar bahwa kekuatan militer Jepang itu nyata. Untuk meminimalisasi potensi pertumpahan darah, mereka cenderung kooperatif dengan Jepang. Titik puncak bipolarisasi golongan muda dan gologan tua melahirkan peristiwa Rengasdengklok pada 16 agustus 1945.
Perdebatan siapa tokoh yang dianggap cocok memproklamasikan kemerdekaan terjawab ; Soekarno dengan segenap popularitas yang dimiliki, pidato yang memukau telah menghasilkan dukungan seluruh masyarakat Jawa jika proklamasi dilakukan. Padahal, tiga bulan sebelum itu, tepatnya di bulan April 1945, Sjahrir telah lebih dulu memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi tidak mendapat respon memadai. Safari politik yang dilakukannya bersama Tan Malaka ke pelosok Jawa menghasilkan kesimpulan, sosok yang dipilih itu adalah Soekarno, Sang Putra Fajar. Pada Jumat, 17 Agustus 1945, sehari setelah peristiwa Rengasdengklok, pukul 10.00 Waktu Indonesia Barat, di Pengangsan Timur Jakarta, berkumandang Indonesia raya. Indonesia merdeka. [T]
____