1 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Dialektika Kebangsaan dan Asal Usul Nama Indonesia

Putu Hendra Mas MartayanabyPutu Hendra Mas Martayana
August 17, 2021
inEsai
Dialektika Kebangsaan dan Asal Usul Nama Indonesia

Ilustrasi foto: Jayen Photography

Selasa, 27 Juli, saya ditemani sdr. I Gede Kusuma Wahyudi berkunjung ke kediaman Bapak I Made Pageh ; salah satu staff dosen di lingkungan Jurusan Sejarah Sosiologi dan Perpustakaan Undiksha. Maksud kedatangan kami malam itu adalah mengucap bela sungkawa atas kepergian ibunda tercinta sekaligus mewakili teman-teman angkatan yang tidak dapat bertemu menyampaikan uang suka duka dari alumni Prodi  Pendidikan Sejarah angkatan 2007.

Dalam pertemuan singkat itu, saya membayangkan obrolan yang melankolis dengan nuansa sentimentil yang kuat. Sekaligus bernostalgia dengan hiruk pikuk kenangan beliau dengan ibunda tercinta yang sudah berpulang ke rumah Tuhan. Nyatanya, hal itu tidak terjadi. Hanya sesekali saya melihat wajahnya yang telah menua dan keriput dengan tatapan nanar menengadah ke langit malam. Dalam kondisi itu, saya justru menangkap gairah intelektual yang tidak tersalurkan dari dalam dirinya yang selama ini terkungkung rutinitas kampus. Kesibukan sebagai birokrat kampus, sebagai ayah, kakek dan sekaligus suami, yang tentu saja telah menyita waktu, tenaga dan pikirannya sehingga tidak sempat menuangkan gagasan akademis.

Kedatangan kami seperti pelita di tengah kegelapan ; temaram, namun cukup menerangi jiwanya yang sedang suram. Untuk sementara, kesedihannya teralihkan dengan diskusi-diskusi berat tentang kebangsaan Indonesia. Pertemuan itu sekaligus mengobati rasa rindunya berada di mimbar akademik. Suaranya yang parau dan berat khas Bali selatan memulai obrolan hingga larut malam.

Kusuma Wahyudi, Bapak I Made Pageh, dan Penulis

Apa itu Indonesia?

Tulisan ini disaripatikan dari percakapan kami malam itu. Sengaja saya terbitkan di momen tujuh belasan supaya lebih terasa spirit kejuangannya. Saya sisipkan beberapa referensi agar lebih menukik dan dialektik. Secara khusus, saya persembahkan tulisan ini kepada mahaguru, sahabat dan teman berpikir, Bapak I Made Pageh. Saya dan sdr. Kusuma Wahyudi dengan setia mendengarkan penjelasan yang disampaikannya. Berat dan berbobot. isinya daging semua. Serasa kembali kuliah S1.

Pertanyaan pertama yang perlu dijawab adalah “apa itu Indonesia?” Selanjutnya, definisi harfiah itu akan membimbing kita pada prosesualisasi historis untuk menemukenali eksistensi Indonesia sebagai sebuah konsep berpikir yang selama ini dipahami secara monolitik. Dengan meminjam gagasan Eric Hobsbawm, sejarawan Inggris menyatakan bahwa ide-ide nasionalisme yang diwujudkan dengan runtuhnya monarki Eropa dan lahirnya negara republik baru sebagai fenomena termutakhir di Eropa sejak awal abad ke-19. Ia menyebutnya invented tradition, atau sesuatu yang ditemuciptakan. Pun demikian dengan gagasan Indonesia, merupakan gagasan yang ditemuciptakan dan tidak memiliki akar sejarah yang panjang dibanding istilah-istilah kawasan lain yang telah eksis sebelumnya seperti Nusantara, Dipantara, Nederland Indie, bahkan Insulinde.

Sejak awal, nama Indonesia hanya diperuntukkan sebagai entitas kebudayaan dan bagian dari simplifikasi terhadap kompleksitas kawasan “selatan Cina”. Ia hanya, atau lebih sering dibicarakan di mimbar akademik, alih-alih politik. Oleh sebab itu, sangat kental nuansa elitisnya. Bagi akademisi Barat yang saat itu sedang gandrung menghadirkan wawasan orientalisme sebagai antitesis oksidentalisme, kawasan “selatan cina” yang kemudian disebut “Indonesia” adalah penyedia bahan mentah yang sangat kaya bagi arkeolog, sejawaran, antropolog, linguistik, filolog, epigraf dan masih banyak lagi bidang ilmu lainnya.

Tercatat, konsep Indonesia mulai popular diwacanakan dan dibicarakan di dalam mimbar akademik dengan tujuan memudahkan identifikasi kebudayaan “selatan Cina” sejak tahun 1850. Nama Indonesia pertama kali ditemukan di sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia yang terbit di Singapura. Ditulis oleh Richardson Logan dan Samuel Windsor Earl. Sebelum menghasilkan nama Indonesia, keduanya terlibat perdebatan linguistik. Logan memilih nama Melayunesia, sedangkan Earl memilih nama Indunesia. Belakangan Logan sepakat dengan Earl, lalu mengganti huruf U dengan O sehingga menjadi Indonesia ; artinya kawasan kepulauan yang mendapatkan pengaruh India. Gagasan keduanya diteruskan dan dipopulerkan lagi oleh etnolog Jerman, Adolf Sebastian melalui bukunya Indonesien Oder Die Inseln des Malayischen Archipels dan Die Volkev des Ostl Asien, terbit 1884.

Oleh karena sifatnya yang elitis, nama Indonesia belum dilirik oleh founding fathers kita di era pergerakan nasional sejak awal abad XX. Organisasi modern proto Indonesia seperti Boedi Utomo, Sarekat Islam dan Indische Partij masih memperlihatkan primordialisme golongan, suku dan agama dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Boedi utomo, di awal pendirian pada 20 Mei 1908 lalu dikukuhkan sebagai hari kebangkitan nasional, merekrut anak-anak lulusan STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) yang radikal dan nonkooperatif seperti Tjipto, Sutomo dan Suwardi, pada akhirnya ditinggalkan oleh anggota-anggotanya karena dianggap kurang progresif, jawasentris, feodal dan lebih banyak diisi aristokrat Jawa yang berposisi sebagai ambtenaar Pemerintah Belanda. Akibatnya, ide-ide kebangsaan yang sempat tersemai sejak digagas dr. Wahidin Sudirohusodo layu sebelum mekar. Setelahnya, Budi Utomo menjadi organisasi proto Indonesia berstatus medioker, artinya bidang kajian hanya mencakup sosial dan kebudayaan. Tidak ada keberanian merambah ke persoalan-persoalan politik kebangsaan.

Pada tahun 1905, Raden Tirto Adi Suryo memelopori kelahiran Sarekat Dagang Islam (SDI) di Bogor. Pramoedya, Sastrawan Lekra yang dihukum penjara tanpa perose peradilan di era Orde Baru menyebutnya sebagai “bapak pers nasional” dan menjadikan Tirto sebagai tokoh sentral di dalam novelnya yang bernas berjudul “sang pemula”. Gagasan Tirto tentang SDI di Bogor menjalar ke Solo ; Haji Samanhudi membentuk SDI di Solo pada 1912 untuk mewadahi pedagang batik lokal agar mampu bersaing dengan pedagang batik Cina yang didukung pemerintah kolonial. Radikalisasi ide-ide kemandirian pedagang batik lokal yang terwadahi di dalam organisasi SDI mencapai titik kulminasi di era Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto. Agar tidak terkesan ekonomistis, SDI diubah menjadi Sarekat Islam. Dengan begitu, basis gerakannya adalah Islam untuk mewujudkan keadilan sosial.

Kooptasi ide-ide komunisme yang dibawa Henk Sneevliet melalui organisasi buruh Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) ke dalam tubuh SI menyebabkan organisasi itu pecah menjadi dua kubu yakni putih yang konvensional Islam dan merah yang komunis marxis. Akibatnya, militansi anggota SI terhadap kolonialisme menjadi berkurang. Popularitasnya menurun seiring dengan pengetatan pengawasan terhadap aktivitas politik HOS dan kondisi kesehatan yang semakin memburuk. Sepeninggal HOS, SI menatap sandyakalaning dan digantikan oleh organisasi radikal lainnya.

Serupa dan sejaman dengan SI Solo bentukan H. Samanhudi, Indische Partij (IP) hadir dengan visi keadilan antargolongan. Salah satu pendirinya, Douwes Dekker berdarah campuran. Dalam struktur sosial masyarakat Hindia Belanda saat itu, warga blasteran kurang mendapat tempat sehingga sering diacuhkan dalam interaksi sosialnya. Secara umum, citizenship masyarakat Hindia Belanda saat itu hanya mengakui tiga kelompok yakni Eropa (Belanda, Inggri, Prancis), Timur Asing (Cina, India, Jepang dan Arab), dan bumiputera. Stratifikasi sosial ini sekaligus berdampak pada dimensi lain khususnya pendidikan. Akibatnya, golongan masyarakat Eropa, karena kedudukannya paling atas, berhak mendapatkan layanan pendidikan yang memadai dibandingkan bumiputera. Hanya bumiputera yang orang tuanya memilki kedudukan penting dalam hirarki negara Kolonial saja yang bisa mendapatkan akses pendidikan Barat.

Umur IP tidak panjang. Radikalisasi yang ditunjukkan Suwardi Suryaningrat melalui tulisan als ik nederlander was, serta tulisan-tulisan agitatif Tjipto di beberapa surat kabar sebagai bagian dari pengalaman saat menjadi dokter pribumi yang bersedia diturunkan ke Malang saat kawasan itu mengalami wabah pes yang hebat, menyebabkan ketiganya diasingkan. Aktivitas politik ketiganya dianggap meresahkan dan menganggu visi rust en orde negara kolonial. Perjuangan berhenti dan akhirnya mati.

Jalan Keindonesiaan

Meski tidak satupun dari organisasi proto Indonesia yang mempopulerkan nama Indonesia sebagai basis gerakan politik, aktivitas politik yang mereka lakukan telah menginspirasi jalan keindonesiaan. Dua organisasi berikutnya yang bisa dikatakan menjadikan Indonesia sebagai entitas politik adalah Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Perhimpunan Indoesia (PI). Partai Komunis Indonesia lahir dari kubu merah, pecahan SI. Pendirinya, seperti Muso, Alimin dan Darsono adalah anak ideologis HOS Tjokroaminoto. Ketiganya bahkan pernah indekost di rumah HOS. Setiap malam selalu terlibat diskusi tentang marxisme dan revolusi-reovokusi besar dunia. Tidak ketinggalan, di kediaman HOS, Soekarno muda yang berhasil masuk ke HBS (hogere burgere school) digembleng mentalnya. Aktivitas diskusi tiap malam itu ibarat kawah candradimuka bagi tersemainya ide-ide kebangsaan Indonesia yang dilahirkan dari pemikiran Soekarno di era berikutnya.

Pada tahun 1920, Partai Komunis Hindia terbentuk, namun hanya berselang setahun kemudian berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia. Hanya dalam hitungan bulan, organisasi pergerakan yang lahir dari anak-anak Leiden Belanda seperti Hatta dan Sjahrir yang menamai gerakannnya dengan Indische Vereeniging, segera menggantinya dengan nama Perhimpunan Indonesia (PI). Sejak saat itu, gerakan-gerakan kebangsaan gandrung menggunakan nama Indonesia di belakang nama organisasinya. Pada tahun 1927, Soekarno membentuk Partai Nasional Indonesia (PNI). Namun, karea agitasi politiknya yang dianggap berbahaya menyebabkan ia dihukum di penjara Sukamiskin. Pada tahun 1930, ia diadili, dan memberi pleidoi yang sangat terkenal, “Indonesia Menggugat”.

Setelah tahun-tahun yang menegangkan, menyeret pemimpin organisasi pergerakan ke dalam penjara dan pengasingan seperti yang dialami Sjahrir dan Hatta yang diasing ke Papua Boven Digul, nuansa pergerakan nasional pasca bubarnya PNI dan PI berubah dari yang nonkooperatif menjadi kooperatif. Sejak saat itu, radikalisasi dan militansi berorganisasi mencapai titik jenuh hingga kedatangan Jepang pada tahun 1942.

Di era Pendudukan Jepang 1942-1945, cita-cita kemerdekaan yang telah berfondasikan ide-ide keindonesiaan relatif cair. Hanya saja, hal tersebut diwarnai dengan bipolarisasi ideologis antara Golongan Muda dengan Golongan Tua. Golongan Muda enggan tunduk pada fasisme Jepang. Oleh sebab itu, mereka mengambil sikap berseberangan dengan pemerintah Jepang. Mereka berusaha mewujudkan cita-cita kemerdekaan dengan cara-cara ilegal melalui gerakan bawah tanah. Sebaliknya, Golongan Tua yang diwakili Soekarno dan Hatta cenderung berhati-hati, sebab mereka sadar bahwa kekuatan militer Jepang itu nyata. Untuk meminimalisasi potensi pertumpahan darah, mereka cenderung kooperatif dengan Jepang. Titik puncak bipolarisasi golongan muda dan gologan tua melahirkan peristiwa Rengasdengklok pada 16 agustus 1945.

Perdebatan siapa tokoh yang dianggap cocok memproklamasikan kemerdekaan terjawab ; Soekarno dengan segenap popularitas yang dimiliki, pidato yang memukau telah menghasilkan dukungan seluruh masyarakat Jawa jika proklamasi dilakukan. Padahal, tiga bulan sebelum itu, tepatnya di bulan April 1945, Sjahrir telah lebih dulu memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi tidak mendapat respon memadai. Safari politik yang dilakukannya bersama Tan Malaka ke pelosok Jawa menghasilkan kesimpulan, sosok yang dipilih itu adalah Soekarno, Sang Putra Fajar. Pada Jumat, 17 Agustus 1945, sehari setelah peristiwa Rengasdengklok, pukul 10.00 Waktu Indonesia Barat, di Pengangsan Timur Jakarta, berkumandang Indonesia raya. Indonesia merdeka. [T]

____

Baca artikel lain dari penulis PUTU HENDRA MAS MARTAYANA

Tags: HUT Kemerdekaan RIIndonesiakemerdekaansejarahSejarah Indonesia
Previous Post

Ini Penyebab Kita Lebih Hapal Nama Karakter Anime Daripada Nama Pahlawan Bangsa Sendiri

Next Post

Membaca Gajah Mada di Sekitar Hari Kemerdekaan | Rembug Sastra Sarasastra Yayasan Janahita Mandala Ubud

Putu Hendra Mas Martayana

Putu Hendra Mas Martayana

Lahir di Gilimanuk, 14 Agustus 1989, tinggal di Gerokgak, Buleleng. Bisa ditemui di akun Facebook dan IG dengan nama Marx Tjes

Next Post
Membaca Gajah Mada di Sekitar Hari Kemerdekaan | Rembug Sastra Sarasastra Yayasan Janahita Mandala Ubud

Membaca Gajah Mada di Sekitar Hari Kemerdekaan | Rembug Sastra Sarasastra Yayasan Janahita Mandala Ubud

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Google Launching Veo: Antropologi Trust Issue Manusia dalam Postmodernitas dan Sunyi dalam Jaringan

by Dr. Geofakta Razali
June 1, 2025
0
Tat Twam Asi: Pelajaran Empati untuk Memahami Fenomenologi Depresi Manusia

“Mungkin, yang paling menyakitkan dari kemajuan bukanlah kecepatan dunia yang berubah—tapi kesadaran bahwa kita mulai kehilangan kemampuan untuk saling percaya...

Read more

Study of Mechanical Reproduction: Melihat Kembali Peran Fotografi Sebagai Karya Seni yang Terbebas dari Konvensi Klasik

by Made Chandra
June 1, 2025
0
Study of Mechanical Reproduction: Melihat Kembali Peran Fotografi Sebagai Karya Seni yang Terbebas dari Konvensi Klasik

PERNAHKAH kita berpikir apa yang membuat sebuah foto begitu bermakna, jika hari ini kita bisa mereproduksi sebuah foto berulang kali...

Read more

“Noctourism”: Berwisata Sambil Begadang

by Chusmeru
June 1, 2025
0
Efek “Frugal Living” dalam Pariwisata

“Begadang jangan begadang, kalau tiada artinya, begadang boleh saja, kalau ada perlunya”. Itulah sebait lagu dangdut yang dibawakan Rhoma Irama...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025

MEMASUKI tahun ke-10 penyelenggaraannya, Ubud Food Festival (UFF) 2025 kembali hadir dengan semarak yang lebih kaya dari sebelumnya. Perayaan kuliner...

by Dede Putra Wiguna
May 31, 2025
ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”
Panggung

ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”

MENYOAL asmara atau soal kehidupan. Ada banyak manusia tidak tertolong jiwanya-sakit akibat berharap pada sesuatu berujung kekecewaan. Tentu. Tidak sedikit...

by Sonhaji Abdullah
May 29, 2025
Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025
Panggung

Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025

LANGIT Singaraja masih menitikkan gerimis, Selasa 27 Mei 2025, ketika seniman-seniman muda itu mempersiapkan garapan seni untuk ditampilkan pada pembukaan...

by Komang Puja Savitri
May 28, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co