— Catatan Harian Sugi Lanus, 11 Agustus 2021
1. Lontar berjudul Tutur Bhagawan Kamandaka adalah lontar yang tertua (menurut saya) yang memuat jenis-jenis wiku menyebutkan salah satu ‘danda’, sebagai satu wiku yang menjadi pendamping raja.
Kalinganya hana wiku lituhayu, alaksanā weruhing mangaji, wruhing siwagāmā, tuhu te janmā, cepanggana lwirnya, panjer, cana, pangkon, angambeng, palang pasir, sabha wukir, cedaning wiku, pancêr, nga., wiku yan tusning yañjātnā, kadhang aji kunang, dhandhanya, nga., wiku matunggu aji, candi prasaddhā, susut simpuru, brahmanā Sewasogata, pangkon, nga., wiku tusning kabayan buyut, pasimansiman, angambeng, nga., wiku tumutanglayar, karyaninbanda dagang, patitihan, palang pasir, wiku angupadeni, amalaku māspirak, guruyaga sabhā wukir, wiku magawayayu pitraning mati, mangurwa mās pirak, guruyaga phala bhogā, mwah milu karya, ning surātman, yatika wiku ceda ngaranya, maweh sira tirtha ring sang prabhu, mwang rahup, utpata têmên ikā, mangdanyakên ilaila rikang rāt, haywāsta sang prabhu denya.
Di sini — jika pelan-pelan kita membaca— ada itulah dhandhanya, nga., wiku matunggu aji, candi prasaddhā, susut simpuru, brahmanā Sewasogata,
‘..dandannya artinya pendeta penjaga raja, candi, tempat suci..’
Jika kita perhatikan khusus dhandanya adalah wiku pendamping raja.
Sementara itu yang dianggap kewikuan yang tidak sempurna atau ‘cepanggana‘ yaitu: panjer, cana, pangkon, angambeng, palang pasir, sabda wukir.
- Pancer artinya pendeta keturunan ya yanjatma
- Pangkon artinya wiku keturunan kabayan buyut (?)
- Angambeng artinya, wiku yang turut berlayar, pekerjaan ber-dagang
- Palang pasir artinya wiku yang memperjualbelikan mas perak
- Sabha wukir artinya wiku yang menyelamatkan roh orang mati, menerima emas perak, dan aturan guru (guru yaga) berupa makanan, serta turut dalam kerja Sang Suratman
Itulah wiku ‘ceda’ (cacat) namanya, kalau ia memberikan air suci kepada sang raja, serta air pembasuh muka, sungguh ‘utpata‘ (kotor?) itu, yang menyebabkan negeri merosotlah sang raja olehnya.
Pembacaan saya atas dhandanya adalah wiku pendamping raja, yang khusus duduk sebagai pendamping kerajaan, sebagai muasal kata Pedanda, tentunya bisa didebat atau tidak diterima, tetapi lontar apa yang paling tua yang menyebutkan gelar Pedanda? Sejauh ini saya belum sempat baca lontar atau sumber lainnya yang lebih tua.
2. Tutur Bhagawan Kamandaka adalah lontar yang berbahasa Sanskerta dengan terjemahan Kawi (Jawa Kuno). Lontar yang juga disebut Aji Kamandaka ini interpretasinya sangat menarik dalam bahasa Kawi, memuat berbagai hal tentang pedoman kepemimpinan atau pedoman raja.
3. Jika dilihat dari akar kata daṇḍa maka ‘pedanda’ berkaitan dengan otoritasnya sebagai pemegang vyavahāra — prinsip atau pilar penting dari hukum Hindu yang menunjukkan prosedur hukum atau peradilan dalam sebuah kerajaan.
Daṇḍa secara harfiah berarti ‘tongkat’, atau ‘batang’, sebuah simbol kuno dari pemegang otoritas, yang merupakan sebuah istilah Hindu dalam konteks hukum Hindu. Dalam sistem kerajaan Hindu kuno, hukuman umumnya diberikan oleh penguasa, tetapi pejabat hukum lainnya juga bisa berperan. Dalam hal inilah, ada kemungkinan, penunjukan atas pendeta ahli kitab atau upādhyāya dilibatkan dan bergelar ‘pedanda’.
Dalam tradisi hukum Hindu, disebutkan, padanan daṇḍa yaitu prāyaścitta atau penyucian dosa. Jika daṇḍa dijatuhkan oleh pihak kerajaan, prāyaścitta diambil oleh seseorang atas kemauannya sendiri. Dalam praktek hukum Hindu daṇḍa berfungsi sebagai alat penguasa untuk melindungi sistem tahapan kehidupan dan kasta. Daṇḍa merupakan bagian dari vyavahāra (prosedur hukum).
4. Jika merujuk pada perannya sebagai upādhyāya yang ikut dalam kerta atau peradilan kerajaan, yang memegang roda agar berjalan vyavahāra (prosedur hukum Hindu) maka melekat gelar pedanda perannya sebagai ‘hakim’ kerajaan. Inilah yang membedakan dengan ‘kawikuan’ (kependetaan) yang lain, seperti Mpu, Rsi, Dukuh, dll, yang tidak terlibat dalam peradilan kerajaan sebagai pelaksana vyavahāra.
Dalam konteks peradilan kerajaan Hindu di Bali, pedanda berperan serta dalam proses peradilan, seperti di era Klungkung mahkamah peradilan di Kertagosa semua ‘pemutus’ atau hakimnya adalah ‘pedanda’.
5. V.E. KORN, dalam HET ADATRECHT VAN BALI (1932) mencoba mencari catatan yang lebih tua tentang pelaksanaan peradilan kerajaan yang melibatkan peran Pedanda, mendapat tiga catatan:
A. Ook volgens Liefrinck’s bijdrage, sprak “de raad van kerta’s, samengesteld uit de priesters van het Hindoeïsme, de pedanda’s” in Boelèlèng recht. […menurut catatan Liefrinck, “dewan pengadilan (kerta), yang terdiri dari pendeta agama Hindu, para pedanda, di Boelèlèng]
B. Evenals Van Eek beschouwt ook deze schrijver de djaksa’s en de Hindoepriesters, uit wie de tegenwoordige raad van kerta’s gegroeid is, als dezelfde personen. Dat voor deze kerta’s in den regel Brahmaansche priesters werden genomen, was „alleszins rationeel te achten, daar de kennis der geschriften in hoofdzaak bij de brahmanen berustte”, terwijl verder in levens- wandel en leeftijd een waarborg gelegen was „voor een waardig en onpartijdig optreden en het hebben van een bezonken oordeel”. [Seperti (catatan) Van Eek, penulis ini juga menganggap para jaksa dan pendeta Hindu, yang darinya dewan kerta/peradilan sekarang tumbuh, terdiri dari orang yang sama. Bahwa para pendeta Brahman umumnya diambil untuk peradilan-peradilan ini adalah “dianggap rasional dalam segala hal, karena pengetahuan tentang kitab suci terutama berada di tangan para Brahmana”, sementara selanjutnya dalam kehidupan dan usia ada jaminan “untuk tindakan yang bermartabat dan tidak memihak dan memiliki keputusan yang tetap”.]
C. Raffles, wiens gegevens vnl. in Boelèlèng werden verzameld, schreef althans reeds: “The administration of justice is generally conducted by a court, composed of one Jaksa and two assistants, in addition to whom, in the determination of any cause of importance, several Brahmani’s are called in”. [Raffles, yang datanya sebagian besar dikumpulkan di Boelèlèng, telah menulis: “Administrasi peradilan umumnya dilakukan oleh pengadilan, yang terdiri dari satu Jaksa dan dua asisten, selain itu, dalam menentukan suatu penyebab penting, beberapa Brahmana juga dipilih turut serta”].
6. Melihat dari perannya sebagai bagian dari raad van kerta (peradilan kerta/keadilan), di masa lalu era kerajaan, gelar pedanda sangat lekat dengan perannya sebagai pemegang daṇḍa.
Sementara itu, di luar konteks pendampingan raja peradilan kerta, ada pendeta yang tidak terlibat, seperti Rsi, Mpu, Dukuh, dan kependetaan lainnya yang memang tidak ambil bagian dalam peradilan Kerta.
Inilah yang sekiranya posisi kependetaan bergelar pedanda sangat spesifik pada keluarga yang dekat atau dipercaya secara turun-temurun dalam menjalankan roda hukum dan pemerintahan kerajaan. Sementara itu kependetaan lain, di luar lingkar atau yang tidak terlihat dalam peradilan kerta bukanlah kependetaan yang nomor dua atau kalah suci dan perannya. Kependetaan yang lain yang tidak ikut dalam proses pendampingan kerajaan adalah umumnya para pandita yang sangat independen, tinggal di pinggir hutan atau bahkan dalam hutan, seperti sulinggih dukuh, atau para mpu yang memimpin pasraman yang umumnya jauh dari pusat pemerintahan.
Para sulinggih yang tidak tinggal di pusat pemerintahan umumnya jarang terlibat proses ritual kerajaan, dan tidak bersentuhan banyak dengan kekuasaan, tetapi dalam catatan ‘sejarah babad’ dalam acara-acara khusus pihak kerajaan mengundang para pandita dukuh, sangguru (sangguhu), dan rsi dalam berbagai upakara khusus yang memang membutuhkan stava atau puja yang tidak menjadi ‘pedoman’ kependetaan pedanda, seperti caru dan upakara khusus lainnya yang sangat spesifik dikuasai kelompok rsi, dukuh dan para mpu lainnya. [T]