Awal abad lalu, sejumlah orang asing, mungkin anggota tentara KNIL, yang sedang jalan-jalan pagi di sekitar Sanur merasa tertarik pada belasan orang yang berkerumun di pelataran sebuah pura dekat pantai.
Mereka kemudian mampir dan melihat dari dekat orang-orang lokal yang sedang sibuk bekerja itu.
Suasana di sana terlihat sangat seru. Semuanya tampak sedang metektekan dengan pisau blakas-nya masing-masing yang membuat suata riuh di atas talenan.
Ada yang memotong balung, mencincang daging, membuat rames, bikin enteban. Ada pula yang mengiris sayuran, dan lain sebagai-sebagainya.
Di sebelah sana sejumlah orang sibuk memarut kelapa, atau menghaluskan daging dengan lesung batu, dan yang lain sedang membakar sesuatu di atas bara api.
Sementara rempah-rempah dan juga bumbu dari penggorengan yang meletup-letup tak henti-hentinya menyebarkan aroma wangi ke sekitar dibawa oleh asap yang melayang-layang.
Pendeknya, suasana di sekitar terlihat heboh, meriah dan ramai.
Karena melihat pemandangan yang demikian itu orang asing tersebut lantas berbicara kepada seseorang di dekatnya.
“Sedang membuat apa?” tanyanya dalam bahasa Indonesia.
“Membuat lawar, Tuan,” sahut orang itu sambil tetap bekerja melipat-lipat daun pisang, membungkus sesuatu.
“Ini makanan?”
“Ya, Tuan. Ini lawar tapi belum jadi.”
“Wao, ini makanan baunya hebat!”
“Betul Tuan. Nanti kami membuat banyak lawar, banyak sate, komoh, brengkes. Pokoknya, banyak Tuan. Semuanya untuk upacara juga untuk pesta.” sambung pria itu.
“Hebat, hebat… makanan hebat! Makanan untuk para Dewa ya?” ujar tentara KNIL itu sambil menggoyangkan kepalanya sebagai tanda kagum.
Setelah berbincang-bincang sejenak orang asing lalu melanjutkan perjalanan.
Setelah tentata KNIL pergi, suasana di tempat bikin lawar itu jadi tambah ramai. Orang-orang saling bertanya di antara mereka: “Apa yang dikatakan Tuan Belanda tadi?”
“Dia bilang makanan ini ebat. Lawar kita ebat. Dia terus saja bilang lawar yang kita buat ini ebat,” sahut laki-laki yang tadi berbicara dengan orang asing tersebut.
“Hahaha… ya, ya, tadi Tuan itu terus saja bilang ebat, ebat…” sambung rekannya.
Mereka mengucapkan kata “hebat” dengan “ebat”.
“Apa artinya ebat?” sela seorang tua.
“Ebat itu sama dengan enak, sangat enak, tidak ada bandingannya, seperti makanan Dewa,” salah satu temannya menyahut.
“O begitu. Lawar memang ebat. Baru mencium baunya saja sudah ebat, apalagi Tuan itu sempat mencicipinya, pasti tambah ebat. Makanan orang Bali memang ebat,” ujar yang lain.
Kata “hebat” yang diucapkan orang asing itu terus menjadi perbincangan di tengah mereka yang sedang bekerja membuat lawar.
Mereka merasa senang dan bangga karena ada orang asing memuji makanannya.
Kata hebat sendiri kita tahu lebih bermakna sebagai sesuatu yang terlampau atau amat sangat, misalnya sangat dahsyat, sangat ramai, sangat kuat, sangat seru, dan sebagainya.
Kemudian peristiwa kunjungan dan pujian dari tentara KNIL itu terus menjadi cerita yang menyebar dari telinga ke telinga dan semakin meluas di masyarakat, bahkan sampai di luar Sanur.
Terutama kata “ebat” yang mereka anggap sebagai pujian terhadap lawar sebagai makanan enak tiada banding itu semakin menjadi buah bibir masyarakat.
Sampai-sampai setiap kali mereka mengatakan “ebat” maka artinya adalah makanan yang sangat enak dan itu dikonotasikan sebagai lawar.
Entah bagaimana awalnya, masyarakat jadi suka mengatakan membuat makanan “ebat” bila mereka sedang bikin lawar untuk upacara.
Lama kelamaan kata “ebat” lantas jadi kata kerja dalam bahasa Bali dengan menambahkan awalan ma dan akhiran an menjadi “maebatan” atau “mebat”, yang maksudnya bekerja membuat lawar.
Hingga sekarang, kata maebatan atau mebat di Bali dipakai untuk menyebutkan aktifitas warga yang sedang membuat lawar serta lainnya untuk keperluan upacara dalam jumlah besar itu yang dikerjakan secara beramai-ramai.
Lalu apa itu lawar? Kata lawar berarti sayatan daging; melawar adalah menyayat daging tipis-tipis.
Sepertinya kata ini yang diadopsi untuk menyebut satu olahan makanan tradisional Bali yakni lawar.
Membuat lawar, dalam bahasa Bali disebut ngelawar, memang banyak melalui proses menyayat atau mengiris daging misalnya sewaktu bikin rames atau memotong sayuran. Karena itu, kemudian disepakati hidangan ini diberi nama lawar.
Selain lawar ada satu lagi makanan utama yang juga sangat populer yakni komoh.
Komoh itu semacam sup, atau lawar yang berkuah banyak. Cara memakannya biasanya disiup atau diseruput dari kobokan.
Apa arti komoh? Dalam bahasa Indonesia ada kata klomoh yang artinya basah. Agaknya kata klomoh itu diadopsi jadi komoh yang artinya kira-kira lawar basah atau lawar berkuah.
Tadi pagi tulisan ini saya share di grup WA dan ditanggapi ramai.
Seorang teman kemudian bertanya, apakah cerita ini benar adanya. Ini seperti sejarah saja?
Kemudian saya jawab: Saya mengarang artikel ini sambil ngopi pagi di tengah PPKM, pelan pelan kurang makan, dan saya tidak bermaksud meyakini kebenarannya. Sambil saya membubuhkan emoticon tertawa di bagian akhir.
Obrolan tentang mebat ini terputus ketika seorang teman membagikan berita duka. Ia mengabarkan bahwa rekan kami yang beberapa hari ini dirawat di rumah sakit, baru saja meninggal dunia karena Covid 19. Dan percakapan WA kemudian beralih ke berita kematian ini sambil kami ramai-ramai menulis ucapan: dumogi amor ring Acintya, [T]