Jika dipikir dan dihitung-hitung dengan baik hati, berkebun kecil-kecilan di halaman rumah bisa menyebabkan hal tak terduga, misalnya bayar listrik gratis. Eh, bagaimana bisa?
Senin sore, 9 Agustus 2021, saya baru saja datang dari kantor, seperti biasa, Si bungsu, Gede, datang menghampiri dan bergegas membuka pintu kendaraan “Bapak, Gede bawa tasnya” celotehnya.
“Makasi, Gede,” sahut saya.
Lantas dia berlari ke dalam kamar kerja, membawa tas yang di dalamnya berisi laptop dan segala berkas kerjaan dari kantor.
Saya pergi ke kamar, mengganti pakaian kerja, sembari bersiap untuk istirahat sejenak di depan rumah, duduk-duduk di teras rumah. Istri saya datang, dengan membawakan segelas teh campur sereh dan jahe yang dia petik dari kebun. Aroma campuran antara pucuk teh, sereh dan jahe sangat khas, terlebih ramuan ini ditambahkan dengan pemanis gula juruh yang kami dapatkan dari teman di les. Minuman ini mampu memberikan sensasi rileks setelah hampir seharian berkutat dengan pekerjaan-pekerjaan administrasi.
Ibu saat itu sangat sibuk di dapur, mempersiapkan makan malam untuk bisa kami nikmati bersama keluarga. Saya penasaran dengan apa yang beliau masak, akhirnya saya memutuskan untuk menghampirinya di dapur.
Saya bertanya kepada ibu perihal apa yang beliau masak, dan Ibu menjawab, “Sedang masak sayur bening, baru saja habis memetik daun kelor dan daun katup di belakang rumah”.
Terlihat sayurnya sangat bersih dan warnanya hijau segar, saya saat itu melihat bumbu-bumbu yang beliau gunakan. Hampir sebagiannya kami dapatkan dari kebun belakang rumah, seperti kunyit, temu kunci, sereh, jangar ulam atau daun salam, tomat.
Memang sudah sejak beberapa tahun yang lalu kami memanfaatkan pekarangan rumah kami untuk menanam berbagai jenis tanaman pangan untuk ditanam, tujuannya sebenarnya hanya untuk memaksimalkan fungsi pekarangan agar bisa lebih produktif dan hijau.
Kembali lagi ke bumbu, saat itu ibu lupa memetik cabai dan kebetulan persediaan cabai di tempat bumbu habis, olehnya saya diminta untuk pergi ke kebun untuk memetik cabai, “Bing, tolong petikan beberapa buah cabai di belakang, ibu lupa baru memetik, dikira sudah ada di tempat bumbu!”
Saya mengikuti apa yang menjadi perintahnya, saya pergi ke kebun dan di kebun kami memiliki beberapa pohon cabai, kurang lebih sekitar 10 pohon, ada yang ditanam di bedengan dan ada beberapa di dalam pot.
Kira-kira saat itu saya dapat sekitar 15 buah cabai. Memang terasa beda sekali kalau kita punya kebun, sensasi memetik hasil kebun dari hasil kerja sendiri itu terasa nikmat sekali, kalau tidak percaya silahkan dibuktikan sendiri.
Sebelum saya memberikan cabai tersebut, saya mencucinya dengan air keran yang mengalir, dan sisa air pencucian saya tampung untuk kemudian saya gunakan untuk menyiram satu pot cabai yang kebetulan ada di sebelah keran air, pohon cabai itu baru saja saya petik buahnya.
Saya anggap itu sebagai ucapan terima kasih untuk buah yang sudah dia hasilkan, sesederhana itu sebenarnya kita berlingkungan hidup, ketika kita memberi, maka alam pasti akan memberi, jangan hanya mau meminta tanpa mau memberi, nanti alam murka, dan bencana bisa melanda diri kita.
Ibu nampak menunggu saya, dan memanggil apakah saya sudah usai untuk memetik cabai di kebun. Saya langsung berlari ke dapur. Ibu menerima cabai itu, dan memeriksa apakah ada kotoran di cabai, saya bilang, “Sudah bersih, Bu. Tiang sudah cuci”.
Ibu adalah orang yang sangat memperhatikan soal kebersihan, beliau agak rewel ketika berbicara soal kebersihan dan kesehatan pangan, sebab beliau ingin selalu memastikan kualitas terbaik untuk pangan yang diberikan kepada kami sekeluarga.
Ibu memotong cabai menjadi beberapa bagian, memang kalau sayur bening memang seperti itu caranya menambahkan cabai, tidak perlu di ulek, cabai tinggal di potong menjadi beberapa bagian dan dimasukkan ke dalam panci yang sudah berisi campuran sayur dan bumbu tadi.
Bluk, bluk, bluk, bluk…., suara air dari dalam panci, terlihat air mendidih dan beberapa menit setelahnya ibu mematikan kompor sebagai pertanda bahwa sayur sudah matang dan siap nanti untuk dihidangkan. Ibu masih nampak sibuk, saya ,memperhatikan dengan seksama apa yang beliau lakukan, hingga sebuah pertanyaan terlontar dari mulut, mencoba mencari tahu kira-kira berapa nilai ekonomis yang beliau dapatkan dari pengalaman memetik sayur dan bumbu di kebun belakang rumah.
Ibu hanya diam dan senyum saja, sambil berkata banyak. Saya terus menggali dengan detail, di kisaran angka yang bisa menggambarkan kondisi nyata, Ibu lantas menjawab dengan detail, “Kalau membeli cabai sehari itu bisa Rp. 2.000, itu kalau diperhitungkan satu bulan bisa mencapai Rp. 60.000, belum lagi kebutuhan sayur perhari bisa Rp.10.000, kalikan saja sebulan”.
Jika ditotal, untuk beli cabai dan sayur saja bisa habis Rp. 360.000 sebulan. Jika, cabai dan sayur selalu ada di halaman, artinya uang sebanyak itu bisa dipakai keperluan lain.
Saya berpikir tentang kebutuhan energi baik itu listrik dan juga air dalam sebulan, saya tanya ke istri yang kebetulan duduk di teras, berapa biaya listrik dan air sebulan, istri menjawab “Rp.300.000 sampai Rp.350.000 sebulan”.
Kalau seperti ini, artinya uang yang harusnya untuk beli cabai dan sayur di pasar bisa dipakai untuk membayar listrik dan air. Artinya, bayar listrik bisa gratis, karena sudah dibayar dengan uang yang seharusnya dipakai beli cabai dan sayur selama sebulan.
Terdengar menarik dan masuk akal bukan? Padahal kebun kami tidak terlalu luas, hanya beberapa petak, tapi kami bisa buktikan kalau kebun ini produktif juga dan bisa meringankan keperluan lain.
Perhitungan itu belum termasuk hasil buah-buahan seperti buah naga, pepaya hingga mangga, kalau disubsidi lagi kebutuhan pokok lainnya bisa mensubsidi kebutuhan pangan yang kami beli di luar seperti beras misalnya.
Terkadang kita tidak pernah memperhatikan hal-hal kecil seperti ini, karena menanam saja bukan hanya urusan untuk menjadikan pemandangan menjadi semakin indah, namun ketika kita menanam tanaman pangan kita juga mendapatkan nilai ekonomis dan juga akses pangan yang sehat dan bersih untuk keluarga, dengan catatan pengelolaannya harus dengan penerapan laku organik dan tidak menggunakan bahan kimia.
Akhirnya ibu selesai menyelesaikan pekerjaannya, dan dia memanggil menantu dan cucunya untuk datang ke dapur. Sore itu kami akhirnya bisa makan enak, sayur bening khas Lumbung Pangan Keluarga. [T]