“Manusia menyisipkan hati dan perasaan pada energi.”
Itulah gagasan yang saya pikirkan, hari-hari ini, saat menyaksikan begitu banyak kematian. Tanpa hati dan perasaan, seperti juga kelahiran dan pertumbuhan, maka kematian hanyalah reaksi energi biasa. Mirip seperti es yang mencair, lalu air yang menguap dan uap yang berubah menjadi titik-titik air, kesemuanya adalah perubahan-perubahan energi tanpa disertai hati dan perasaan yang membuatnya menjadi alami dan diam-diam.
Maka hati dan perasaan adalah satu elemen abstrak maha karya misterius. Terasa namun tak berwujud, menguasai namun tak bertenaga, selalu hadir namun tak bertempat. Adakah ia bersemayam di hati, jantung atau otak? Banyak di antara kita mengeluh maag-nya kumat saat cemas atau galau. Ataukah ia ikut mengalir dalam darah kita yang menyertai pembagian energi ke seluruh tubuh? Lalu ia menyisip ke dalam energi tubuh yang pada dasarnya netral dan mengubahnya menjadi energi-energi yang kemudian mengejawantah sebagai sikap dan prilaku manusia yang sedemikan beragam.
Dalam pemahaman saya yang sangat terbatas sebagai orang Hindu, kematian adalah siklus energi. Dalam filsafat Panca Sradha atau lima keyakina dasar Hindu, kelimanya adalah siklus energi kontemplatif yang tak terputus. Siklus yang meminta kita nothing to loose karena ia faktual, adil dan otomatis. Mungkin ini yang dalam teori fisika modern disebut sebagai hukum kekekalan energi.
Eksistensi yang identik dengan poin ke-3 dari Panca Sradha yaitu hukum Karmaphala. Hukum ini eksak dan adil, namun karena sisipan hati dan perasaan manusialah yang membuatnya kemudian sering tampak menjadi tak adil, kejam atau justru sebuah keajaiban yang menggetarkan. Bahwa kita sering kali menyangkal nasib buruk kita adalah sepenuhnya akibat dari ulah buruk kita sendiri. Dan sebaliknya, umumnya kita dengan riang menerima keberuntungan tanpa harus sibuk mencari tahu apa sebabnya. Kita sendiri memang cenderung tak adil.
Poin pertama Panca Sradha adalah Brahman, energi terbesar alam semesta yaitu Tuhan. Saya meyakini, seperti halnya manusia (mikrokosmos), maka alam semesta (makrokosmos) ini tidaklah sempurna. Hanya karena energi positif/kebaikan yang lebih mendominasi, maka baik alam semesta dan manusia masih lestari saat ini. Jika energi negatif telah menguasai tubuh seorang manusia, ia akan mengalami kematian. Baik karena penyakit ganas yang menggerogotinya atau tindakan nekatnya mengakhiri hidup dengan bunuh diri.
Maka dalam hal ini, saya cenderung melihat Tuhan sebagai sifat-sifat, bukanlah subyek. Ini dapat menjawab misteri lain dalam filsafat Hindu soal Awathara atau juru selamat yang kesepuluh. Bahwa siapapun punya kans menjadi seorang juru selamat meski dalam porsi sekecil apapun. Sebuah pengakuan maha agung kepada setiap kebaikan. Karena ia adalah manifestasi Tuhan atau sifat Ketuhanan itu sendiri.
Poin kedua adalah Atman, energi Tuhan pada setiap mahluk. Gagasan ini mudah saja dipahami, ketiadaan energi yang koheren dengan pusat energi terbesar maka kehidupan takkan pernah ada. Berbagai jejas yang menodai energi manusia semasa hidupnya yang terdata eksak secara kosmis akan menghalanginya bersatu dengan pusat energi/Brahman. Keadaan inilah yang menurut keyakinan agama-agama Samawi adalah neraka. Atau energi lepas tak terkendali yang menurut kepercayaan masyarakat Jawa sebagai roh/arwah gentayangan.
Dalam sains mungkin saja ini adalah senyawa radikal bebas yang sering mengganggu kesehatan manusia. Satu elemen yang sama, dapat saja memberi berbagai persepsi dalam dimensi yang berbeda. Apabila Atman seorang manusia cuma mengonversi energi baik/positif semata yang terbentuk dari hati dan perasaan, sikap dan prilaku, maka pada saatnya, energi kosmisnya akan bersatu dengan pusat energi positif. Inilah yang disebut surga, poin kelima dalam Panca Sradha yaitu Moksa. Sesuatu yang begitu sulit bisa digapai. Mestinya upacara Ngaben semegah apapun takkan bisa mengantarkan Atman masuk surga. Dalam tradisi Kristen, seseorang yang telah mengabdikan dirinya pada kebaikan dan pelayanan untuk manusia yang heroik, ia diberikan gelar sebagai Santo, yang telah disucikan dan bertemu Tuhan di surga. Pandangan ini lebih rasional.
Hindu meyakini, atas dasar kalkulasi yang eksak tersebut, pencapaian Moksa itu akan teramat sulit. Maka, energi yang belum sempurna itu akan kembali ke alam semesta/bumi untuk memulai siklus energi yang panjang. Sebuah penderitaan sesungguhnya. Gagasan ini adalah poin ke-4 dalam Panca Sradha yaitu Punarbawa atau reinkarnasi.
Mengapa jumlah manusia semakin banyak? Atau, maaf, penderitaan semakin banyak? Dengan mudah dapat kita pahami, karena kita memang telah menjalinkan rantai energi negatif semakin panjang. Dari apa yang kita sebut sebagai libido. Yang menurut Sigmund Freud sangat menentukan kesehatan dan kewarasan manusia. Atas pemahaman ini, segelintir manusia kemudian diidentifikasi menempuh hidup selibat atau tanpa seks dan bereproduksi. Sebut saja kehidupan biksu/biksuni dan pastor/biarawati. Tentu saja, memiliki pasangan atau belahan jiwa, kemudian buah hati, atau jika buah hati kita sakit adalah berbagai potensi reaksi energi yang menciptakan jejas dan noda dalam energi kosmis seorang manusia.
Saya telah menulis tentang kematian dalam buku Merayakan Ingatan (Mahima, 2019), “Orang mati, bukanlah karena sungai yang deras dengan deretan jeram terjal, atau bukan karena sebuah pesawat terbang berada dalam sekapan badai. Orang mati karena sebuah hukum kekekalan energi yang eksak.”
Mungkin pandangan ini dapat sedikit mendamaikan kita dengan segala tragedi memilukan yang hari-hari ini terjadi akibat wabah virus corona baru yang tak kenal kasihan. Hati dan perasaan kita telah membuat bumi dan hidup kita hingar bingar dan penuh warna, terpisah dari kehidupan biksu dan pastor yang hening dan datar. Maka, tanpa kita sadari, sesungguhnya kita adalah sang para pencipta, namun belum siap menerima hasil dari reaksi energi yang tak kita inginkan.[T]
___