Titik mula seni lukis Bali ada di desa Kamasan, Kabupaten Klungkung. Idiom bentuk yang dipakai bersumber dari wayang kulit. Tema diambil dari cerita Tantri, Ramayana, Mahabharata dan cerita rakyat. Pembagian bidang gambar mengacu pada Tri Loka, ajaran Hindu yang menggambarkan dunia bawah, tengah dan atas. Pada dasarnya seni lukis tradisional Bali tidak mengenal perspektif trimatra atau jauh-dekat. Adanya depan-belakang (dwimatra), tersusun bertumpuk ke atas. Ruang visualnya datar (flat). Teknik nyelah dalam proses seni lukis tradisi hanya menegaskan batas objek satu dengan lainnya. Objek di depan menempel pada objek di belakangnya. Tidak membuat perspektif dan dimensi atau tone.
Dari abad ke-15 sampai abad ke-18 seni lukis Kamasan berkembang hingga ke daerah lain seperti ke desa Batuan dan Ubud. Pada tahun 1936 berdiri Pita Maha, perkumpulan pelukis di Ubud. Keterlibatan Rudolf Bonnet dan Walter Spies berpengaruh pada penggambaran anatomi dan proporsi juga tema lukisan sehingga melahirkan gaya Ubud. Pengaruh Pita Maha menyebar ke Batuan, Sanur dan daerah lain.
Lukisan-lukisan tradisi bersama karya topeng dan patung dapat dilihat pada pameran seni rupa tradisi Bali Kandarupa yang digelar serentak di Gedung Kriya Taman Budaya Bali, Museum ARMA dan Museum Puri Lukisan Ubud. Acara yang terkait dengan Pesta Kesenian Bali (PKB) XLIII Tahun 2021 berlangsung dari tanggal 10 Juni hingga 10 Juli 2021. Pameran mengetengahkan karya 113 perupa lintas generasi dengan berbagai gaya. Tema yang diusung adalah Wana Jnana dengan sub-bahasan Wanda, Rimba, dan Spiritualitas.
Selanjutnya pameran Bali Kandarupa akan menjadi agenda tahunan sebagai bagian tak terpisahkan dari pelaksanaan Pesta Kesenian Bali yang menyajikan kreativitas terkini seni rupa klasik dan tradisi Bali dari berbagai genre yang diharapkan mampu memberikan semangat bagi generasi penerus dan apresiasi yang luas dari masyarakat, demikian diungkapkan I Gede Arya Sugiartha, Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.
Jalan Simpang Tradisi
Tulisan ini hanya membahas seni lukis. Ruang yang terbatas dengan bandingan jumlah karya dari tiga jenis seni rupa yang demikian banyak, tak memungkinkan untuk menuliskan semuanya. Ulasan untuk karya topeng dan patung saya tulis terpisah. Beberapa karya pada pameran ini menunjukkan gejala berbeda. Ada upaya untuk keluar dari kebuntuan kreativitas yang menggejala pada seni lukis tradisi. Pelukis mulai memasukkan idiom-idiom baru, bisa berupa ikon, isu atau pewarnaan. Pada lukisan ‘Cinta Alam’ I Nyoman Kondra yang bercorak Kamasan, dua orang wisatawan menjelajah hutan menggunakan mobil safari. Nampak seseorang membidikkan kamera dan seorang lagi berkomunikasi menggunakan handphone. Kehadiran mereka membuat kegaduhan penduduk rimba yang merasa terusik. Tak jelas siapakah kedua turis tersebut. Aktivis lingkungankah atau investor yang sudah mengantongi izin pemanfaatan hutan dari pemerintah. Idiom ini tak lazim pada tradisi seni lukis Kamasan.
Lukisan I Made Griyawan menggambarkan Raja Hutan sedang memimpin rapat terbatas dengan para menterinya. Virus ganas yang dibawa manusia mulai menyebar di hutan, berpotensi menulari penduduk rimba yang mulai terusik kehidupannya oleh ulah manusia. Lukisan yang diberi judul ‘Rapat Para Binatang untuk Corona’ ini mengusung gaya Batuan dengan dominasi warna hitam-putih yang kuat. Warna magenta dipulaskan pada ikon virus Covid-19 sebagai aksen estetis sekaligus penekanan penting pada isu yang menghebohkan.
Sebuah telaga dalam lukisan ‘Hutan Rimba’ bercorak Kamasan karya I Nyoman Arcana menjadi tempat pusat perhatian. Sebuah drama dibangun di sana berupa fragmen seekor buaya dikelilingi berbagai binatang penghuni rimba. Seekor singa dan harimau seperti beradu geram dengan si buaya. Mengingatkan pada sebuah kisah fabel tentang perseteruan singa dan buaya dalam memperebutkan tahta kekuasaan di rimba raya. Adakalanya lukisan yang bermuatan objek binatang dikaitkan dengan Tantri , padahal tak ada kejelasan narasi yang menghubungkan.
Lukisan kaca Ketut Santosa ‘Gugurnya Watakwaca’ menarasikan Prabu Niwatakawaca yang tewas dengan anak panah menancap di rongga mulutnya saat bercumbu dengan Dewi Supraba di dalam kamar. Di belakang layar nampak Arjuna dan punakawan mengintip adegan ini. Lukisan disertai balon kata, memuat celetukan punakawan.
Dalam Arjunawiwāha, dikisahkan Prabu Niwatakawaca tewas di medan peperangan. Arjuna mendapat tugas dari Batara Guru untuk menghancurkan kekuatan Prabu Niwatakawaca yang mengancam kedamaian hidup manusia dan para dewa. Diutuslah Dewi Supraba sebagai umpan untuk membongkar rahasia kelemahan Prabu Niwatakawaca. Ringkas cerita, titik lemah alhasil terungkap dan Arjuna mengeksekusinya dengan panah sakti Pasopati andalannya.
Pascatradisi
I Gede Ngurah Vandji menampilkan ‘Taru Magening’ (Alam dalam Diri ) dengan media akrilik dan tinta di atas kanvas. Teknik yang digunakan mengadopsi teknik modern dengan mengaplikasikan alat lukis bambu yang lazim digunakan pada seni lukis tradisi. Ini dapat dilihat pada efek pisau palet yang memunculkan tekstur semu.
Seperti lazimnya lukisan tradisional, bidang kanvasnya penuh dengan beragam bentuk yang dibingkai dengan garis (kontur). Banyak simbol dijejalkan di sana seperti Maosala, Maosali, Apsara dll. Nampak figur perempuan yang penuh dengan isian beragam bentuk yang terkandung di alam, melebur ke latar belakang yang padat oleh bermacam citraan kosmis. Perempuan sebagai simbol Ibu yang melahirkan alam semesta juga sebagai pusat energi kosmis.
Konsep karya ini berangkat dari teks Jarayu Tantra yang menarasikan bahwa alam ibarat kandungan dalam garba semesta. Disebutkan pula bahwa manusia terbentuk dari unsur alam itu sendiri, misalnya rambut berasal dari awan, darah dari air, tulang dari kayu, lemak dari embun, kulit dari tanah, bulu dari rumput dan lain sebagainya. Elemen dalam diri memiliki interelasi dengan semesta raya, antara buana alit dengan buana agung. Bentuk dan filosofi tradisi menginspirasi Ngurah Vandji dalam berkarya di ranah seni lukis pascatradisi. Karya Taru Magening bermula dari tradisi, memori dan berkembang dengan imaji. [T]
Bedulu, 5-7-2021
___