Jauh sebelum ditemukan kata “ekonomi kreatif” yang kini terasa agak elit, di sejumlah desa terpencil di Bali, para pelaku ekonomi (perajin, tukang, petani) sudah menciptakan hal-hal kreatif untuk mengangkat citraan produk ekonomi mereka. Salah satu desa terpencil itu ada di Pedahan Kelod, Desa Tianyar Timur, Kubu, Karangasem.
Saya mengulang berkunjung ke Pedahan Kelod, setelah beberapa minggu lalu sempat ke desa itu. Saya berkunjung lagi untuk menemui pasangan suami-istri pembuat gula lontar, yang di desa itu disebut gula kroso karena dibungkus kroso (anyaman daun lontar).
Pasangan itu adalah Wayan Konten dan Wayan Milir. Itu nama bajang mereka, atau nama sebelum mereka menikah. Setelah menikah namanya berubah jadi baru; I Jero Budi dan Ni Jero Budi. Begitulah tradisi tentang nama di wilayah Pedahan.
Selalu menyenangkan jika berkunjung ke Pedahan. Pohon-pohon lontar di kiri-kanan jalan seakan memberi petunjuk arah. Lontar atau ental seakan menjadi nafas ekonomi bagi masayarakat di daerah ini. Di tempat ini surganya pohon lontar. Populasi pohon lontar bahkan mengalahkan pohon kelapa sekalipun.
Pasangan suami-istri I Jero Budi dan Ni Jero Budi adalah petani gula lontar kroso yang tetap setia mempertahankan kreatifitasnya. Kroso adalah anyaman dari daun lontar berbentuk tabung. Ini tak sekedar menarik dan unik tapi sangat penting.
Seperti biasanya empat sampai lima jam waktu yang dihabiskan untuk meanaskan tuak manis (nira lontar) hingga menjadi kental. Begitu sudah menjadi cairan gula dan semasih kental, cairan itu dimamsukkan atau dicetak dalam kroso. Gula itu dibiarkan menjadi padat dalam kroso, dan setelah padat, gula itu dijual bersama krosonya.
Di kampung saya di Buleleng bagian timur, cerita dari gula dalam kemasan kroso ini mengingatkan masa lalu dari semua orang mengenal gula lontar padat sejak dulu yang bentuknya tetap seperti ini. Orang di kampung saya menyebutnya gula klongkongan.
Tanpa banyak berpikir hasil, I Jero Budi dan Ni Jero Budi terus membuat gula ini sepanjang lontar masih ada, dan tetap berair.
Di saat banyak wacana tentang produk lokal dengan kemasan organik atau ramah lingkungan, mereka telah menerapkan wacana itu sejak dulu dan tetap mempertahankan hingga kini, jauh sebelum wacana kemasan ramah lingkungan dibicarakan dari satu meja satu ke meja yang satunya lagi.
Dan ketika saya tanyakan penghasilan dari membuat gula ini, pasangan suami-istri itu dengan polos menjawab uangnya sudah habis duluan untuk kebutuhan sehari-hari bersama enam orang anaknya. Kalaupun mereka butuh uang, pengepul akan memberinya terlebih dulu dan akan dibayarkan dengan gula. Sering sekali manis gula, tak berlaku bagi pembuat gula seperti mereka. [T]