Lelaki 37 tahun itu, Nyoman Suardika. Lahir, mukim, dan bekerja di Desa Dukuh, Kubu, Karangasem, Bali. Pekerjaan sehari-hari: memanjat pohon lontar. Bukan sekadar memanjat. Dalam sehari ia memanjat 50 pohon lontar.
Ia biasa bangun jam 02.00 dinihari. Bergerak ke kebun yang tak terlalu jauh dari rumahnya. Di kebun, sudah menunggu 50 pohon lontar untuk dipanjat. Di atas pohon ia mengiris batang bunga/buah, hingga keluar tuak.
Gerakannya pelan tapi pasti. Satu per satu pohon lontar dipanjatnya. Di satu pohon ia mengiris, lalu memasang wadah untuk menampung air irisan. Di pohon lain, ia memanjat, lalu mengambil wadah yang sudah berisi air tuak, hasil dari irisan sebelumnya.
Jam 08.00 pagi ia pulang. Membawa tuak hasil irisan untuk kemudian diolah menjadi arak bersama istrinya. Jam 13.00 siang, ia kembali ke kebun. Kembali memanjat. Kembali mengiris, kembali mengambil wadah berisi tuak. Jam 19.00 petang hari, ia baru pulang. Di rumah kembali mengolah air tuak untuk dijadikan arak.
***
Minggu, 27 Juni 2021, saya melakukan perjalanan ke Desa Dukuh, Kubu. Di daerah itu pohon lontar adalah cinta sejati bagi sebagian orang. Hamparan pohon lontar mendominasi pemandangan, lebih menonjol dari pohon lain yang saya temui.
Beruntung saya bertemu dengan Nyoman Suardika. Di tengah-tengah jadwal padat sebagai petani lontar, ia masih bisa meluangkan waktu untuk mengobrol ditemani secangkir kopi. Jangan pernah berharap petani lontar akan minum tuak atau arak saat pekerjaan mereka belum tuntas. Mereka adalah peminum bertanggung jawab.
Bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya dan bertanggungjawab untuk menjaga stamina. Ia harus bijak jika minum tuak atau arak, atau tidak minum sama sekali selama musim panen.
Bulan-bulan ini, saat musim kemarau, adalah musim panen pohon lontar. Dan bagi Nyoman Suardika, itu artinya ia siap bekerja; memanjat 50 pohon lontar setiap hari, setidaknya akan berlangsung selama 8 bulan ke depan.
Ibarat pegawai kantoran dengan baju keki, Nyoman Suardika dengan pakaian dan peralatan lengkap ala petani lontar sudah bangun jam satu pagi dini hari. Tepat jam dua pagi ia sudah memanjat untuk memanen tetesan lontar sampai jam delapan pagi. Itu shift kerja dini hari. Shift kerja siang hari di mulai jam satu siang. Dan baru pulang dari “kantornya” jam tujuh petang.
Nyoman Suardika mencintai keluarga; seorang istri dan tiga anaknya. Untuk membuktikan cintanya kepada keluarga, dia harus menjalin hubungan “cinta sejati” dengan pohon lontar. Pohon lontar harus tetap terawat dengan baik, agar keluarganya juga bisa terawat dengan baik.
Lima puluh pohon lontar ia panjat setiap hari, yang memberi dia kehidupan setiap hari. Bukan sekadar harus memanjat, sesekali harus membersihkan dahan-dahannya. Pohon lontar harus hidup agar ia selalu memberi kehidupan. Bayangkan, memanjat satu saja pohon lontar, yang tingginya sekitar 15 -20 meter dan berduri, betapa sulitnya.
Nyoman Suardika memutuskan untuk melakukan pekerjaan itu sebagai sumber kehidupan yang serius sejak sekitar sepuluh tahun lalu. Sebelumnya, ia memang memanjat dan mengiris lontar dan mengolah tuak, namun ia masih belum menganggapkan sebagai pekerjaan serius dan professional.
Dan karena sudah diputuskan untuk jadi pekerjaan, maka niscaya ia akan melakukan pekerjaan itu dengan sungguh-sungguh, meski harus memanjat 50 pohon lontar dalam sehari. Bahkan ketika sedikit demam, kepala sakit, pilek dan tidak enak badan, pekerjaan itu tetap dilakukannya. Ia tidak pernah absen satu hari pun selama sepuluh tahun ini, terutama ketika musim panen.
“Kalau tidak memanjat dan mengiris maka pohon lontar akan ngambul,” katanya.
Ngambul artinya ngambek. Air tuaknya akan berkurang. Bahkan mungkin tak akan mau mengeluarkan air. Maka, pohon itu harus dipanjat setiap hari.
Tak jarang juga ketika memanjat lontar dini hari, ia digigit kalajengking dan tawon. Sakit? “Sudah pasti, bahkan sakit sekali. Tapi itu sudah bagian dari pekerjaan kita mencari rejeki kepada pohon lontar,” katanya. [T]