Di Banjar Tubuh, Desa Les, Kecamatan Tejakula, Buleleng, saya beberapa kali bertemu Uwa Cening. Setiap bertemu, rasanya tak ada yang istimewa. Ia perempuan sederhana yang mengerjakan hal-hal biasa. Salah satunya membuat lengis tanusan (minyak tradisional Bali).
Saat bertemu Hari Minggu lalu, saya melihat ia mengerjakan pembuatan lengis tanusan juga. Awalnya, biasa saja. Tapi setelah mendengar ia bercerita, baru saya menyadari pekerjaan yang dia lakukan sungguh-sungguh istimewa.
Uwa Cening, namanya lengkapnya Cening Winarsa. Saya biasa memanggil dengan sebutan Wa Cening. Wa (baca Uwe) adalah sebutan lumrah orang lokal untuk menyebut perempuan yang lebih tua.
Ia sosok sederhana sebagaimana orang yang hidup di desa pada umumnya. Usainya 67 tahun. Dan ia sudah mulai membuat lengis tanusan ketika usianya 10 tahun. Saat itu, kesulitan hidup membuat Wa Cening dan keluarganya harus menggali kemampuan diri di bidang apa pun agar setidaknya bisa membantu keluarga.
Salah satunya membuat lengis tanusan. Jika tidak laku dijual, setidaknya ia dan keluarga tak perlu membeli minyak untuk menggoreng ikan atau menumis sayur. Selain irit, rasa masakan pun akan terasa enak, dan dengan begitu tak perlu lagi membeli lauk-pauk yang mewah.
Bagi Cening Winarsa, membuat lengis tanusan, lama-kelamaan, bukan lagi sekadar untuk menggoreng ikan atau menumis sayur. Pekerjaan itu seakan menggerakkan jiwanya untuk tetap bersemangat untuk mencipta dan mempertahankan minyak tradisional. Syukur-syukur bisa dijual.
Pada usia 17 tahun ia bahkan sudah menjual sendiri lengis tanusan hasil olahannya. Ia teringat, lengis tanusan dibawa ke Pasar Desa Penuktukan setiap pekenan (hari pasaran). Semua itu ia kerjakan dengan nikmat tersendiri, bahkan mulai dari proses awal hingga hasil kerjanya terjual di pasar.
Hingga kini seluruh proses pembuatan lengis tanusan dipertahankan dengan cara-cara tradisional. Memarut kelapa tetap menggunakan pengikihan (alat parutan kelapa tradisional), mengukus, membilas parutan kelapa dengan dengan tangan, lalu merebus untuk memisahkan roroban (air residu minyak) dengan minyak. Terakhir minyak atau lengis dipanaskan lagi untuk mendapatkan kualitas lengis yang bening dan tahan lama.
Demikian panjang proses pembuatan minyak tanusan itu, dan Wa Cening masih sangat energik untuk melakukan dan menceritakannya. “Tidak ada jalan shortcut untuk membuat minyak tanusan yang jaen care lawasan (enak seperti dulu kala),” katanya.
Air roroban (residu air minyak kelapa setelah dipanaskan) dan usam (sisa -sisa bilasan parutan kelapa) bisa diolah menjadi pakan ternak, semisal untuk babi. Dan Wa Cening memiliki sejumlah peliharaan babi.
Cening Winarsa mengatakan, membuat lengis tanusan bukan hanya harap untuk menjual tapi meneruskan sebuah kaitan antara pembuat lengis dan meubuhan (berternak), dalam hal ini beternak babi.
Memang hal-hal terbaik selalu ada di pelosok yang tak pernah berhenti untuk membuat sesuatu meski jaman sudah sangat menggilas, Wa Cening tetap ikhlas dan terus membuat lengis tanusan di tengah jaman yang terus berubah dan banyak sekali hal dicitrakan dengan informasi dipotong-potong sesuai materi citraan.
Apakah Wa Cening bisa hidup dari hasil ketekunannya? Tentu saja.
Ada saja orang yang datang ke rumahnya untuk membeli minyak tanusan. Bukan hanya pemilik warung makan atau penggemar kuliner tradisional, melainkan juga beberapa pekerja spa and theraphy. Lumrah sudah diketahui, lengis tanusan memang bagus untuk massage.
Setiap dua hari ia memarut 40 butir kelapa. Dari 40 itu ia bisa menghasilkan lengis tanusan 5-7 botol ukuran 600 ml. Harga 25 ribu per botol. Hitung sendiri penghasilnya sebulan.
“Ya, cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari bersama suami dan empat cucu,” kata Wa Cening. [T][Editor; Ole]
BACA ARTIKEL TENTANG DES LES LAINNYA DARI PENULIS NYOMAN NADIANA