Panas mulai terasa menyengat ketika memasuki Jalan I Gusti Ngurah Rai, Tabanan, terutama pada siang hari, saat matahari tepat berada di atas ubun-ubun. Terlebih, saat motor yang dikendarai berhenti di lampu merah, menghadap Patung Soekarno Putra Sang Fajar yang berdiri di tengah-tengah perempatan.
Di sanalah, ketika menoleh ke sebelah kiri, tepat di seberang Terminal Kediri, diapit Toko Busana Muslim dan BPR Luhur Damai, sebuah bangunan kecil minimalis bertuliskan Kopi Kultura akan mencuri pandang siapa saja yang melihatnya.
Dengan latar hitam dan tulisan estetik berwarna putih, bangunan yang dari luar nampak hanya berdiri dengan satu pintu dan satu jendela kaca tersebut cukup membangkitkan rasa penasaran dan menimbulkan satu dua atau lebih pertanyaan dalam benak masing-masing: Tempat apa sebenarnya itu?
Apa yang bisa ditemukan di dalamnya? Mengapa banyak motor dan beberapa mobil parkir di depan dan di sampingnya?
Ketika memasuki bangunan tersebut, barulah pertanyaan-pertanyaan di atas menemukan jawaban yang seharusnya. Kopi Kultura adalah salah satu kedai kopi baru di tengah-tengah Kota Tabanan yang menyuguhkan suasana industrialis.
Siapa pun yang melangkah ke dalam akan disambut dengan nuansa warna abu yang menciptakan perpaduan pas saat disandingkan dengan warna coklat pada kursi dan meja kayu di beberapa titik ruangan, tampilan dinding dengan kesan unfinished yang memang sengaja dibiarkan tanpa polesan cat atau tanpa plesteran, juga lantai kayu yang terkesan kokoh hadir memperkuat keindahan dari nuansa industrialis yang disajikan.
Di bagian atas, langit-langitnya memiliki struktur kayu yang terlihat jelas, lengkap dengan instalansi beberapa lampu gantung dengan desain yang tak kalah menarik dan estetik. Ruangan tersebut juga memiliki pencahayaan yang baik, tak begitu terang, namun juga tak begitu redup, sehingga siapapun yang berada di sana tetap merasa nyaman. Terlebih, ada AC yang membuat suasana menjadi tambah sejuk, jauh berbeda dengan suasana panas di luar bangunan tersebut.
Awal Segala Mula
Ada sepasang sahabat yang mengawali cerita terbentuk dan berdirinya Kopi Kultura di tengah-tengah Kota Tabanan. Mereka adalah I Komang Januar Hardianto asal Wongaya Gede, Tabanan dan I Made Wisnu Yoga Wijaya asal Petang, Badung. Umur mereka tak terpaut jauh, Komang Januari, atau Koming panggilan akrabnya, saat ini menginjak usia 31, Yoga hanya setahun lebih muda darinya.
Mereka berdua memiliki hobi dan kesukaan yang sama. Keduanya sama-sama suka motor. Gaya berpakaian mereka sehari-hari tak jauh dari hal-hal bermau motor yang identik dengan pesonanya tersendiri, seperti kaos dengan kombinasi berwarna gelap, celana jeans atau kargo panjang, sepatu vans, sesekali memakai rompi atau jaket lengkap dengan kaca mata hitam, dan sebagainya.
Benda-benda yang mereka pakai juga masih bertemakan motor, contohnya seperti helm bogo tanpa kaca, yang dilukis dengan rupa-rupa tertentu dan masih banyak lagi. Tentu saja, motor yang mereka kendarai sehari-hari juga motor khas anak-anak motor, alias berbeda dengan motor pada umumnya. Sesekali motor tua yang ngetrend pada zamannya, sesekali juga motor custom yang selalu terlihat menarik.
Keduanya juga berambut panjang, pun sama-sama tinggi dan memiliki tatto di tubuhnya. Tidak heran jika mereka berdua bisa menjadi sepasang sahabat.
Sebelum bangunan tersebut menjadi kedai kopi seperti sekarang ini, selama 11 tahun Koming memanfaatkannya sebagai distro, Rise Warehouse namanya. Distro yang sudah ia dirikan sejak tahun 2009 tersebut menjual berbagai macam pakaian khas anak muda kekinian, seperti baju kaos, topi, jaket, dan lain-lain yang juga boleh dikata masih berkaitan dengan nuansa anak motor. Selalu ada motor di sebagian besar foto-foto promosi yang diunggah di berbagai kanal media sosialnya. Distro tersebut lumayan dikenal masyarakat, terutama di kalangan anak motor di Bali.
Sayangnya, pandemi Covid-19 yang mewabah sejak awal tahun 2020 menjadikan distro yang ia miliki tidak lagi ramai seperti sebelum-sebelumnya. Sehingga mengharuskan dirinya untuk mengubah distro tersebut menjadi tempat yang ramai dikunjungi orang dan tentu saja membawa penghasilan.
Koming bersama Yoga sahabatnya kemudian memutuskan untuk bekerja sama membuat sebuah tempat untuk semua orang yang ingin menikmati kopi, yang diharapkan dapat menjadi wadah bagi setiap orang, menjadi tempat berkumpul yang nyaman untuk saling bertukar pikiran satu sama lain, tempat lahirnya relasi dan koneksi, tempat bercerita, bercanda, dan tertawa bersama.
“Sebelumnya kami memikirkan untuk membuka usaha ekspedisi di daerah Tabanan, namun karena adanya penolakan jadilah hanya sebuah harapan saja. Singkat cerita terlintaslah kembali untuk memliki usaha kopi. Di masa sekarang ini kami melihat banyak anak-anak muda yang mencari tempat untuk sekadar bertemu dan bercerita dengan teman-temannya. Dari sana kami mengambil keputusan untuk mulai berjuang di bidang perkopian,” ujar Koming sambil menyeruput secangkir kopi yang ia buat sendiri.
Berangkat dari pemikiran itulah akhirnya Kopi Kultura hadir meramaikan kedai kopi di sekitaran Kota Tabanan sejak pertama kali dibuka pada tanggal 19 Desember 2020 kemarin sampai saat ini.
Di Balik Nama Kopi Kultura
Mereka berdua memilih nama Kopi Kultura bukan tanpa sebab. Mereka ingin menanamkan aspek kebudayaan alam di dalam nama kedai kopi mereka. Kata ‘Kultura’ sendiri merupakan serapan dari kata Culture yang berarti budaya. Lewat nama tersebut, mereka hendak memberi tahu siapa saja bahwa Kopi Kultura memiliki kiblat ke arah budaya pertanian atau Hortikultura.
Koming bercerita lagi, dengan menekankan Hortikultura pada budidaya kopi, pun menarik garis besar pada kebudayaan alam, mereka memiliki harapan yang besar untuk mengedepankan petani kopi lokal untuk dapat tumbuh dan berkembang ke arah yang lebih positif dan juga menjadi lebih baik bersama. Itulah mengapa mereka selalu menggunakan biji kopi dari Pupuan, Tabanan.
Di samping itu, melalui Kopi Kultura ini, mereka ingin membangkitkan budaya membaca dengan cara menyiapkan beberapa koleksi buku yang diperoleh dari salah seorang kenalan mereka. Mereka menyajikan buku-buku dengan tema yang beragam, dari yang bermuatan ringan sampai yang bermuatan gawat, dari yang membicarakan budaya hingga yang membicarakan politik, dari yang bercerita khayalan sampai bercerita kenyataan, dari karya sastra hingga esai.
Buku-buku tersebut berjejer rapi di pojok kiri, lebih tepatnya di samping tempat memesan kopi. Para pengunjung dapat dengan mudah melihat-lihat dan mengambil buku yang barangkali menarik perhatian mereka, dan tentu saja mereka juga dapat dengan mudah mengembalikannya ke tempat semula.
Ceritanya berlanjut tentang suka duka yang mereka hadapi selama membangun kedai kopi tersebut. Menurut penuturannya, ternyata tidak mudah untuk memulai usaha tempat kopi, apalagi benar-benar memulainya dari awal, dari nol, dari bawah, dari tidak ada. Beberapa hambatan, rintangan, dan tantangan akhirnya harus mereka hadapi ketika membuka bisnis kopi. Salah satunya seperti merencanakan strategi pemasaran.
“Ada kedai kopi yang memiliki banyak pengunjung meskipun berada di titik yang terpencil dan tidak yang strategis. Itu karena strategi pemasaran yang bagus, trafik di internet atau di media sosial yang dibangun dengan matang” kata Koming.
Namun masalah tersebut dapat diatasi berkat dipertemukannya mereka dengan SVMS Creative, sebuah komunitas anak-anak muda kreatif berbasis di Denpasar yang membantu menyajikan segala keperluan branding di internet dan media sosial.
“Itulah salah satunya yang membuat kami semakin yakin untuk membangun usaha ini, Kopi Kultura ini” imbuhnya.
Untuk menjadi kedai kopi yang lebih baik lagi, mereka tetap berkomitmen dan konsisten menjaga kualitas rasa, bahan, dan juga takaran dalam membuat kopi, serta berinovasi menciptakan menu-menu baru, baik yang bersifat tradisional, ataupun modern. Sampai saat ini, Kopi Kultura sendiri menyajikan beragam menu kopi seperti coffee latte, matcha latte, cappucino, americano, espresso, dan vietnam drip. Harga yang dibandrol mulai dari Rp 10.000 sampai Rp 18.000.
Bagi para pengunjung yang tidak terlalu suka kopi, cokelat panas atau dingin, es lemon tea hingga milk shake bisa menjadi pilihan, dengan harga mulai dari Rp 10.000 sampai Rp 20.000. Ada juga berbagai macam makanan yang disediakan, mulai dari mie goreng ala Kopi Kultura, burger, kentang goreng, hingga cemilan lain seperti pisang goreng, bakwan keladi, dan masih banyak lagi, dari harga Rp10.000 sampai Rp.20.000. Dengan demikian, harapannya para pengunjung yang datang tidak bosan dengan menu-menu yang disajikan Kopi Kultura. Di samping itu, mereka bersama para pegawai dan barista yang sudah diangap keluarga, selalu berusaha menawarkan dan menjalin kekerabatan bersama para pengunjung dan tentu saja memberikan pelayanan terbaik.
Sebuah Taman di Halaman Belakang
Di sela-sela ceritanya, Koming juga menjelaskan bahwa mereka ingin menjadi kedai kopi yang menawarkan suasana asri dan nyaman sekalipun berada di tengah hiruk pikuk kota. Itulah sebabnya halaman belakang yang mereka miliki ditata semenarik dan senyaman mungkin menyerupai sebuah taman.
Kesan industrialis yang ditawarkan di ruang depan seketika berubah setelah memasuki halaman belakang tersebut. Sebuah taman, beratapkan langit yang luas tanpa batas, dengan beberapa meja berdiri di tengah-tengahnya, beralaskan batu-batu kerikil kecil berwarna hitam yang mendukung visual alam yang aktraktif, juga beberapa tanaman khas yang biasa dijumpai di halaman atau pekarangan rumah, menjadi tempat menarik yang menawarkan kenyamanan sendiri di dalam benak masing-masing.
Di tembok sebelah utara setelah dapur, tanaman-tanaman tersebut tertata rapi, berjejer dari atas ke bawah, dari kiri ke kanan, dari yang kecil sampai yang besar, dari yang berdaun mini sampai yang berdaun lebar, dari yang berbunga sampai tidak berbunga. Misalnya seperti Simbar Rusa, Bromelia, Anggrek Catalya, Anggrek Dendro, Aglonema, dan masih banyak lagi.
Di beberapa sudut mereka juga menanam Pohon Parasok, yang tentu saja semakin menambah kesan asri dari halaman belakang yang dimiliki Kopi Kultura. Boleh dikata, halaman belakang yang mereka sajikan memiliki nuansa serupa lereng di pegunungan Batukaru. Koming bersama istrinya, Luh Gede Laras Sita, membawa sendiri beragam tanaman tersebut dari kampung halaman mereka di Desa Wongaya Gede, Kecamatan Penebel, Tabanan.
Barangkali, sebuah konsep taman di halaman belakang inilah yang membedakan Kopi Kultura dengan tempat kopi lainnya di Kota Tabanan. Halaman belakang tersebut kemudian menjadi tempat favorit para pengunjung karena memang terasa nyaman berada di sana untuk menikmati secangkir kopi sambil menikmati rokok sebatang dan bersenda gurau bersama, juga untuk sekadar bersantai setelah lelah dengan segala rutinitas yang ada, pun untuk bertegur sapa dan bercengkrama, berbagi cerita baru ke dalam lembar kehidupan masing-masing.
Suasana yang dihadirkan berhasil membuat para pengunjung betah untuk berlama-lama menikmati waktu di sana. Bahkan beberapa pengunjung sampai mengurungkan niatnya untuk memesan kopi jika tidak mendapat tempat di halaman belakang. Tak heran, para pengunjung sampai rela mengantri dan menunggu agar bisa menikmati kopi di tempat favorit tersebut.
Karena hidup adalah proses dan hidup adalah perjuangan, Kopi Kultura tumbuh dan berkembang diiringi dengan budaya pertanian yang mereka angkat dengan menekankan Hortikultura pada budidaya kopi sebagai bentuk apresiasi terhadap petani lokal. Tentu saja, lewat Kopi Kultura dan segala proses yang mereka lalui dan upaya yang sudah mereka lakukan sampai saat ini, mereka dapat menciptakan hasil yang baik untuk bersama-sama menuju hal yang positif. [T]