Apa yang menyebabkan Pep Guardiola selalu gagal menjuarai Liga Champions sejak terakhir kali melakukannya bersama Barcelona 2011 lalu? Bahkan dengan skuad-skuad bertabur bintang pun, Pep memerlukan waktu hingga satu dekade untuk bisa kembali lolos ke final.
Beberapa mengatakan, Pep seperti terjebak dalam sikap overthinking-nya sendiri untuk pertandingan-pertandingan besar, terkhusus di kompetisi level Eropa. Pria yang dianggap jenius ini dituding terkadang terlalu memperumit keadaan yang sebetulnya sederhana. Kalau istilah sok Inggris-nya, too clever, too much tinkering. Terlalu banyak membuat kejutan-kejutan taktik dan susunan pemain sehingga paling mentok dari dua tim lain yang ditukanginya setelah Barcelona, Bayern Munich dan sekarang Manchester City, di tahun-tahun sebelumnya hanya maksimal bisa sampai di semifinal.
Tahun ini, Pep seperti menjadi sosok yang sedikit berbeda. Bersama City, dia seolah sudah menemukan ramuan skuad yang konsisten untuk dimainkan di Liga Champions. Final dengan Chelsea, Minggu (30/05) dini hari nanti akan jadi pembuktian selanjutnya bagi pelatih dengan filosofi total football-nya ini.
Istilah Pep yang overthinking bermula dari jurnalis olahraga sekaligus penulis biografi, Marti Perarnau dalam bukunya, Pep Confidential: The Inside Story of Pep Guardiola’s First Season at Bayern Munich (2014). Istilah ini berkaca dari kekalahan telak Munich 0-4 pada laga kedua semifinal kontra Real Madrid di Allianz Arena 2014 silam. Pep disebutkan terlalu terobsesi untuk kreatif dan mempersiapkan pertandingan itu hingga melakukan tiga kali pergantian formasi, sebelum akhirnya memilih formasi yang justru dianggap menjadi biang kerok kekalahan. Perarnau yang memang diberikan akses leluasa di semua aktivitas Pep saat itu menuturkan betapa kecewanya sang pelatih akibat keputusannya yang keliru.
Beberapa pertandingan krusial di Liga Champions, khususnya di fase sistem gugur, yang kemudian juga dihubungkan dengan kebiasaan “berpikir berlebihan” ala Pep ini diantaranya semifinal antara Munich dengan Barcelona pada 2015, semifinal berikutnya antara Munich dengan Atletico Madrid pada 2016, termasuk juga fase sistem gugur yang dilakoninya bersama City ketika Pep justru kalah oleh lawan-lawan yang sebetulnya lebih imperior dari mereka. Beberapa pihak mengiyakan, beberapa lainnya mengeluarkan analisis yang membantah hal itu. Pep dibela sebagai pelatih yang hanya merubah strategi berdasarkan kebutuhan situasi.
Akankah jebakan yang sama dialami Pep saat melawan Chelsea? Apakah hantu masa lalu (istilah yang disematkan media) ini bisa dilewati kembali sebagaimana dia telah mengalahkan kutukan tak pernah melebihi fase semifinal (dengan menyingkirkan PSG), dan City benar-benar menjadi kampiun untuk pertama kalinya selayak-layaknya sebuah tim yang memang ideal dan favorit untuk juara?
“Kami harus meneruskan apa yang sudah kami kerjakan bersama selama bertahun-tahun. Mencapai final Liga Champions seperti menyelesaikan sebuah bagian dari proses yang dimulai sejak empat atau lima tahun lalu. Tim yang layak menang akan menang,” kata Pep seperti dikutip Daily Mail, sembari menambahkan, kegugupan bagi pemain dalam menghadapi partai final pertamanya amatlah normal dan harus tetap dihadapi.
Di semifinal Piala FA April lalu, City kalah 0-1 dari Chelsea. Dan saat keduanya bertemu di Liga Inggris dua pekan lalu pun, The Citizens kembali keok 1-2. Ada yang bilang, hantu masa lalu Pep muncul lagi. Terbukti pada laga yang seharusnya bisa mempercepat langkah mereka mengunci gelar, justru Pep melakukan beberapa rotasi pemain. Seolah yang dihadapi The Blues adalah tim bayangan City. Apakah keputusan itu memang akibat beban overthinking Pep ataukah tudingan ini hanya sebatas label yang diberikan media dan semacam stereotipe saja?
Meskipun menurunkan tim yang beberapa pemainnya dirotasi, City sejatinya sangat merepotkan Chelsea ketika itu. Pep seperti sudah menemukan formula untuk meredam taktik Thomas Tuchel. Sangat jarang tim sekelas City, yang lebih banyak memainkan bola dari kaki ke kaki, justru bermain dengan umpan bola lambung jauh dari lini pertahanan, yang ternyata malah berkali-kali berhasil menembus sektor belakang Chelsea dengan formasi tetap 3-4-3.
Pep kemungkinan akan turun dengan kekuatan penuhnya di pertandingan nanti. Bila di kompetisi lain dia terkadang melakukan perubahan, statistik menunjukkan, selama fase knock out Liga Champions musim ini, City hanya dua kali melakukan rotasi pemain untuk starternya. Selebihnya, komposisi pemainnya nyaris sama. Momen dan ritme yang konsisten ini, selain lini pertahanan yang makin kokoh, juga diyakini sebagai salah satu kunci penentu berhasil atau tidaknya City merebut treble winners musim ini sebagai pelengkap gelar Piala Carabao dan Liga Inggris.
Perubahan pendekatan yang dilakukan Pep kali ini juga dirasakan gelandang Kevin de Bruyne. “Dia (Guardiola) memberikan ruang yang lebih leluasa bagi tim ini untuk bernafas. Mungkin sisi itulah yang dilihatnya berhasil. Aku pikir itulah yang menyebabkan setiap pemain merasa sedikit lebih santai menghadapi situasi ini,” jelas si pemain Belgia.
Sebaliknya dalam tiga pekan terakhir, The Blues memang seolah mengalami masa-masa yang penuh antiklimaks. Kita masih ingat Si Biru sempat begitu dipuji-puji usai berhasil menyingkirkan Real Madrid di semifinal. Tuchel seolah dianggap berhasil menyulap Chelsea yang sedang limbung hanya dalam waktu tiga bulan, dan mencapai dua final dalam dua kompetisi berbeda sekaligus.
Namun alih-alih semakin solid, Chelsea justru takluk 0-1 dari Leicester di final Piala FA. Pada laga penutup musim yang sangat krusial untuk merebut satu tiket ke zona Liga Champions musim depan hari Minggu lalu, tim London ini juga menyerah 1-2 dari Aston Villa. Amat beruntung di partai lain Tottenham Hotspur bisa mengalahkan Leicester sehingga membuat Chelsea finish di urutan keempat klasemen Liga Inggris. Urutan terakhir untuk lolos ke Liga Champions musim depan.
Sungguh, kekalahan itu bukanlah persiapan yang ideal bagi Chelsea untuk menghadapi partai final yang venue-nya dipindahkan dari Istanbul ke Porto ini. Taktik Tuchel dianggap sudah terbaca oleh lawan dan lini depan yang tidak efektif masih saja menjadi kendala utama. Sanggupkah Chelsea menghadapi serangan bergelombang City sebagaimana yang mereka tunjukkan pada dua kemenangan sebelumnya? Apakah final kali ini juga bakal berujung antiklimaks untuk Chelsea dan musim mereka berakhir tanpa satu pun trofi? Atau justru kisah manis pada 2012 bisa terulang sewaktu mereka berhasil mengalahkan Munich di final?
Tuchel, yang di final musim lalu kalah dari Munich bersama PSG, memilih cara lain untuk memotivasi anak asuhnya. Bercermin pada mimpi kanak-kanak. “Ini momen untuk menghubungkan kita dengan sisi kanak-kanak kita dan merasakan kegembiraannya sekaligus di saat yang sama merasakan rasa lapar untuk memenuhi mimpi itu,” serunya kepada Daily Express.
Menarik melihat, di stadion Dragao nanti, lini pertahanan mana yang lebih solid, antara duet John Stones dan Ruben Dias, atau trio Thiago Silva, Toni Rudiger dan Cesar Azpilicueta, begitu juga dengan duel dua pemain muda yang sedang moncer-moncernya di tim masing-masing, Phil Foden dan Mason Mount. Pun secara keseluruhan enak untuk ditunggu, mana yang lebih ampuh, antara City dengan serangan bergelombangnya, atau Chelsea dengan counter attack, dan sesekali juga penguasaan bolanya yang justru berakhir dengan amat membuat frustasi.
Sebab memang, bola itu tidak kotak. [T]