Ada satu tradisi yang lambat-laun makin hilang di Bali. Yakni, mederep. Itu semacam buruh panen dengan sistem bagi hasil.
Di Desa Pedawa, Kecamatan Banjar, Buleleng, tradisi mederep masih ada. Bahkan bagi sebagian warga desa yang mukim dekat sawah, mederep adalah salah satu kegiatan yang ditunggu tunggu.
Ketika saatnya panen sudah tiba, seperti bulan Mei ini, warga yang mederep, ramai-ramai turun ke sawah. Mereka dari pagi pagi buta sudah menunggu kapan diijinkan oleh pemilik sawah untuk memulai ngarit (menyabit) padi, untuk kemudian dipanen.
Biasanya pemilik akan menyuruh warga panen pada saat liis damuh, ketika damuh (embun) pada batang dan daun padi sudah kering. Itu biasanya terjadi sekitar jam 8.
Nah, pada saat mederep, para warga pederep akan berada seharian di sawah, apalagi jika misalnya cutak sawah yang akan memanen terlalu luas. Para warga pederep akan megabro dengan sejumlah teman. Megabro itu megibung atau berkelompok. Satu kelompok bisa berjumlah sampai 5 orang.
Jika hari sudah sore, dan ngarit belum selesai bisa dilanjutkan besok paginya, tapi padi harus semua sudah di-arit/disabit. Besoknya hanya tinggal ngetigang atau memisahkan batang dengan buahnya.
Hingga semua bersih baru boleh mebayaan. Dalam Bahasa Indonesia, mebayaan bisa diartikan dengan membayar. Tapi dalam hal ini, membayar bukanlah dengan uang, melainkan melakukan hitung-hitungan bagi hasil.
Mebayaan itu dimaksudkan membagi hasil panen warga, kemudian diukur oleh pemilik sawah berapa hasil/upah yang bisa didapatkan oleh pihak warga yang mederep dan pihak pemilik sawah. Sekali lagi, upahnya bukan uang tunai, melainkan jijih atau padi itu sendiri.
Besaran upah bagi hasil ini bisa beragam tergantung bagaimana kesepakatan si pemilik sawah dangan warga yang ikut panen atau mederep. Hitungan yang biasa dilakukan adalah 8:1. Pemilik sawah dapat 8, sementara warga yang mederep dapat 1. Tapi ada juga yang pembagiannya 10:1. Sekali lagi, sesuai kesepakatan, dan tidak ada yang merasa dirugikan.
Pembagian biasanya menggunakan ember kecil, kempu (baskom kecil), atau juga jembang (baskom tanggung). Pada setiap hitungan 9 ember, hasil panen itu akan disisihkan satu ember untuk warga yang mederep, dan 8 ember untuk pemilik sawah.
Setelah pihak warga yang mederep mendapatkan bagian, mereka membagi lagi dengan anggota megabro. Semua dibagi rata. Jika megabro anggotanya 5 orang, maka hasilnya dibagi rata untuk lima orang.
Secara budaya, tradisi mederep ini masih bertahan di Pedawa. Para pemilik sawah masih memberikan warga sekitar ikut mederep, dan itu sudah dilakukan secara turun temurun.
Selama masih ada sawah yang aktif, mederep akan tetap bertahan. Warga yang mederep selalu menunggu kesempatan mederep untuk menambah penghasilan, sembari menunggu panen kopi atau cengkeh. [T]