Ketika saya bertanya, mengapa mengambil idiom manisan dalam cerpennya, Desi menjawab bahwa manisan mengandung rasa manis yang menggiurkan. Lalu mengapa setengah gigit? Karena ada rasa yang belum selesai.
Dua pertanyaan inti ini menjadi bahan bakar diskusi buku pada acara Tatkala May May May yang membahagiakan di Rumah Belajar Komunitas Mahima, 22 Mei 2021 petang hingga malam.
Jika anda belum tahu siapa Desi Nurani, saya beri tahu sedikit, Desi adalah seorang penulis yang mengawali karirnya di dunia seni dari membaca puisi dan bermain teater. Dia adalah salah satu aktor utama yang handal di dunia teater khususnya dalam konteks karya-karya Komunitas Mahima yang saya sutradarai.
Setelah menikah, Desi mulai menulis cerpen. Dan bukunya yang ia beri judul Manisan Gula Merah Setengah Gigit, menjadi sebuah rekaman perjalanan pikirannya dan kegelisahannya yang rumit soal berbagai pertanyaan sebagai perempuan.
Suara-suara yang ia temukan dalam pikirannya itu berbuah cerita-cerita yang tak seluruhnya manis, namun menyisakan sebuah tanda tanya besar. Apa di balik rasa manis itu?
Ketika saya pancing mengapa memilih rasa manis, daripada rasa-rasa yang lain, Desi mengatakan rasa manis itu menggiurkan. Barangkali, hipotesa berkembang dari rasa manis itu bahwa setelah menggiurkan ia menjadi candu yang membuat ketagihan, dan seterusnya.
Namun seperti tak puas dengan rasa manis itu, ia juga menawarkan idiom setengah gigit, dengan makna, ada sesuatu yang tak selesai dengan rasa manis itu, ada rasa yang menimbulkan pertanyaan, ada keraguan akan rasa manis itu.
Sayapun bertanya kembali level rasa manis apa yang kita tuju, tentu berbeda. Manis dalam konteks Desi, tentu berbeda dengan manis dalam konteks saya, sehingga pembicaraan soal rasa manis saja akan bisa menghabiskan ratusan ide dalam konteks yang beragam.
Sesungguhnya malam itu, persoalan rasa kemudian menjalar ke seluruh tema narasi cerita. Mengapa sebuah rasa tak pernah selesai, hampir sama dengan idiom setengah gigit, mengapa pertanyaan tak pernah selesai? Khususnya dalam konteks Desi sebagai perempuan yang baru menikah, baru memiliki anak, baru memasuki dunia budaya yang berbeda. Apa yang sesungguhnya ditawarkan Desi?
Desi menjawab bahwa sebagian besar ide ceritanya adalah bersumber dari pertanyaan masa lalu yang disimpannya baik-baik, dikenangnya baik-baik dan dituliskannya kemudian. Dia masih mengingat ketika kecil dulu, dia memiliki banyak pertanyaan yang tak bisa dijawab, tak sempat dijawab, tak selesai dijawab, atau tidak memuaskannya, sehingga ia menjadi terus dikejar oleh pertanyaan itu hingga saat ini.
Dalam cerpen “Menikahkan Pikiran” misalnya sangat banyak hal yang ingin disampaikan Desi terutama soal sebuah lembaga yang bernama pernikahan yang seharusnya menyatukan tak hanya tubuh namun pikiran. Pikiran yang berbeda, tentu tak bisa serta merta bersatu sebagaimana tubuh bersatu, dan ide itulah yang ia simpan tentang ideologi di balik pernikahan. Bahwa apapun yang di masa lalu tak bisa ia jawab, atau tak bisa ia maklumi menjadi bahan bakar tulisannya.
Jadi semua pertanyaan yang belum selesai, atau tak akan pernah selesai, juga menjadi sebuah bekal bagi Desi menjalani peran sebagai perempuan masa kini, antara menjadi istri, ibu, guru, dan bertambah kini, menjadi penulis.
Saya dalam konteks sebagai perempuan yang memandang Desi sebagai bagian dari komunitas yang saya asuh, merasakan bahwa siapapun yang telah berhasil menulis dalam konteks pergaulan dan pertumbuhan kreatif di Komunitas Mahima dan konteks yang terhubung dengannya, menjadi sebuah representasi dari keberhasilan memelihara pertanyaan yang terus tumbuh di dalam diri, mengembangkan pertanyaan itu dan menstimulasi pertanyaan berikutnya.
Dalam diskusi juga terungkap sebuah penawaran dari Desi bahwa ideologi warisan yang biasanya dalam konteks budaya patrilineal menjadi persoalan, menjadi memiliki perspektif lain dalam konteks cerita Desi bahwa perempuan juga bisa memberi warisan berupa cerita dan nilai-nilai. Warisan bukan hanya dimaknai sebagai perspektif fisik, namun juga psikologis. Warisan menjadi unlimited jika berbentuk kisah, pengetahuan atau values. Tak hanya berhenti sebagai warisan, hal ini bahkan menjadi legacy dalam konteks yang lebih luas.
Hal lain yang ditemukan dalam diskusi tersebut adalah soal suara perempuan yang dikemas Desi dalam perspektif gadis kecil yang menjadi narator dalam ceritanya. Ia mengungkapkan pilihan menangkap peristiwa dari sudut gadis kecil karena ia merasa bahwa saat gadis kecil mulai berpikir, saat itulah pertanyaan akan dibawa hingga dewasa, dan boleh jadi bisa menjadi selamanya.
Saya juga mempertanyakan hal-hal lain dalam konteks konstruksi makna dalam perjalanan pikiran seorang Desi. Antara lain bagaimana kontribusi makna keseluruhan proses ini dalam konstruksi seorang Desi. Jawabannya tentu saat ini semua sedang diolah, dipertanyakan kembali dan direfleksikan untuk masa menulis yang lebih panjang.
Sebagai perempuan, saya tentu mendukung segala upaya untuk menumbuhkan pemikiran-pemikiran perempuan, yang terus harus disuburkan dan dirangsang. Pertanyaan dalam diri menjadi adalah akar sekaligus jembatan ke pertanyaan di luar diri, yang terus tumbuh bercabang-cabang dan beranting-ranting, hingga berdaun dan berbuah. Iklim dalam berpikir dan mempertanyakan pikiran menjadi penting dan relevan untuk merangsang karya baru.
Selamat Desi Nurani. Selamat berpikir, bertanya kembali, dan berkarya kembali. [T]
BACA ARTIKEL KADEK SONIA PISCAYANTI LAINNYA: