“Tiang kari nyetir, nganter Bapak kontrol niki!”
Itu jawaban Ni Ketut Renes Mulyani saat dihubungi lewat WA, suatu siang ketika hari sedang cerah. Dan saya lantas membayangkan sebuah gambar hidup seperti pada film-film Indonesia. Seorang gadis desa, duduk di belakang setir, menyusuri jalan-jalan sempit yang asri, di sebuah desa tradisional yang asli, di kiri-kanan rimbun bambu dan tumbuh-tumbuhan endemik bercahaya hijau ditimpa sinar matahari. Di jok belakang, atau di samping Renes, sang ayah duduk dengan sesekali memperhatikan anak gadisnya yang ‘tak diam-diam”. Anak gadis yang berbakti.
Itu mungkin gambaran yang amat-amat berlebihan. Tapi mungkin tidak juga. Desa Pengotan, Bangli, adalah desa yang jadi tempat tinggal Renes. Sebagaimana desa-desa tua di Bangli, Pengotan juga memiliki aura tak biasa – tua tapi cerah, tradisional tapi terbuka, sunyi tapi hidup. Orang-orang yang ada di dalamnya pun tak bakal jauh-jauh dari aura itu.
Salah seorangnya, ya, Renes Muliani. Ia adalah gadis muda dengan kombinasi berbagai karakter zaman. Ia menulis sastra Bali modern. Ia pecinta Bahasa Bali, kuliahnya di jurusan Pendidikan Guru SD di Universitas Hindu Negeri IGB Sugriwa, Denpasar. Sehari-hari ia sibuk main media sosial, bukan untuk pamer wajah, melainkan berjualan; mulai dari jual hasil bumi, buah-buahan, bibit tanaman, pakaian, dan madu asli.
Sehari-hari, pada kegiatan nyata, ia biasa wara-wiri Bangli-Karangasem-Buleleng-Denpasar, untuk menjemput barang dagangan sekaligus mengantar barang. Sesekali ia harus menjemput barang dari kurir ekspedisi karena sejumlah dagangan semacam kain ia pesan dari luar Bali.
“Buah biasa saya ambil di sekitaran Bangli, atau ke tempat paman di Besakih. Bibit tanaman biasa saya ambil di Buleleng, dan kain saya pesan dari luar Bali,” tutur Renes.
Dan di laman media sosial Renes bertebaranlah barang dagangan yang menggiurkan. Manggis, anggur, jeruk, bibit tanaman, juga madu dalam botol. Semua tampak segar sebagaimana wajah Renes.
Pemesannya lumayan banyak. Ada yang jemput sendiri ke tempat Renes di Pengotan, ada yang dibawakan langsung ke rumah pemesan, ada yang dikirim lewat paket. Hasilnya? “Tak banyak, sejuta sebulan lumayanlah,” kata Renes.
Jika melihat laman media sosial Renes dengan gambar-gambar barang dagangan yang mencangkung indah, mungkin netizen tak menduga bahwa Renes Muliani adalah juga pengarang sastra Bali modern yang sedang menempuh pendidikan guru di perguruan tinggi Hindu.
Renes sudah menulis karya sastra sejak ia duduk di bangku SMP di Bangli. Di sekolah ia menemukan guru yang tepat, yakni Alit Juliartha (semoga Alit bahagia di alam sana) dan Pande Jati. Dua-duanya memberi pengaruh besar kenapa ia kemudian menulis karya sastra Bali Modern sekaligus mencintai Bahasa Bali dengan sungguh-sungguh.
Renes masih ingat betul, Alit saat itu memberinya tugas menulis puisi, lalu memberi pembinaan, lalu tumbuhlah kesenangannya menulis puisi, lalu cerpen, lalu yang lain-lain tentang Bahasa Bali. Apalagi ia kemudian bergaul dengan sastrawan Bali di Komunitas Bangli Sastra Komala, lalu Peradah dan KMHDI.
“Setelah kata-kata dari orang tua, maka kata-kata puisi adalah jalan semangat dalam menempuh hidup ini,” kata Renes. Puitis.
Nah, jika gambar barang dagangan tersebar di media sosial, karya-karya sastra Renes tersebar di media massa cetak dan online, seperti Bali Orti (Bali Post), Suara Saking Bali dan Media Bali.
Apakah puisi dan cerpennya secantik dan sesegar buah-buahan yang ditawarkannya di media sosial? Ah, tak bisa dibandingkan. Tapi karya sastra sudah terbukti memenangkan berbagai lomba, antara lain juara ketiga Lomba Cipta Puisi Bali Modern serangkaian Memperingati Bulan Bahasa Bali 2019, juara I Cipta Cerpen PKB XLI 2019 dan Juara III Umum Cipta Cerpen Bahasa Bali HUT MAHASABA 2019.
Nah, sekarang tinggal pilih, mau pesan buah-buahan, kain, madu, atau puisi? Atau diborong semuanya? [T]
_____
BACA ARTIKEL LAIN: