Ini bermula dari sebuah obrolan di depan Indomaret pada sebuah SPBU di jalan Gatot Subroto Timur, Denpasar. Dari tiga minuman dingin dan dua bungkus makanan ringan berbahan kentang, dua orang pendekar sastra Bali modern dari Klungkung yakni Komang Adnyana, dan dari Tabanan, yakni I Gede Putra Ariawan, berbicara tentang masa depan sastra Bali modern.
Sebuah obrolan dengan tema berat yang akan membuat seseorang yang mendengar akan berkata, “puih, jeg top,” dengan bentuk mulut yang unik dimulai dari munju, kemudian mengembang dan diakhiri dengan munju.
Di tengah-tengah obrolan tentang masa depan sastra Bali modern, terselip juga pembicaraan tentang per-CPNS-an, guru penggerak, investasi masa depan, kegilaan-kegilaan yang mesti dipertahankan dan diluluhkan, pariwisata, kapal pesiar, murid nakal, Albert Einstein, guru honorer yang mengabdi belasan tahun, perbedaan PNS dengan pegawai Indomaret hingga uang untuk beli susu anak.
Obrolan dimulai dengan urgensi penerbitan terjemahan sastra Bali modern ke bahasa Indonesia, sebagaimana yang dilakukan Balai Bahasa Provinsi Bali tahun ini, juga terjemahan karya sastra Indonesia ke bahasa Bali hingga sastra asing ke bahasa Bali.
Komang Adnyana mengaku kesulitan menerjemahkan karya sastra asing ke bahasa Bali karena terbentur hak cipta, sehingga ia kini pilih-pilih dengan menerjemahkan karya yang hak ciptanya telah kedaluwarsa.
Namun secara prinsip, mereka menyambut baik adanya penerjemahan asal penyebarannya merata dan bisa dinikmati oleh semua lapisan utamanya bagi siswa-siswi di sekolah yang merupakan penerus bangsa yang harus tumbuh dengan otak cemerlang dan gemilang. Pembicaraan tentang itu ditutup, berlalu dan beralih ke topik lain.
Kemudian obrolan berlanjut dengan pembahasan sastra Bali modern saat ini. Menurut mereka, SBM mulai memasuki masa titik jenuh. Beberapa pengarang yang sempat produktif perlahan mulai kendor karena berbagai alasan, mulai dari urusan keluarga, fokus bekerja bahkan ada yang tak menulis karena alasan laptop rusak.
Alasan yang terakhir sebenarnya alasan yang tak masuk akal dan hanya dibuat oleh orang-orang malas seperti penulis tulisan ini. Masak seorang penulis tak menulis lagi hanya karena laptopnya rusak. Padahal ia bisa saja menulis di atas selembar kertas sebagaimana salah satu hakikat dari menulis, dan nantinya diketik ulang di laptop jika laptopnya sudah baik kembali.
Selain itu, penyebaran karya sastra Bali modern mutakhir juga tak merata. Hanya dinikmati oleh lingkaran-lingkaran itu saja layaknya bagi-bagi jabatan. Putra Ariawan kemudian nyeletuk jika lewat guru penggerak semua itu akan bisa teratasi karena guru penggerak merupakan guru haluan kiri yang tak mengikuti skema yang njelimet.
Komang Adnyana lalu menyela dan mengatakan jika penulis sastra Bali modern saat ini sedang “onani”. Penulis memikirkan ide, menggarapnya, mengumpulkannya, menerbitkannya, lalu merasakan kenikmatan sendiri lalu orgasme.
“Itulah onani yang sesungguhnya, karena ujungnya adalah kenikmatan!” Putra Ariawan menambahinya.
Saat sedang asik dengan kata-kata onani, Komang Adnyana menambahkan seharusnya penulis sastra Bali mutakhir tak hanya bisa “onani”, tapi juga harus bisa “memperkosa” agar penulis tidak hanya sibuk menikmati miliknya sendiri, tapi juga bisa menikmati milik orang lain. Itulah sebenarnya masa depan sastra Bali modern, yaitu bisa “memperkosa”.
Artinya, ia juga bisa melakukan “penetrasi” ke lubang-lubang sastra di luar sastra Bali modern, semisal sastra Indonesia modern, bahkan sastra dunia. Mungkin itu bisa dilakukan lewat penerjemahan. Jadi, selain melakukan terjemahan sastra Bali modern ke dalam Bahasa Indonesia, penting juga dilakukan sebaliknya; sastra dunia diterjemahkan ke dalam Bahasa Bali. Ini bentuk “pemerkosaan” yang paling top.
BACA JUGA:
- Belajar dari Bitcoin | Yuk, Investasi Karya Sastra Bali Modern di Suara Saking Bali untuk Masa Depan yang Gemilang
- Inilah 22 Novel dan Buku Cerpen Bahasa Bali Terpilih untuk Diterjemahkan ke Bahasa Indonesia
Pernyataan penulis sastra Bali modern harus bisa “memperkosa” ini tentu saja mendapat sambutan yang meriah dari para audiens yang hadir selain Putra Ariawan dan penulis, di antaranya hadir juga tukang sapu dari alam semut 2 ekor, cicak yang baru dilantik jadi gubernur 1 ekor, 5 butir debu kepanasan, preman pasar perwakilan kaum nyamuk yang sudah jadi anggota dewan 10 ekor, serta 2 orang makhluk halus yang memiliki kulit kasar. Mereka semua bersahutan saling berlomba mengatakan: setuju!
Tetapi, secara logika hal ini tentu saja benar, karena selama ini karya dari penulis sastra mutakhir kalah tenar dengan karya pendahulunya dan hal ini tidak hanya berlaku untuk sastra Bali modern, melainkan juga (mungkin) untuk karya sastra lainnya. Bahkan jika guru di sekolah bertanya kepada muridnya siapa itu Putra Ariawan dan Komang Adnyana, siswa akan kilang-kileng dan mungkin akan menjawab bahwa Putra Ariawan adalah seorang pegawai PDAM karena setiap bulan pegawai PDAM yang bernama Putra Ariawan itu sering datang ke rumahnya untuk meminta tagihan air.
Dan hal ini akan memiliki cerita yang berbeda jika guru tersebut menanyakan sosok Nyoman Manda, Made Sanggra, atau Gede Srawana kepada muridnya. Tentunya satu dua orang yang setidaknya pernah membuka LKS yang digunakan sebagai pegangan dalam pembelajaran akan tahu.
Ini adalah masalah yang serius, maka harus dijadikan sesuatu yang serius dan jangan dianggap bercandaan. Oleh sebab itu, mulai sekarang, penulis sastra Bali modern seharusnya tak hanya puas dengan “onani”, namun harus mulai belajar “memperkosa”. Mungkin bisa dimulai dengan pelajaran menaikkan rok. Demikian.
Nah itulah sedikit catatan singkat atau sejenis notulen dari rapat panitia super kecil yang dibentuk dan dibubarkan di depan Indomaret. Selamat datang di Indomaret, selamat berbelanja.
Ada tambahan lagi?
Isi pulsanya sekalian?
Ada uang pas?
Kembaliannya mau disumbangkan? [T]
- Baca artikel terkait Sastra Bali Modern dan artikel dari Putu Supartika lainnya