HUT ke-817 Kota Bangli, Senin 10 Mei 2021, ramai dengan wacana. Jauh sebelum Hari H, wacana tentang nama ibukota Bangli muncul di berbagai media massa.
Bangli pun kembali menjadi pusat perbincangan. Jika menjelang HUT ke-815 Bangli, Mei 2019 silam kabupaten yang sejatinya beriklim sejuk ini dibuat hangat oleh wacana munculnya maskot bunga gumitir yang seakan “jatuh dari langit”, kini pemantik wacananya adalah pengusulan nama ibukota bagi Bangli.
Wacana mengganti nama ibukota pertama kali muncul ke publik lewat pemberitaan media pada purnama Sasih Jyestha, 27 April 2021 lalu. Kala itu, saat bersembahyang di Pura Kehen, Bupati Bangli Sang Nyoman Sedana Arta mengatakan ada tiga usulan nama ibukota untuk Bangli. Ketiganya, yakni Arumpura, Prameswarapura, dan Sukhapura diusulkan oleh Puri Agung Bangli, yang diharapkan dapat menjadi spirit baru mengembangkan Bangli ke depan.
Tidak perlu waktu lama setelah wacana itu diumpan ke publik, perbicangan pun menghangat—utamanya di forum media sosial, meski baru sekadar usulan. Tambahan usulan nama kemudian mengemuka, di antaranya Singamandawa serta Mandarapura.
Menanggapi wacana yang semakin meluas, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bangli dan Majelis Desa Adat (MDA) Bangli mengambil langkah sigap. Ketua PHDI Bangli, I Nyoman Sukra dan Ketua MDA Bangli, I Ketut Kayana, bahkan “turun gunung” mengundang sejumlah tokoh masyarakat Bangli merumuskan calon nama ibukota. Usai sowan ke tokoh-tokoh itu, pertemuan yang lebih serius digelar di Kantor PHDI Bangli, tepat pada Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2021.
Pertemuan itu memunculkan setidaknya sembilan usulan calon nama ibukota Bangli. Kesembilan nama itu adalah Ranupura, Mahamretapura, Singamandawa, Chintamani, Wijaya Nagari, Sukhapura, Prameswarapura, Arumpura, dan Raktakarapura atau Raktakayamalapura. Dari sembilan nama yang muncul, forum itu kemudian mengunggulkan tiga nama yakni Ranupura, Wijaya Nagari, dan Raktakarapura. Meski demikian, sembilan nama yang masuk sebagai usulan tidak dihapus, melainkan juga akan dilampirkan dalam naskah yang nantinya akan disampaikan ke Bupati Bangli, sembari menunggu jika ada usulan nama yang lain.
Momentum
Ketika wacana pergantian nama ibukota Bangli mengemuka ke permukaan, saya mendapat banyak pertanyaan esensial yang amat penting: apa urgensi mengubah nama ibukota Bangli sekarang?
Saya sebagai masyarakat awam tentu tidak tahu motif “sesungguhnya” dari wacana itu. Namun, setidaknya setelah googling dan mengamati pemberitaan di media massa, penggantian nama ibukota dianggap sebagai pondasi membangun Bangli yang kuat dan sejahtera. Melalui nama yang baru, Bangli diharap jengah, dan dapat mengelola lebih serius sumber daya untuk kesejahteraan masyarakat. Jika lebih dalam lagi menganalisa, bukan tidak mungkin wacana itu merupakan salah satu langkah “memuluskan” branding “Bangli Era Baru” yang dikibarkan Sedana Arta-Wayan Diar sejak masa kampanye.
Secara politis, “pembangunan” monumen-monumen yang dapat dilihat dengan mata telanjang oleh seluruh masyarakat Bangli sangat diperlukan pasangan bupati-wakil bupati ini. Terlebih, mereka tidak memiliki banyak waktu untuk menunjukkan kerja ke masyarakat yang selama ini menilai pembangunan Bangli “jalan di tempat”. Mereka hanya punya tiga tahun lagi untuk kemudian mengamankan periode kedua pada 2024, menurut rencana Pemilu Serentak. Maka, pilihannya memang hanya menunjukkan karya yang setampak-tampaknya bagi masyarakat.
Namun, bagi saya yang seorang awam, terlepas dari berbagai dinamika yang berkembang di masyarakat, wacana ini penting untuk dikelola. Pemerintah yang membuka diri menerima usulan dari masyarakat patut diapresiasi sebagai bentuk nyata menjalankan demokrasi. Hal-hal esensial semacam ini memang perlu peran masyarakat, tidak sekonyong-konyong ada, seperti jatuh dari langit.
Wacana ini juga dapat menjadi momentum untuk menyatukan langkah dan energi membangun Bangli, mulai dari konsep ke program. Perumusan nama ibukota tentu sebuah merupakan perumusan konsep tentang tata kelola Bangli ke depan. Jika konsep berhasil dirumuskan, PR selanjutnya adalah mengaktualisasi konsep-konsep itu.
Ranupura: Wajah Bangli sebagai Hulu
Dari sejumlah nama yang muncul dalam bursa usulan nama ibukota Bangli, saya secara pribadi mengunggulkan Ranupura. Ranupura muncul dari pembacaan dan perenungan Jero Gede Batur Makalihan. Ranupura berasal dari kata ranu dan pura. Ranu atau danu berarti ‘danau’, sedangkan pura merujuk arti ‘kota’. Maka, secara harfiah Ranupura berarti ‘kota danau’. Lebih jauh, ranu juga merujuk pada salah satu unsur dalam Sadkreti ‘enam elemen alam yang harus dimuliakan’.
Ketika mayoritas nama yang muncul dalam bursa memijakkan kakinya pada kesejarahan Bangli, Ranupura lahir dari proses pengamatan tanda-tanda alam. Ranupura didasarkan pada keberadaan Bangli yang memiliki danau terbesar di Bali: Danau Batur.
Danau Batur yang bentang alamnya menyatu dengan Gunung Batur dan Kaldera Batur secara keseluruhan dapat dikatakan sebagai anugerah semesta yang maha agung bagi Bangli. Evolusi geologi Kaldera Batur yang panjang telah membuat dunia takjub, sehingga kaldera seluas 16 km2 ini ditetapkan sebagai Taman Bumi pertama di Indonesia dan satu-satunya di Bali.
Bagi masyarakat Bali, Danau Batur menyandang dua fungsi strategis, yakni secara ekologis dan kultural. Secara ekologis, Danau Batur diyakini sebagai salah satu kawasan yang sangat penting bagi Bali. Air Danau Batur diyakini sebagai sumber dari sejumlah mata air dan sungai di Bali. Air danau itulah yang menyusui Bali, sehingga Bali bisa hidup dan berlari sebagai destinasi wisata tersohor di dunia.
Secara kultural, air Danau Batur juga telah membangun jejaring budaya yang kompleks di Balidwipa. Entitas Bhatari Dewi Danuh yang berstana di Gunung Batur dengan yoninya Danau Batur diyakini sebagai dewata utama pemegang unsur pradhana atau kebendaan Bali. Melalui berkat dan kasih Bhatari Dewi Danuhlah kesejahteraan dialirkan dari hulu ke hilir. Kepercayaan masyarakat terhadap Dewi Danuh dengan airnya telah membangun sistem pasihan, yakni jejaring desa/subak yang mengorbitkan diri pada Batur sebagai hulunya. Para anggota pasihan Bhatari Batur hingga saat ini pun masih melakoni tanggung jawabnya untuk mempersembahkan sawinih atau sarin tahun saban pujawali di pura tersebut setiap Purnama Kadasa sebagaimana yang tersurat dalam Raja Purana Pura Ulun Danu Batur.
Atas konstruksi konsep tersebutlah, usulan Ranupura sebagai nama ibukota Bangli dapat mewakili entitas Bangli sebagai kabupaten penting yang penopang ekosistem Bali. Bangli adalah kepala Bali. Kepala adalah pusat tubuh, tempat ketenangan maupun kekacauan diciptakan oleh pikiran itu sendiri.
Ingatan-ingatan ini pada akhirnya juga akan menjadi cemeti melihat kekayaan sumber daya alam yang telah dianugerahkan pada Bangli. Berlatar kekayaan inilah, kesejahteraan bagi masyarakatnya dapat terwujud. Bangli Bhukti Mukti Bhakti! [T]
- Esai ini dimuat pertama kali pada kolom “Carikan”, Media Bali, 3 Mei 2021 dengan judul Ranupura dan Pesan-pesan Kesejahteraan.
___
Baca esai lain tentang usulan nama ibukota Bangli