Di sebuah rumah tua di pinggiran Kota Denpasar, Gemini – seorang lansia yang telah dua puluh tahun menjanda tinggal seorang diri. Di tengah kesepiannya, Gemini menghabiskan hari demi hari dengan menjaga dan merawat rumah warisan suami tercintanya. Ia tak kuasa meninggalkan rumah itu, karena begitu banyak kenangan manis yang membekas bersama mendiang suaminya silam. Walau kini kondisi rumah cukup memprihatinkan, ia tetap bersyukur setidaknya masih ada peninggalan yang sangat berarti bagi hidupnya. Tempat yang tidak saja menyimpan kenangan manis dengan alamarhum suaminya, namun juga saksi perjuangan tatkala membesarkan putra tunggalnya seorang diri sejak kecil sampai akhirnya dinyatakan lolos sebagai prajurit siswa di Magelang.
Sore itu, raut wajah Gemini terlihat lebih suntuk dan lesu dari biasanya. Maklum saja, kesendirian hidupnya memaksa Ia harus mengambil seluruh pekerjaan rumahnya seorang diri. Dalam sebuah renungan di pelataran rumah, ia merasa sangat cemas akan keadaan putranya. Sudah tiga bulan lebih setelah dinyatakan lolos mengikuti pendidikan prajurit, ia tak pernah mendapatkan kabar dari buah hatinya itu. Dalam setiap kegelisahannya di malam hari, Gemini hanya mencoba menepi pada alunan bait-bait doa. Ia hanya berserah dan bersandar pasrah pada takdir Tuhan. Malam berganti malam, hari berganti hari dan bulan berganti bulan, tak satu pun kabar yang Ia dapatkan dari mulut putranya semenjak keberangkatannya ke Magelang.
Merasa cukup jenuh dengan lamunannya sore itu, Gemini lantas kembali melanjutkan aktivitasnya menyapu reruntuhan daun-daun kamboja kering yang berserakan di halaman. Saat hendak memasukkan tumpukan kumpulan daun-daun itu ke sebuah karung coklat, handphone-nya berdering kencang. Nomor yang tak dikenal terlihat asing di layar smartphone-nya. Tanpa berpikir panjang dan penuh curiga, Gemini langsung mengangkat telepon itu.
“Hallo ibu,,,, ini Bagus. Aku tak punya banyak waktu, Senior hanya memberikan waktu tidak lebih dari 1 menit saja”. Ibu, aku akan wisuda tiga hari lagi, aku mohon Ibu datang. Ibu jaga kesehatan ya”- ujar pria yang merupakan putra tercintanya.
Mendengar kalimat singkat dari putra tercintanya itu, Gemini terlihat sangat sumringah. Wajahnya memerah matanya pun berkaca-kaca. Walau tak sempat berbalas kata, namun lontaran kabar dari putranya itu meyakinkan batinnya bahwa putra semata wayang nya masih hidup. Maklum saja sudah tiga bulan lebih, curiga dan prasangka bergelora di pikirannya. Kecemasan senantiasa mewarnai setiap malamnya. Gemini lantas bergegas kembali pada bait-bait doa mengucap syukur kehadapan Yang Kuasa yang telah memberi jawaban atas pertanyaan cemasnya selama ini. Setidaknya, ia yakin Bagus masih hidup.
Dua hari kemudian, Gemini menuju Magelang via Jogja dengan pesawat paling pagi ditemani ibu kandung dan ibu mertuanya yang cukup sepuh. Selama ini, ibu kandungnya tinggal bersama kakak laki-lakinya dan ibu mertuanya tinggal bersama ipar perempuannya. Gemini sengaja mengajak ibu dan mertuanya agar dapat menyaksikan langsung dari dekat upacara pengukuhan cucunya. Bandara Adi Sucipto Jogja pagi itu cukup lengang hanya ada beberapa petugas yang berjaga di gerbang kedatangan. Selepas landing, Gemini tak ingin menghabiskan waktu senggangnya untuk berkeliling Kota Jogja. Ia memutuskan bergegas langsung menuju Kota Magelang sambil mencari penginapan, karena Upacara Wisuda Prajurit bakal digelar esok harinya. Pikirannya hanya tertuju pada Magelang dan tak sabar untuk bertemu serta mengajak pulang putra tercintanya balik ke rumah seusai wisuda besok. Berselang satu setengah jam lamanya menempuh perjalanan darat dari Bandara Adi Sucipto Jogja, Gemini akhirnya tiba di salah satu penginapan sederhana tak jauh dari Kompleks Akademi. Ia sengaja memilih penginapan yang dekat dengan lokasi acara agar tak terlambat di hari yang sangat spesial itu.
Keesokan harinya, Gemini terbangun sangat pagi. Dari semalam tidurnya tidak begitu nyenyak. Saking bersemangat akan bertemu dengan putra tercinta, hampir setiap dua jam tidurnya terbangun. Pagi itu menunjukkan pukul 08:00 Gemini akhirnya sampai di Gerbang Utama Akademi – gerbang dengan pasangan batu alam berwarna gelap terusun sangat rapi dan megah. Para petugas bersenjata lengkap melakukan pengecekan surat kelengkapan para orang tua wisudawan. Setelah selesai dengan urusan adminitratif, Gemini yang tampil dengan busana coklat bercorak batik memegang erat kedua Ibu tercintanya berjalan kaki menuju sebuah lapangan utama yang cukup luas dan indah. Di hamparan rumput hijau yang membentang rapi itulah, Upacara Wisuda Prajurit akan dilaksanakan dan dipimpin langsung Komandan Diklat.
Gemini panik menoleh ke kanan dan ke kiri, hatinya berdebar kencang walau sesekali terlihat bingung. Di lapangan itu, tak satupun terlihat para calon wisudawan.
“Dimanakah anakku ini?? Bagaimanakah rupanya saat ini?? ”- tanyanya dalam hati.
Ia lantas memutuskan mencari tempat duduk di tribun sisi utara. Suasana tribun utara terlihat cukup lengang tak banyak diisi oleh para undangan.
Tak berselang lama, gemuruh suara Marching Band berkumandang, teriakan ratusan remaja berseragam loreng menggelegar. Mereka berteriak, bernyanyi sambil sesekali melakukan atraksi. Dari kejauhan Gemini tak menemukan yang mana putranya, karena seluruh prajurit remaja itu bertopeng cat hitam di wajahnya. Gemini hanya bisa duduk manis sambil melihat satu demi satu tahapan ketrampilan para prajurit. Ada yang turut dalam instrumen marching band, ada sebagian yang memperlihatkan atraksi bela diri dan tembak menembak, serta beberapa yang lain mempertontonkan atraksi meluncur bebas dari ketinggian.
Langit Magelang hari itu cukup bersahabat dan jalannya acara berjalan dengan lancar. Selepas atraksi, Para remaja membentuk barisan memanjang dan Komandan Diklat melakukan pengecekan barisan bersama satu orang ajudan. Di akhir acara, Komandan Diklat memberikan sambutan sekaligus menutup pendikan dan pelatihan tahap pertama para prajurit sembari mengingatkan agar para senantiasa menjaga kepribadian, dedikasi serta menjunjung tinggi etika dalam jiwa pengabdiannya pada negara.
“Apa saudara siap???” tanya Komandan dengan suara lantang.
Seluruh prajurit pun menjawab dengan tegas dan kompak, SIAP!!!!!
Air mata Gemini pun sontak tak dapat dibendung, Ia tak menyangka jalan hidup putranya menjadi seorang prajurit pembela kedaulatan tanah air. Ia memegang erat tangan ibu dan mertuanya sambil berkata: “Aku Bangga.”
Dalam hati Gemini tak kuasa menahan gelombang rasa yang bercampur dalam sanubarinya. Perasaan sedih, senang, bangga, dan kawatir menjadi satu. Janji setia pada Tanah Air dan Merah Putih yang disampaikan, membuat Gemini pilu sedikit cemas. Ia sadar hari ini putranya telah mengarungi jalan pengabdian bagi persada dan Merah Putih tercinta. Ia pun mencoba menerima bahwa kelak putranya lebih mendahulukan urusan bangsa dan negara daripada kebersamaan dengan dirinya.
Acara pengukuhan wisuda prajurit telah dinyatakan selesai dan para undangan bersiap untuk bertemu langsung dengan para prajurit yang diwisuda. Gemini dan kedua ibunya tak sabar turun dari tribun menuju lapangan untuk bertemu langsung putra tercintanya yang tiga bulan lebih tak dapat dilihatnya. Namun tak disangka, pertemuan dengan putranya tak segampang yang dipikirkan. Dari ratusan prajurit yang berbaris, mereka berseragam sama, berukuran tubuh yang sama, serta ditutupi oleh warna wajah yang sama. Para orang tua dan keluarga yang hadir dengan perlahan dan teliti memeriksa satu persatu prajurit yang berdiri serta memastikan bahwa satu diantara barisan itu adalah putra atau putrinya. Raut wajah Gemini kembali terlihat sangat cemas dan bersedih, Ia belum menemukan dimana Bagus berada. Kecemasannya memuncak tatkala satu dua orang tua yang berdesakan dengannya dengan bahagia telah menemukan dan memeluk hangat para putranya. Gemini makin bingung dan panik, kenapa putranya tak ketemu.
Di sebuah deretan nomor dua paling ujung lantas Gemini berdiri tepat di sebuah remaja landung, dengan perlahan Ia membaca nama didada prajurit itu dan sontak Gemini teriak:
“Anakku Bagus, Ibu kangen, Bagus, Bagus, Bagus,,”
Bagus pun dengan air mata yang tak bisa dibendung berujar: “Ibu,,, Bagus baik-baik saja,,,, Ini semua kupersembahkan untukmu”
Gemini dan anaknya enggan melepas pelukan. Wajar saja anak semata wayangnya ini adalah pertaruhan pembuktian dirinya sebagai seorang Janda. Prestasi, karir dan jenjang pendidikan merupakan hal penting dan mendasar bagi Gemini guna menunjukkan buah hasil perjuangan dirinya seorang diri membesarkan putranya. Bagus lantas bersujud di kaki ibunya dan memeluk erat kedua nenek tercintanya.
Hari itu Gemini sangat bahagia dengan pencapaian putranya. Di dalam khayalnya, dia merasakan mendiang suami tercintanya berdiri di sebelah dirinya turut memeluk erat Bagus yang membanggakan itu. Gemini lantas tak sabar untuk mengajak Bagus ke penginapan dan segera pulang ke Bali. Tak berselang lama, suara pengumuman tersiar dengan sangat keras melalui corong udara di pojok lapangan.
“Bapak/Ibu para orang tua, waktu yang tersedia hanya lagi 3 menit saja. Kami informasikan bahwa putra putri Bapak/Ibu akan melanjutkan pendidikan selama tiga bulan ke depan dan kami harap Bapak/Ibu para orang tua segera berpisah dengan putra/putrinya dan selanjutnya dipersilahkan bergegas meninggalakan lapangan ini melalui gerbang selatan” – Itulah pesan tegas yang diberikan oleh Petugas Diklat.
Gemini begitu terpukul dan terkejut dengan pengumuman itu. Ia tak menyangka esok akan balik ke Bali tanpa putra tercintanya. Ia harus kembali memendam rindu selama tiga bulan lagi. Air matanya tak berhenti mengalir. Bagus lantas meyakinkan ibunya dengan penuh keyakinan:
“Ibu,,, sabarlah,,, Aku akan berdoa dengan khyusuk di setiap malamku agar ibu senantiasa diberi kesehatan. Tenang dan ikhlaskanlah diriku di sini melanjutkan pendidikan. Aku janji akan datang dengan kemenangan dan membanggangkan dirimu”.
Gemini mencoba tegak dan tabah. Langkah kakinya terasa berat kembali pulang ke Bali tanpa Bagus di sisinya. Dalam perjalanan menuju Bandara pada hari itu juga, Gemini hanya melamun terdiam di dalam mobil. Ibu dan mertuanya sesekali menyemangati dirinya, walau tak bisa dipungkiri kekecewaan dan kesedihan tampak di raut wajahnya.
Akhirnya Gemini harus menunggu tiga bulan lagi dan menepi pada bait-bait doa. Perasannya bercampur antara sedih dan bangga. Dia bangga saat putranya mencium bendera Merah Putih, namun di satu sisi bersedih saat harus tinggal kembali di gubuk tua itu seorang diri. [T]