Penulis puisi adalah magnet. Segala peristiwa ditarik dan dipilah. Sepenuhnya penciptaan realitas hanya ada dalam mesin imajinasinya yang menghasilkan kontruksi psikologis berupa puisi. Dalam hal ini, puisi bekerja sebagai medium pertukaran realitas. Sakit hati ditukar dengan larik puisi, kerinduan ditukar sajak liris, dan luka duka dibalas romantik. Hal itu bisa disepakati sebagai magnetisme personal. William Atkinson menerangkan bahwa magnetisme personal ini sangat berkaitan dengan kesadaran, daya tarik mental, pengaruh pribadi, pesona, emosi, dan ide estetis. Kedua antologi terbitan Mahima Intitute ini tentu akan menarik minat pembacanya.
Pada antologi Sepasang Paket Pertemuan karya Putri Adityarini dan antologi Nanti, Kau Ingin Nama Anak Kita Siapa? karya Manik Sukadana, bila disandingkan dapat menciptakan pola-pola kesadaran magnestis personal. Di antaranya (1) kesadaran menarik peristiwa (2) kesadaran mengolah emosi, dan (3) kesadaran estetis. Ketiga hal ini memicu pembaca memasuki ingatan penulis tentang kriris diri, keraguan, juga kesabaran. Hal inilah yang menjadi magnestis personal seorang penulis puisi. Proses penguraian ingatan itu tentu dilakukan secara sadar oleh kedua penulis ini. Putri Adityarini dan Manik Sukadana mempunyai teknik dan rasa estetisnya sendiri. Cara kedua penulis merawat mental, dan mengeram penderitaan juga berbeda.
Pada antologi puisi Sepasang Paket Pertemuan karya Putri Adityarini, diksi yang dihadirkan begitu ramah, sabar, dan santun. Tidak ada niatan untuk mengingkari kaidah kebahasaan. Nampak jelas ranum peristiwa kemanusiaan yang ditariknya. Sedangkan puisi-puisi Manik Sukadana menawarkan hal-hal misterius. Masih ada peluang yang luas untuk diinterpretasikan. Contoh pada puisi berikut,
Kaki-kaki mereka serupa mata kail
tertancap kuat pada tanggul-tanggul penjaga pantai
atau pada mulut ikan
hasil tarian para nelayan (Anak-Anak Pelabuhan , hal.1)
Puisi Anak-Anak Pelabuhan ini hasil dari Putri Adityarini membidik ingatannya. Kemudian dengan kesadaran, emosi diolah menjadi diksi yang matang dan jelas acuannya. Berbeda suasananya dengan diksi-diksi dari Manik Sukadana,
Kutuangkan tetes permata.
Suap tawa. Jeda melampau.
Sudahkah bulir bintang itu mencapai ujung rambut
lautmu?
Hanya aku yang tak tahu (Hidangan Pertama, hal.6)
Pada puisi Hidangan Pertama terlihat Manik membidik ingatan yang penuh tanda tanya, pertanyaan, dan pernyataan yang kerap dihadirkan. Di sini pembaca ditarik untuk menerka-nerka pesan apa yang hendak disampaikan penulis. Terlebih pada puisi Mi-Nah-Pi-Di-To,
Mi
Pada air botol plastik tumpah itu, ada bening kebaikan hati daun jati. Terkuak aroma purba yang juga tersimpan dalam pekat sumur bor penuh sesak, terserak.
Memenuhi ruang selaput tipis (Mi-Nah-Pi-Di-To, hal. 29)
Puisi ini mengandung daya tariknya. Estetika puisi ini terlihat dari penamaan judul dan sub judul. Pembaca diberikan ruang luas dalam menginterpretasikannya, puisi ini sangat personal, hanya penulis yang mengetahui relitasnya. Sementara puisi Adityarini kuat dengan emosi yang matang, diksi yang kuat.
Kamboja-kamboja tua di rumah kita tengah mencoba menawar harga waktu
pada penjual jarum jam di ujung jalan agar lebih banyak kanak-kanak mencuri teduh daunannya (Sajak Pagringsingan II, hal.53)
Daya tarik puisi ini sangat terlihat ketika penulis piawai mendeskripsikan detail peristiwa. Tidak terlalu banyak idom yang dipaksakan. Larik kanak-kanak mencuri teduh daunnya merupakan diksi magis yang membuat pembaca ditenangkan dan diberikan ruang bernapas. Sementara itu, kesadaran mengolah emosi berusaha ditampilkan oleh Manik Sukadana pada puisi Perasaan Aneh Itu.
Apakah itu?
Mampu mendobrak masa kanak-kanak. Membangun luka. Menamai pikiran.
Melampaui jiwa. Membangunkanku. Menidurkanku. Di manakah itu?
Seperti mimipi, keindahan dan kengerian menjadi tak terkendali.
Mencumbui setiap permintaan. Kapankah itu?
Aku tidak tahu. Ia seperti cinta. Ada setiap saat. Siapakah itu? (Perasaan Aneh Itu, hal.34)
Dalam puisi ini Manik seperti disesatkan oleh emosinya, hingga bermunculan pertanyaan kontemplatif ini. Inilah daya tarik yang dihadirkan Manik. Pembaca diajak mempertanyakan hal-hal janggal di hidupnya. Pertanyaan dan pernyataan atas keragu-raguan itu tidak banya hadir dalam puisi Adityarini. Namun, puisi Kotak Kaca Masa Lalu mampu menghadirkan nilai estetis rima dan kenyamanan suasana nostalgia kanak-kanak.
sesekali kami atur siasat
agar jangkau tangan-tangan kecil kami
pada rasa manis paling jujur
yang pernah dirasakan hidup (Kotak Kaca Masa Lalu, hal.23)
Pada kutipan ini penulis menggugah mental pembaca dengan menghadirkan kenangan masa kanak. Bahasa yang efektif dan inutuitif. Puisi-puisi Putri Adityarini mengalir dan menentukan muaranya. Elemen air yang sangat terasa. Sejuk, menenangkan. Sedangkan Manik Sukadana mengajak pembaca bermain teka-teki, magis, misterius. Elemen udara terasa. Tidak bisa dikekang, tidak bisa ditentukan segera bentuknya.
Hal menarik lainnya, kedua antologi ini memuat puisi perjalanan.
pergimu, ibu membuat pulangku
tak akan sama lagi terasa
atau aku yang belum cukup tahu siapa di antara kita
yang benar-benar pergi
atau yang sudah benar-benar pulang (Pada Suatu Perjalanan Menuju Negara, hal.39)
Puisi Adityarini ini mengingtakan kita pada makna mendasar dari kepulangan. Kata pulang bermakna luas. Pulang sebagai rumah, atau pulang yang berarti wafat. Olahan emosi kepergian ini membuat pembaca tergugah hatinya untuk menyadari makna kepergian. Sejalan dengan itu, pada puisi Perempuan dalam Bis 2, Manik membidik persitiwa dan emosi seorang perempuan di bis.
Kubayangkan,
ia selalu melakukan pemberhentian itu pada kamar dan
lelaki yang membuat wajahnya terlihat tua.
Kemudian memandu alam yang menyewanya.
Terpuaskan. Tertidur. Terbangun. Terulang. (Perempuan dalam Bis 2, hal.33)
Perempuan di dalam bis, melakukan pemberhentian dan pengulangan. Hal-hal romantisme perjalanan. Mesin Imajinasi Manik bekerja sangat cekatan pada fase ini. Pembaca bisa merasakan peristiwa dan makna tentang kejenuhan pengulangan aktivitas, atau sekadar menyadari bahwa kita tidak akan pernah benar-benar berhenti selama masih dalam fase perjalanan dan pengulangan.
Masing-masing antologi memiliki magnetisme personalnya. Puisi Putri Adityarini mekar dengan keseimbangan menakar emosi, mengolah peristiwa, dan memberikan estetika rima. Sementara itu, Manik Sukadana dengan berani menawarkan ide estetis dalam pembuatan judul, sub judul, hingga teknik penulisan puisi. Harapan kedepan tentu masih dibentangkan. Banyak celah yang masih bisa dikupas dan diupayakan hadir. Masih banyak ranah yang perlu diberikan ruang dan kehadiran tema lebih terbuka. Tidak terjebak pada persoalan personal, perjalanan, dan nostalgia. Sebagai magnetis personal puisi ini sudah berhasil, dan akan menarik banyak pembacanya. [T]
- Artikel ini disampaikan dalam acara Mahima March March March di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Minggu 7 Maret 2021