Awal tahun 2021 boleh jadi awal yang berbeda untuk Teater Kalangan. Bagaimana tidak? Untuk pertama kalinya setelah melangkah lima tahun dari kelahirannya, kelompok ini merealisasikan satu agenda yang sebenarnya sudah cukup lama diwacanakan. Agenda yang menurut orang lain bisa jadi tak memiliki arti seistimewa seperti yang kami –atau paling tidak, saya– rasakan.
Sebelumnya kami memang memiliki banyak kesempatan untuk bertemu, berkumpul, dan berkegiatan bersama. Namun rekreasi (sambil rapat agenda tipis-tipis) di Ubud pada 1-3 Januari lalu jadi semacam suntikan energi baru lagi untuk kami. Perjalanan ini baru sebentar, usia kelompok pun masih sangat muda. Namun saya merasa rentang waktu itu sungguh padat bagi Kalangan. Bahkan untuk rekreasi pun, baru bisa direalisasikan setelah lima tahun kami bersama, hahahaha… Tak apa, toh juga semua akan terjadi kalau sudah sampai pada waktunya, jadi mari kita syukuri saja.
Seperti saya bersyukur ada di lingkaran ini. Bagi saya yang pemalas ini, punya teman-teman seperti Kalangan, adalah hal yang mahal. Sebab dari mereka saya dengar dan tau hal-hal baru di dunia persilatan ini. Tapi pernah juga beberapa kali merasa hilang dan tersesat di tengah obrolan sebab saya benar-benar tidak menemukan konteks apa yang sedang dibicarakan. Tentang tokoh yang entah siapa, metode yang bagaimana, pementasan oleh siapa, dan semacamnya. Rasanya berdosa sekali. Saya jadi meragukan keteateran dalam diri ini. Letaknya sebelah mana, ya?
Kemudian saya sadar bahwa apa yang mereka tahu dan pahami, adalah buah dari proses belajarnya selama ini. Kalau ternyata saya tidak tahu, berarti saya belum belajar sampai sana. Jika saya ingat-ingat lagi, saya memang belum secara penuh menaruh prioritas pada bidang ini, pada Kalangan. Walaupun sudah terlibat di sebagian besar pementasan, tak serta merta membuat saya menjadi “teater”. Saya belum benar-benar belajar dan menyelaminya lebih dalam. Dulu saya mungkin sempat mengelak untuk mengakui bahwa Kalangan memang ada di urutan sekian, tetapi seiring waktu, saya menyadari dan mengiyakan bahwa selama ini saya tidak benar-benar fokus untuk menjalaninya.
“Lalu kau ingin mendaku diri sebagai apa?” tanya Suma pada suatu kesempatan.
Sulit sekali menjawab pertanyaan itu. Tapi satu yang pasti, saya tidak berniat untuk menjadi sutradara. Ini juga yang membuat saya merasa berat hati ketika Kalangan akan mengagendakan Mulang Muruk, dengan menunjuk beberapa anggotanya untuk menyutradarai pementasan. Apalagi, pementasan ini digadang-gadang jadi representasi dari apa yang telah kami dapat dan pelajari sejak menjadikan diri sebagai bagian dari Kalangan. Double kill untuk saya. Sadar bahwa saya belum tahu apa-apa, lalu diharuskan menjadi sesuatu yang tidak saya minati. Hmmmm, berat sekali.
Namun, ya, kejelasan bahwa saya tidak berminat jadi sutradara, memang tidak cukup menjawab pertanyaan sebelumnya. Saya ingin jadi apa, ya?
Barulah setelah pertemuan di awal Januari itu, saya menjadi lebih yakin untuk membawa diri ini ke arah mana. Beberapa hari setelah pertemuan itu, saya sempat menonton kembali beberapa dokumentasi pentas tahun-tahun sebelumnya. Malah jadi senyum-senyum sendiri. Sempat juga merasa ingin memperbaiki situasi karena sadar harusnya adegan itu bisa jadi adegan yang lebih baik. Saat itu saya merasa ada percikan yang meletup kecil di dalam diri. Seperti merasakan lagi nikmatnya bermain peran dan menjadi tokoh yang lain.
Di Kalangan sendiri, saya memang biasa mengambil peran sebagai aktor atau pimpinan produksi juga dalam beberapa kesempatan. Belajar jadi aktor, adalah hal pertama yang membuat saya jatuh hati dan memutuskan untuk berada jalur teater, sehingga mempelajari lagi tentang bidang ini, saya pikir adalah jawaban untuk pertanyaan di atas. Namun, ketika saya tahu minat ini cenderung ke arah mana, ternyata muncul juga rasa tidak percaya diri itu. Karena saya merasa belum punya pegangan, belum punya dasar yang kuat, dan metode yang pasti untuk menggali dan mengeksplor keaktoran itu.
Dalam keseharian di luar teater, saya bekerja di sebuah media jurnalisme warga di Bali. Di sini, saya berperan sebagai koordinator di bagian kerja sama dan komunikasi. Saya juga menjadi penanggung jawab untuk beberapa program dan kegiatan. Kelihatannya kerja-kerja ini memang tidak berhubungan dengan apa yang saya jalani di teater. Atau jangan-jangan hanya saya yang menganggap bahwa kerja-kerja di dua jalur ini tak pernah ada persinggungan? Sehingga lama pula saya merasa adanya missing link di antara keduanya. Sekian lama saya tidak bisa menemukan satu titik yang menjadi penghubung atau titik temu antara dunia teater dan dunia kerja yang saya geluti. Kecurigaan lainnya adalah, jangan-jangan cara saya memaknai teater lah yang keliru selama ini?
Dari kendala-kendala yang saya temukan, saya pikir teater itu hanya saya pandang sebagai kerja-kerja panggung yang radarnya diaktifkan untuk tujuan pertunjukan saja. Lalu ketika tidak dalam rangka pertunjukan, ke manakah dia? Disadari atau tidak, ternyata saya meletakkan teater itu di tempat yang lain dan terpisah dengan diri saya. Sehingga ketika berada di luar jam latihan yang telah disepakati, ia tidak dilatih, dipupuk, dan diperkaya, dan membuat saya tidak bisa melihat titik temu antara teater dengan realitas serta narasi-narasi yang terjadi dan berkelindan di sekitarnya, salah satunya di dunia kerja itu.
Harapan saya, tahun ini bisa mengasah ketajaman teater dalam diri saya. Agar bisa melihat lebih jelas lagi titik temu itu, sehingga kerja-kerja yang saya lakukan di kedua jalur ini bisa saling menguatkan satu sama lain. Bagaimana caranya? “Mari coba lebih peka lagi,” kata saya pada diri. Langkah selanjutnya, kita cari lagi nanti. [T]