Belakangan di media sosial, terutama pada akun-akun media sosial bernapaskan Hindu, terlihat kerap ada video dharmawacana sliwar-sliwer dan disebarkan berkali-kali dari laman ke laman.
Video itu biasa-biasa saja, digarap dengan sangat sederhana sebagaimana kebanyakan video dharmawacana Hindu yang bisa dibuat oleh siapa saja, di Bali atau di sejumlah tempat di Indonesia. Tapi kenapa video itu banyak dibagikan berkali-kali, dan mendapatkan banyak komentar dari nitizen?
Apakah karena yang melakukan dharmawacana itu seorang gadis muda, cantik, berpakaian kebaya sederhana dengan bija di keningnya? Tampaknya bukan karena itu. Di Bali banyak gadis muda jago berdharmawacana, banyak yang berparas cantik pula, tapi tak terlalu luar biasa sambutan dari nitizen di media sosial. Biasa-biasa saja.
Lalu apa istimewanya video dharmawacana yang kita bicarakan ini?
Dharmawacana ini istimewa dan mendapatkan perhatian besar dari penikmat media sosial, mungkin karena kombinasi gambar dan bahasa dalam video itu masih dianggap unik. Dalam video itu ada seorang gadis muda, berbusana ke Pura sebagaimana layaknya gadis Hindu, ada bija di keningnya, dan wajahnya sangat nusantara.
Gadis itu adalah Nitya Yuli Pratistha. Ia lahir dan tinggal di Tegal Rejo, Desa Jarak, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang, Jawa Timur.
Nitya, begitu kemudian gadis itu dipanggil, dalam dharmawacananya berbicara dalam Bahasa Jawa. Bukan Jawa Kuno, tapi benar-benar Bahasa Jawa, yakni bahasa yang biasa digunakan dalam pergaulan sehari-hari di desa-desa di Jawa. Meski dalam video yang lain gadis itu kerap juga menggunakan Bahasa Indonesia, tapi logat dan dialeknya tetaplah sangat terasa amat Jawa. Itu mungkin yang dianggap menarik, terutama oleh nitizen di Bali.
Saya pun jadi penasaran. Lewat akun facebook bernama Kerta Bumi, saya mendapatkan nomor WA Nitya. Kerta Bumi, selain akun yang menayangkan sejumlah video Nitya di youtube, juga aktif membagikan video itu di media sosial lainnya seperti di grup-grup facebook.
Saya menyapanya lewat WA, berbasa-basi, lalu minta bercakap-cakap tentang video dharmawacana itu. Nitya adalah gadis yang santun dan hati-hati dalam menjawab menjawab pertanyaan saya, bahkan kadang kata-kata yang diujarkan terasa jauh lebih matang dari usianya.
Inilah nukilan-nukilan percakapan itu:
- Sejak kapan Nitya menjadi pe-dharmawacana?
Sebenarnya saya bukan pe-dharmawacana, saya masih belajar. Masih belum bisa disebut sebagai pedharmawacana.
- Kalau begitu pertanyaan saya ubah. Bagaimana ceritanya tertarik belajar dharmawacana?
Saya mengawali bidang dharmawacana dimulai sejak usia 16 tahun, waktu itu saya mengikuti lomba UDG (Utsawa Dharma Gita) lintas kecamatan. Kecamatan Wonosalam, Kecamatan Kandangan dan Kecamatan Kasembon (di Kabupaten Jombang). Di situ saya astungkara mendapatkan juara tiga dalam bidang dharmawacana. Awalnya saya sempat tidak yakin mengikuti lomba tersebut, tapi berkat dorongan dari kedua orang tua akhirnya saya maju mengikuti lomba. Dan berkelanjutan ke tahun berikutnya.
- Lalu, setelah itu mulai tertarik menekuni dharmawacana hingga di Pura?
Ketertarikan saya, di sini saya pribadi bisa memberikan sedikit pencerahan kepada orang lain dengan pengetahuan saya yang terbatas. Bagi saya beryadnya yang paling mulia adalah berbagi pengetahuan meskipun tidak banyak asal bisa bermanfaat. Akhirnya saya memutuskan untuk menekuni bidang ini dengan pemahaman saya yang terbatas dan dibantu kedua orang tua saya
- Dari mana mendapatkan materi-materi untuk dharmawacana?
Kalau materi semua orang pasti dari buku terlebih dahulu, namun buku hanyalah digunakan sebagai pemahaman materi yang akan dibawakan (bukan hanya saya), lalu bagaimana kita bisa menjelaskan materi tersebut dengan bahasa kita sendiri, mengolah pikiran kita dengan pegangan dari buku tadi.
- Yang lain, misalnya belajar cara mengelola pola pikir, gensture, mengolah kata, intonasi, menguasai panggung, dan sebagainya, dari mana belajar seperti itu?
Dari diri sendiri dan dibantu orang tua. Bagi saya bagian tersulitnya adalah bagian mengolah kata, karena setiap kata yang akan saya ucapkan harus berhati-hati, jangan sampai nanti menyinggung orang lain nanti efeknya ke diri saya sendiri. Menjadi seorang pe-dharmawacana menurut saya harus mengasah keberanian dalam diri terlebih dahulu sebelum tampil di depan orang banyak. Awalnya memang susah tapi semakin terbiasa pasti akan mudah. Anggap semua audien adalah orang tua kita sendiri.
- Wah, top itu. Apakah media sosial, atau sejenisnya juga menjadi tempat belajar?
Kalau media sosial bisa juga dibuat sebagai media belajar. Apalagi di jaman sekarang ini teknologi juga sudah maju jadi mempermudah untuk proses belajar. Kalau saya menggunakan media sosial untuk tempat belajar, saya akui, iya. Terutamanya media sosial youtube di situ banyak pedharmawacana yang sudah hebat, bisa jadi panutan saya bagaimana cara menyampaikan materi ketika di depan umat agar lebih terasa.
- Saat dharmawacana, mana lebih asyik menggunakan bahasa Jawa atau Bahasa Indonesia?
Kalau saya nyaman dengan keduannya. Bahasa Jawa saya gunakan ketika canda gurauan. Bahasa Indonesia saya gunakan untuk menyampaikan keseluruhan materi saya. Bahasa Jawa juga saya gunakan sebagai bukti kalau saya berasal dari Jawa, dan kodratnya orang Jawa di manapun itu jangan meninggalkan nilai leluhurnya termasuk bahasa Jawa juga nilai leluhur yang masih ada sampai sekarang dan sampai kapan pun itu. Sebagai bukti juga kalau saya bangga menjadi orang Jawa.
Sangat juga bangga menjadi Hindu, bagi saya Hindu itu damai, sejuk, indah jika di resapi. Sama halnya seperti agama lainnya juga. Saya juga mengagumi agama non Hindu. Kebetulan di Jombang tempat saya tinggal terkenal dengan sebutan Kota Santri, itu menambah kebangangan saya menjadi orang Hindu Jawa. Karena apa? Di luar sana banyak orang yang kagum dengan Hindu lalu kenapa saya tidak bangga dengan Hindu, yang notabene agama yang saya peluk sejak lahir. Hindu tidak bisa dijelaskan dengan kalimat atau bahasa apapun.
- Bisa bahasa Bali?
Bahasa Bali saya tidak bisa, mungkin hanya pengucapan terimakasih saja yang saya bisa. Maklum saya bukan orang Bali, hehehe
- Apa belajar juga dari pe-dharmawacana dari Bali? Misalnya belajar soal gaya atau apa?
Kalau itu saya belum pernah, saya masih belajar dari pendharmawacana Jawa saja, seperti Pak Miswanto. Beliau pendharmawacana hebat, panutan bagi saya. Pak Putu Gede Suardana juga.
- Siapa beliau itu?
Beliau-beliau adalah pedharmawacana dari Jawa Timur juga. Panutan saya, guru saya juga
- Kalau dihitung-hitung, sudah berapa kali dharmawacana di depan umat yang banyak?
Saya?
- Ya
Kalau saya berdharmawacana di depan umat sudah lebih dari delapan kali, belum kehitung waktu ikut lomba. Ketika ikut lomba kan juga di depan banyak umat.
- Oh, ya ya. Di Pura apa saja Nitya ber-dahrmawacana?
Di tempat saya di Pura Giri Anjasmoro, juga di Pura Guna Dharma, Pura Amerta Buana, Pura Kertabumi Gresik. Yang lainnya saya lupa nama Pura-nya heheheh.
***
Nitya Yuli Pratistha hidup di daerah cukup terpencil. Dari Desa Jarak, tempat tinggalnya, dia harus menempuh waktu sekitar dua jam untuk sampai di kota Kecamatan Wonosalam. Lebih jauh dari, untuk ke ibukota di Jombang ia harus menempuh waktu sekitar 3 jam dengan melewati banyak desa dan hutan di pinggir jalan, melewati tempat wisata juga.
Nitya yang lahir di Kediri, 26 Juli 2000 itu tinggal bersama ayahnya, Sumilir, dan ibunya Eko Warti Ning Tyas. Ia juga punya adik perempuan, Puja Agni Pratistha.
Desa tempat ia tinggal berada di daerah pegunungan. Kata Nitya, penjual makanan saja tidak ada, ada hanya tetangga. Kalau orang bilang masuk daerah sini seperti berada di pinggir jurang. “Kalau hujan dingin banget. Sejuk udaranya, banyak pepohonan, dekat dengan sungai,” kata Nitya.
Sebagaimana layaknya anak-anak di desa, Nitya memiliki masa kanak-kanak yang indah. “Masa anak-anak saya dulu, saya sering banget main sama anak seumuran saya, di situ kami sering bertengkar atas hal sepele hehehehe. Mandi di sungai, pulang sekolah jalan kaki bareng-bareng kalau ada mobil truk dan pickup lewat selalu dikasi tebengan hahaha,” ceritanya.
Cerita lucu, ia pernah juga ngompol di dalam kelas karena ketakutan melihat guru marah sama salah satu temannya di kelas. “Waktu masih TK saya nakal banget, jajan harus banyak, gak mau beli sekalian terus buat nanti, maunya beli yang baru. Kalau difoto ndak pernah bisa senyum. Banyak masa kecil yang sudah saya lewati. Sekarang sudah besar-besar semua malu kalau mengingat masa kacil dulu,” katanya.
Masa remajanya bagaimana? “Masa remaja saya ketika memasuki SMP saya suka tidur kalau guru sedang menjelaskan. Apalagi kalau waktunya bahasa Jawa, di situ banyak teman-teman saya yang sampai ketiduran pulas,” kenangnya.
Ketika belajar kelompok bukannya belajar malah main ke sawah. “Tapi di situ saya sangat menyukai pelajaran agama dari kecil sampai remaja dan sampai sekarang saya sangat menyukai pelajaran agama. Dan ketika memasuki remaja ya biasa anak remaja pada umumnya, mulai mengenal yang namanya cinta monyet,” katanya.
Hehe. Cinta monyet memang ada di mana-mana.
***
- Oh, ya, Bapak katanya seorang pemangku di Pura. Bagaimana Nitya memandang sosok ayah?
Iya betul ayah saya seorang pemangku, saya biasa memanggil beliau dengan sebutan Bapak. Beliau dan ibu saya adalah orang yang selalu menemani saya dalam berproses dari tahun 2016 sampai sekarang. Bapak saya adalah guru saya, setiap materi yang akan saya bawakan (dalam dharmawacana) saya diskusikan dengan beliau. Lalu beliau membantu menyempurnakan kalimat saya yang kurang pas. Bapak dan ibu saya adalah orang pertama yang berada di belakang saya untuk mendorong saya, berada di depan saya ketika banyak orang yang ingin menjatuhkan, berada di samping saya untuk selalu menemani saya dalam berproses sehingga mendapatkan hasil seperti sekarang tidak luput bimbingan dan arahan dari beliau.
Bapak saya yang selalu mengajarkan kepada saya nilai-nilai dalam Hindu, menuntun saya bagaimana cara menjadi pedharmawacana, yang selalu mengingatkan bahwa kalimat yang akan saya sampaikan jangan sampai menyinggung orang lain. Bapak saya orang pertama yang menegur saya ketika saya menyimpang dari ajaran dharma. Untuk bapak dan ibu yang selalu menemani saya dalam berproses, saya belum bisa memberikan apa-apa melebihi pengorbanan dan perjuangan beliau, tapi hasil ini bukan untuk saya, ini untuk kedua orang tua saya.
Apresiasi dari banyak orang bukan untuk saya, tapi di berikan kepada orang tua saya. Saya tidak bisa memberikan materi, tapi dengan ini saya bisa mengangkat derajat orang tua saya, yang mungkin pernah direndahkan oleh orang lain, dan sekarang bisa mendidik anaknya menjadi suatu mahakarya yang tidak pernah dibayangkan.
- Wah, sungguh senang mendengarnya. Selain dengan keluarga, bagaimana pergaulan Nitya di luar, terutama dengan orang-orang yang berbeda keyakinan?
Di Wonosalam ada tiga agama, yaitu Kristen, Hindu dan Muslim. Kami sangat hidup rukun, saling bertoleransi, menghargai satu sama lain. Tidak pernah membedakan apa agamamu ketika kita sudah berkumpul menjadi satu.
- Secara formal Nitya belajar agama Hindu di sekolah umum?
Iya waktu saya SD saya sekolah di sekolah umum, di situ pelajaran agamanya seputar dasar keyakinan agama Hindu atau Panca Sradha.dan hanya diajarkan tentang doa dan beberapa materi seperti Tri Kaya Parisudha, Tri Hita Karana. Waktu itu keterbatasan guru agama juga.
- Di SMP bagaimana?
Kalau di SMP kebetulan saya masuk SMP yang masuk wilayah Kabupaten Kediri. Di situ banyak pengalaman soal agama. Di SMP di sana banyak praktek membuat jejahitan juga, semua tentang Hindu diajarkan di SMP tersebut.
- Terus, SMA?
Kalau SMA saya ikut kejar paket C programnya pemerintah bagi yang tidak bisa melanjutkan sekolah. Di situ sekolah umum juga kalau soal pendidikan agama tidak ada jadi setelah SMP saya belajar agama hanya dari bapak saya dan dibantu buku buku yang saya punya.
- Kenapa Nitya saat itu tak melanjutkan ke SMA umum?
Waktu itu saya pernah melanjutkan ke SMA di Malang, baru dua bulan saya keluar karena saya tidak betah tinggal di asrama. Dan akhirnya memutuskan ikut kejar paket C
- Nitya tak ada rencana melanjutkan kuliah?
Nggih saya ada rencana melanjutkan kuliah. Tat astu svaha kalau tak ada halangan dan Tuhan menghendaki.
***
Nitya Yuli Pratistha ingin melanjutkan kuliah di sebuah perguruan tinggi Agama Hindu yang ada di daerah Jawa Timur. Ia punya cita-cita menjadi guru agama Hindu. Agar Hindu semakin berkembang terutama di Kabupaten Jombang sendiri. “Awignamastu kalau tidak ada halangan dan Tuhan memberikan ijin tahun ini saya akan masuk kuliah,” katanya.
Dan atikel ini punya harapan besar agar pembaca yang dermawan bisa membantu untuk memperlancar tercapainya cita-cita Nitya Yuli Pratistha… [T]
___