Hujan gerimis menjelang sore ketika kabut putih terlihat di atas bukit hutan kintamani. Di situ ada sebuah desa. Di desa itu konon terdapat tanaman pisang dengan buah yang lezat tiada dua. Biu bali dan biu susu. Pisang bali dan pisang susu.
Timbul keinginan untuk menyibak kabut dan menemukenali lewat cerita dari pelaku nyata tentang melegendanya pisang susu dari desa itu. Pisang bali dan pisang susu yang tak ada di swalayan, yang tak sepopuler jenis-jenis pisang modern dari Thailand. Tapi melegenda.
Itulah pisang bali dan pisang susu dari Desa Siakin, desa di tengah bukit Kintamani, Bangli itu.
Alam memang penuh dengan misteri dan kebaikan ketika saya berhenti di sebuah jalan tanjakan miring, saya lihat seseorang berdiri di teras pondok. Seorang nenek. Namanya kemudian saya tahu, Ketut Rasa, 67 tahun usianya.
Saya langsung memanggilnya Dadong Ketut. Perkenalan saya dan Dadong Ketut pun terasa seperti cucu dengan neneknya padahal baru bertemu. Kekhasan sapa penduduk di pegunungan memang penuh kesederhanaan dan kehangatan.
Biu bali dan biu susu menjadi obrolan hangat di tengah isem atau kabut berteman kopi yang disangrai sendiri oleh Dadong dan dipetik dari kebunnya sendiri juga. Sangat mewah memang. Dadong Ketut Rasa adalah salah satu pelaku yang berkaitan erat dengan biu bali dan biu susu dri Siakin.
Ya. Sangat kebetulan, Dadong Ketut Rasa adalah pedagang biu bali dan biu susu sejak ia masih kecil. Ceritanya mengalir tentang bagaimana biu bali dan biu susu siakin, tentang betapa disukainya pisang itu oleh para pembeli.
Pisang bali yang dimaksud di Desa Siakin mirip seperti pisang atau biu gedangsaba, bentuk buahnya bersegi-empat, tapi warga di situ mengatakan pisang itu bukan pisang gedangsaba sebagaimana banyak ditemukan di desa lin di Bali. Pisang susu, tentu saja semua tahu. Itu pisang dengan lingkar kulit tanpa segi. Ada bitnik-bintik hitam, bahkan kadang banyak noda hitam pada kulit buahnya.
Hampir setiap hari Dadong Ketut Rasa membawa dagangannya, mulai jam 06.00 pagi, dari Siakin ke Pasar Desa Les, Tejakula, Buleleng. Dan tiga hari sekali ke Pasar Desa Penuktukan dengan membawa hasil pertanian, yang pasti pisang bali dan pisang susu.
Memang, sejak saya kecil di Deswa Les, biu susu dan biu bali siakin sudah sangat terkenal karena mempunyai tekstur legit, awet, bisa di biarkan sampai 10 hari, dan tidak benyek.
Kata Dadong Ketut Rasa, 20 tahun yang lalu adalah saat-saat terakhir ia berjalan untuk memasarkan pisang susu dan pisang bali ke Desa Les. Harganya masih satus ringgit atau sekitar Rp.250. Sekarang di petani satu butir sudah Rp.1.000, kalau di pasar sudah pasti lebih.
Angka yang fantastis terlebih dari dulu harga pisang susu dan pisang bali siakin ini sangat tinggi,mengalahkan varian pisang yang lain.
Dadong Ketut Rasa bercerita dengan semangatnya tentang pisang bali dan pisang susu di desanya. Tak lupa saya diajak ke kebun.
Di kebun saya menemukan pohon pisang bali. Sangat beruntung pisang itu baru berbuah sejak 5 bulan kalender bali (satu bulan = 35 hari). Kurang beruntungnya, ya, buahnya belum matang. Diperkirakan akan matang dua bulan lagi.
Di kebun saya bertemu saudagar pisang di Desa Siakin, Nyoman Sumatra. Usianya kira-kira 50 tahun.
Laiknya kisah anak di Desa Siakin yang belajar ilmu dagang dari orang tuanya, Sumatra naik turun berjalan kaki lewat gege ( bukit terjal) ke Desa Les dan Desa Penuktukan yang jaraknya, kalu dihitung bolak-balik sekitar 30 kilometer. Ia berjalan sembari memikul keranjang berisi pisang. Terkadang bermalam di rumah warga di Desa Les atau Penuktukan kalau musim hujan/ “Tapi kebanyakan perjalanan bolak-balik,” kenangnya.
Kenapa kalau ngomongin biu susu dan biu bali di wilayah Tejakula, mungkin juga di wilayah Kintamani, identik dengan Desa Siakin?
Sumatra menjawab dengan sangat polos sesuai dengan yang ia lakukan sebagai petani dan pedagang pisang. Rasa pisang bali dan pisang susu siakin memang spesial, banyak faktor semisal kondisi geografis, yakni kondisi tanah, ketinggian dan tanah tak terlalu dingin. Biu itu bisa juga berkembang di daerah lain tapi rasa pasti tak akan sama dengan pisang susu dan bali yang tumbuh di Siakin. Di tengah pandemi yang hampir setahun berlangsung ini, harga pisang ini per butirnya malah tambah mahal, katanya.
Pisang susu dan bali dari Desa Siakin juga pernah mengalami masa kritis, hampir punah, seperti punahnya jeruk tejakula. Sepuluh tahun lalu penyakit membuat kisah pisang legenda ini hampir tinggal cerita. Tapi semesta memang bekerja dengan banyak keajaiban, beberapa umbi pisang susu dan pisang bali siakin memunculkan tunas dan kembali bisa dikembangbiakan.
Apakah pisang susu dan pisang bali dari Siakin ini pernah diteliti tu dikembangkan oleh pemerintah atau lembaga tertentu?
Sumatra dengan senyum santai sambil berseloroh mengatakan, pemerintah belum pernah ada penelitian atau apapun terkait pisang susu dan bali yang menjadi idola di pasar pisang lokal ini. Padahal, jika diteliti, mungkin saja pisang susu dan pisang bali dari Desa Siakin ini bisa menjadi komuditi unggulan di Bali, mengalahkan pisang jenis impor yang banyak ditemukan di swalayan.
Apakah pisang bali dan pisang susu ini perlu dibuatkan Surat Edaran alias SE? Haha.
Memang, bicara soal produk lokal, semacam pisang susu dari Siakin ini, tentu masalah waktu dan jumlah produksi menjadi hambatan untuk masuk dunia industry.
Untuk mendapatkan hasil maksimal, pisang ini membutuhkan waktu panen yang lama, dan tak bisa ditanam dalam jumlah yang banyak. Tapi mungkin itulah yang menyebabkan pisang itu jadi enak, lezat dan unggul.
Sejak muncul embud (bakal buah) dibutuhkan 6 bulan kalender bali (6 X 35 hari) agar siap dipanen. Kalau pisang biasa saja mungkin setengahnya. Dan dalam pekatnya kabut sebelum saya pamit, Sumatra berkata: biu bali dan biu susu siakin sing ade ngalahang (pisang bali dan pisang susu Siakin tak terkalahkan di tengah gempuran pisang thailand.
Kalau banyak-banyakan, jelas pisang siakin kalah sama pisang thailand. Tapi, industri memerlukan sesuatu yang banyak dan terus-menerus. Sementara, pisang susu Siakin, meski enak, tapi panennya lama juga tak bisa banyak. Tapi justru itu pisang siakin, atau jenis tanaman lokal lain perlu diteliti dengan baik.
Siapa tahu bisa dikembangkan: rasanya tetap enak, panennya bisa lebih cepat, dan tanamnya bisa banyak. Siapa tahu. [T]
- Editor Adnyana Ole