Saya ingin menjadi anak yang baik: tapi dalam proses teater, saya harus merumuskan kembali, seperti apa anak yang baik? Dan siapa orang tuanya? Lalu saya ditampar khayalan sendiri: membayangkan diri menjadi seorang bayi—dalam kandungan kelompok—yang tidak bisa membedakan diri sendiri dan ibunya; bayi yang tumbuh dalam kandungan, tanpa memikirkan makanan yang enak; baju yang tepat; dan dunianya kelak. Tapi, setelah sembilan bulan, bayi akan lahir, lalu mulai merasakan keterlemparannya—mulai cemas atas banyaknya pilihan; cemas atas keinginan yang rumit; dan cemas atas masa depan tanpa garansi. Tapi, itu persis menunjukkan bahwa bayi telah hadir sebagai dirinya.
Tulisan awal tahun sebelumnya saya baca lagi dan terasa jauh tak menyentuh diri, terasa saya melihat teater dari tepi langit—seolah dekat namun sedikit pun tak tersentuh; tidak basah oleh apa yang saya bicarakan. Lalu, saya menimbang langkah yang harus diambil: memandang teater dengan kacamata ketiga sehingga saya merasa menjadi bayi dalam kandungan, atau memilih cara untuk basah: dan saya memilih yang kedua.
Setalah membaca catatan proses; mengingat latihan; mengingat pementasan; saya seperti tergelitik, sebab terkadang salah menerjemahkan apa yang terjadi pada diri saya; hal ini harus segera diatasi! Katakanlah ketika saya membaca catatan awal tahun sebelumnya—begitu pula mengingat proses—saya terjemahkan dengan kacamata pesimis, “Oh, saya memang tidak mampu, saya tidak bisa,” padahal bila saya tejemahkan dalam bahasa yang optimis, perasaan itu juga masuk dalam kategori yang optimis itu, lalu saya bertanya, “di mana letak salahnya?” Untuk sementara, saya sepakat dengan jawaban “bahasa”.
Saya harus memperkaya kosakata, sebab saya sering keliru atas pemaknaan. Semisal ketika merasa bahagia, saya terjemahkan sebagai senang, padahal dua hal itu berbeda: sehingga detail perasaan senang meracau detail perasaan bahagia yang dialami tubuh. Dan parahnya, ketika menerjemahkan perasaan bahagia—situasi tenang dan penuh penerimaan—sebagai lesu.
Peristiwa itu sangat mungkin terjadi karena keterbatasan kosa kata dan pengetahuan, dan hal ini menyaratkan saya agar piawai menggunakan alat sekaligus paham fungsinya; sebagaimana cangkul, sabit, dan traktor digunakan petani; sebagaimana palu, pahat, dan pisau mutik digunakan tukang ukir; begitu pula dengan bahasa, fisik, pikiran dan perasaan digunakan oleh aktor.
Ada hal penting yang—setidaknya menurut saya—mesti dituju, meskipun mustahil tapi usaha menemukannya akan memperkaya keaktoran, dan saya percaya itu: mengenal yang otentik melalui bahasa. Dalam hal ini, sikap seolah-olah menjadi pemula adalah jalan penting, sebagaimana melihat sesuatu pertama kali. Tapi, pemula dalam segala hal adalah kemustahilan dan mungkin hanya terjadi pada seorang bayi dalam artian harfiah. Tetapi, sikap “seolah-olah” menjadi pemula dalam segala hal memungkinkan kita untuk melihat sesuatu pada lapisan makna yang lebih murni dan kesadaran itu tidak praktis; maka ketika momen itu telah tercapai, saya harus menangkapnya, lalu menerjemahkannya dalam bahasa.
Sikap seolah-olah ini saya sejajarkan dengan sikap terbuka yang pada latihan olah tubuh menjadi salah satu hal yang disasar: kesadaran paling jujur, setidaknya jujur dengan diri sendiri, mampu mengenal lalu mengawetkannya dalam kulkas bahasa, sehingga latihan itu benar-benar menjadi milik diri yang berbeda dengan tubuh-tubuh lain dan dari sana saya menyadari: latihan tubuh dan latihan fisik adalah hal yang berbeda. Tubuh dapat dipahami sebagai keseluruhan—berkaitan dengan pikiran dan perasaan—dan fisik adalah jasmani itu sendiri.
Napas menjadi bagian penting dalam olah tubuh, sebab menyangkut pikiran yang seperti belut; bergerak lincah, cepat, bahkan cenderung susah ditangkap. Menyadari napas akan sangat membantu untuk menangkap belut pikiran itu; latihan napas mulai saya lakukan belakangan, sebab sadar, napas di panggung akan berbeda dengan napas sehari-hari, latihan ini saya mulai dengan latihan menyadari napas paling tidak lima menit: ketika beranjak bangun dan sebelum tidur. Mungkin pada kesempatan selanjutnya saya harus belajar mengaturnya: saya belum tahu. Hal-hal seperti ini biasanya akan berlanjut, berubah, atau berhenti setelah bertemu dengan orang-orang tertentu.
Tapi panggung sangat kompleks, tidak hanya soal napas; juga berkaitan dengan menonton dan ditonton. Ada kalanya aktor mengiklaskan diri sebagai objek yang ditonton dan sebaliknya, ada kalanya aktor berperan sebagai penonton. Tidak mudah bagi saya menyadari kedua hal ini, mengiklaskan diri menjadi objek, bagi saya adalah ketulusan mempersembahkan. Seperti ibu-ibu di pagi hari menghaturkan sesajen di berbagai titik. Mungkin bagi orang yang baru melakukan kegiatan ini terasa berat: setiap hari memotong daun, mengambil nasi secuil, lauk secuil, lalu dihaturkan keliling.
Namun, kebiasaan memberi jalan masuk untuk ikhlas. Saya ingat bagaimana awal latihan gerak bersama almarhum Suprapto Suryodarmo, untuk menggerakkan tangan dan mengangkat kaki saya ragu, untuk mengatakan “thank you” punmulut sangat gagu. Tapi, pembiasaan membuat saya iklas melakukannya, begitu pula ketika latihan mengakrabi tubuh; awalnya saya bingung untuk bergerak, bahkan cenderung malu, namun perlahan saya leluasa, saya terbiasa, meskipun kualitas yang dicapai belum seberapa.
Pada tahun 2020 saya tidak berharap banyak, tapi banyak yang saya dapat—setidaknya saya merasa begitu. Program Dini Ditu Kalangan salah satunya; program ini membuat saya berlatih menepati waktu, tidak ada jadwal yang mundur, justru sebaliknya. Sebab, Program ini mengharuskan saya belajar menggunakan piranti medsos yaitu live instagram, meskipun saya mengenal fitur ini sejak lama, tapi saya baru menggunakannya pada program ini.
Saya mengasuh program Tilik Titer—sub program Dini Ditu Kalangan. Tilik Titer adalah diskusi secara daring antara saya dengan pelaku tetaer di luar Bali. Program ini mengajarkan saya lebih terbuka dengan media sosial; mengajarkan saya memperhatikan penonton maya yang berada di antara; dan mengenal proses pelaku teater di luar Bali seperti: Andy Eswe, Aleksander Gebe, Wanggi Hoed, dan Roy Julian.
Pada tahun 2021 saya ingin mengulanginya lagi—tidak berharap banyak, tetapi belajar mengenal dan menggunakan piranti-piranti dalam dan—kalau memungkinkan—piranti-piranti luar keaktoran. Saya hanya bisa berharap tahun ini memberi kesempatan untuk saya mencapai target itu; sekaligus kesempatan untuk merawat mental dan fisik, karena sebagaimana pun saya berusaha mengenali piranti keaktoran, saya masih membutuhkan pertemuan. [T]