Tak banyak kabar terdengar, Putu Bagiada, yang dikenal sebagai Bupati Buleleng periode 2002-2007 dan periode 2007-2012, kini sudah menyandang status sebagai bhawati untuk kemudian menjalani proses belajar menjadi Sri Mpu, atau sulinggih dari keluarga besar Pasek.
Upacara munggah bhawati dilaksanakan dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat di Puri Celukbuluh, kawasan Lovina, Buleleng, Sabtu, bertepatan dengan Tumpek Landep, 13 Februari 2021.
“Upacara (munggah bhawati) dilakukan Sabtu malam,” kata Jro Putu Sandiarta, perwakilan keluarga, Minggu (14/2/2021).
Kini mantan Bupati Buleleng yang cukup terkenal pada awal reformasi itu disebut dengan nama Ida Bhawati Pasek Dr Drs Putu Bagiada MM. dan istrinya dipanggil dengan nama Ida Bhawati Pasek Istri Dra. I Gusti Ayu Nyoman Sayang.
Ada tiga nabe atau guru yang mendampingi Ida Bhawati Putu Bagiada dalam menjalani proses belajar, yakni Ida Pandita Mpu Nabe Putra Dwi Tantra sebagai nabe/guru napak, Ida Pandita Mpu Nabe Istri Dwi Daksa sebagai nabe saksi, dan Ida Pandita Mpu Nabe Jaya Putra Pemuteran sebagai nabe waktra.
Nabe napak sebagai guru yang melahirkan putra, nabe waktra yang memberi pelajaran, nabe saksi yang sebagai pengontrol sejauhmana kurikulum sudah disampaikan kepada sisya oleh guru waktra.
Upacara munggah bhawati Sabtu malam juga dihadiri Ida Bhawati Pitana Mekarsari yang juga mantan Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran I Kementerian Pariwisata Ri.
“Ida Bhawati Dr Drs Putu Bagiada MM. Selamat atas upacara munggah bhawati yang sudah berjalan lancar. Dengan pengalaman sebagai Bupati Buleleng selama 10 tahun, pastilah banyak pengalaman yngg bisa di-sharing kepada umat”. Demikin ucapan selamat yang disampaikan Ida Bhawati Pitana melalui laman facebook.
Jalan Panas Menjadi Bupati
Munggah bhawati yang dilakoni Putu Bagiada tampaknya bakal menambah makin banyaknya deretan mantan pejabat dan kepala daerah yang menjadi sulinggih. Ida Bhawati Pasek Dr Drs Putu Bagiada MM. dikenal sebagai Bupati Buleleng pertama setelah masa reformasi.
Keberhasilan Putu Bagiada sebagai kepala daerah pada “masa-masa politik yang panas” di Bali Utara itu memang dilalui dengan jalan keras dan berliku-liku. Pada periode pertama, 2002-2007, ia terpilih melalui sidang pemilihan kepala daerah di DPRD Buleleng, Selasa 7 Mei 2002. Sidang itu sendiri berlangsung ricuh.
Dalam sidang itu, Putu Bagiada yang berpasangan dengan Gde Wardhana memperoleh 25 suara. Mereka mengalahkan pasangan Nyoman Sudharmaja Duniaji dan Nyoman Sudiana yang hanya memperoleh 18 suara. Namun kericuhan terjadi karena Nyoman Sudharmaja yang saat itu sekaligus menjadi pimpinan sidang tak mengakui kemenangan Bagiada-Wardana.
Kemenangan Bagiada-Wardana saat itu memang bisa dianggap mengejutkan. Pasalnya, berdasarkan hitung-hitungan di atas kertas, pasangan Sudharmaja-Sudiana yang diusung Fraksi PDI-P bisa memang dengan mudah, karena jumlah anggota Fraksi PDI-P saat itu lebih dari setengah jumlah keseluruhan anggota DPRD. Tapi nyatanya, Bagiada-Wardana menang perolehan suara.
Sempat terjadi protes diwarnai demo dari massa dan kader PDIP, namun Bagiada-Wardana akhirnya tetap disahkan menjadi Bupati dan Wakil Bupati.
Pada Pilkada Buleleng 2007, Putu Bagiada mencalon diri lagi menjadi Bupati Buleleng. Kali itu, ia berpasangan dengan kader PDIP Buleleng Made Arga Pynatih. Yang menarik, jika pada periode pilkada pertama ia melawan PDIP, pada pilkada kedua ia justru diusung oleh PDIP.
Pada Pilkada tahun 2007, pemilihan bukan lagi melalui sidang DPRD, tapi sudah mamsuk pada sistem pemilihan langsung. Artinya perjuangan Bagiada tentu lebih berat, namun ia tetap menang. Putu Bagiada-Made Arga Pynatih memperoleh kemenangan dengan 112.033 suara, atau 36,18 persen.
Ia mengalahkan tiga pasangan calon lainnya, yakni Jro Nyuman Ray Yusha-Ni Putu Febri Antari yang meraih 81.373 suara atau 26,28 persen, Nyoman Sugawa Korry-Luh Kerthianing meraih 68.064 suara atau 21,98 persen, dan Made Westra-Ketut Englan meraih 48.102 suara atau 14,56 persen.
Seperti juga pada pilkada sebelumnya, kemenangan Bagiada-Arga Pynatih juga tetap mendapatkan protes dari lawan-lawannya. Suasana politik saat itu menjadi riuh dan panas, bahkan diwarnai dengan kasus-kasus pembakaran tempat publik di sejumlah desa. Meski ada riak protes, Bagiada-Arga Pynatih tetap disahkan menjadi Bupati dan Wakil Bupati untuk periode 2007 hingga 2012.
Pada Pilkada 2012, meski jabatannya sudah bakal berakhir dan tak boleh mencalonkan lagi sebagai kepala daerah, ia tetap punya urusan dengan dunia politik yang panas dan keras. Pada Pilkada 2012 itu, anaknya, Gede Ariadi dipasang untuk menjadi calon Bupati Buleleng berpasangan dengan Wayan Arta.
Ariadi-Wayan Arta maju dengan diusung Partai Golkar serta sejumlah partai lain, melawan pasangan Agus Suradnyana-Nyoman Sutjidra yang diusung PDIP. Kita tahu, Ariadi-Arta kalah dalam pilkada itu, dan Agus Suradnyana-Sutjidra melenggang jadi Bupati Buleleng hingga sekarang.
Mulailah apes menimpa Putu Bagiada. Setelah anaknya kalah, ia sendiri menjadi tersandung kasus korupsi usai mengakhiri masa jabatannya sebagai bupati. Setelah usai menjalani masa hukuman, kabarnya tak banyak terdengar, apalagi dalam dunia politik, karena ia lebih suka menyepi di Puri Clukbuluh, sembari belajar masalah agama.
Sesekali namanya disebut-sebut lagi dalam panas dunia politik, misalnya dikutip-kutip dalam urusan dukung-mendukung calon kepala daerah, baik pada Pilkada Buleleng maupun pada Pilgub Bali. Namun tampaknya ia tak tertarik lagi msuk dunia politik.
Putu Bagiada ternyata lebih tertarik masuk dalam hening pengetahuan agama. Setelah belajar “diam-diam” sejak lama, ia pun memutuskan munggah bhawati dan belajar secara serius untuk menjalani proses sebagai sulinggih – orang suci yang akan menyebarkan pengetahuan agama pada umat.
Semoga lancar selalu, Ida Bhawati. [T]