Seorang filsuf besar di Athena, Socrates—dalam rangka membuktikan salah satu kebenaran ajaran filsafatnya di ruang pengadilan tempat ia akhirnya dijatuhi hukuman mati dengan meneguk segelas minuman hemlock—sempat menyampaikan bahwa kebijaksanaan tidak dapat ditemui dari seorang yang berprofesi sebagai penyair, pemahat, dan pelukis. Andai Socrates lahir di jaman yang berbeda atau masih hidup sampai sekarang dan tinggal di Bali—terlebih bila mendapat kesempatan mengikuti perjalanan kami (tim Gurat Institute) menemui Ida Bagus Sena di studionya di Tebesaya, Ubud, Bali, pada hari Senin, 1 Februari 2021—mungkin ia akan mengubah kesimpulannya.
Bagi Socrates, kebijaksanaan sejati terkandung pada pengetahuan bahwa diri kita tidak tahu apa-apa. Dengan itu saya rasa saya cukup tepat jika menyebut Ida Bagus Sena sebagai orang yang bijak. Pasalnya hampir setiap jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang kami lontarkan tentang karya-karyanya dan kesehariannya banyak ia awali dengan amat rendah diri, “Niki sampun, tyang nak belog.. (itu dah, saya orang bodoh/ tak tahu apa)”. Walaupun selanjutnya Tu Aji (sapa kami kepada Ida Bagus Sena; sapaan untuk orang Bali yang berasal dari golongan Brahmana) sendiri dapat menyampaikan pengetahuan-pengetahuannya secara fasih kepada tim Gurat.
Dalam pertemuan singkat sekitar 4 jam itu, rombongan kami—diantaranya pak Wayan Seriyoga Parta, Made Susanta Dwitanaya, Asok Nagara, Putra Wali Aco, Totok Hariyono, I Kadek Wiradinata, Putu Yoga Satyadhi, dan saya—beberapa kali dibuat takjub oleh penyampaian Tu Aji terkait pemikiran-pemikiran yang telah mengantarkan beliau pada segala pencapaiannya yang penuh kedalaman secara visual dan maknawi, serta kesungguhan pada tiap proses berkaryanya. Soal karya-karya Tu Aji sendiri nanti akan dijelaskan lebih lanjut oleh guru-guru saya di Gurat Institute dalam buku tentang Ida Bagus Sena yang rencananya akan diterbitkan dalam waktu dekat.
Memang terkesan cukup cepat untuk menerbitkan buku lagi, mengingat pada bulan Desember tahun 2020 lalu kami baru saja menerbitkan buku “I Gusti Made Deblog, Master Seni Lukis Naturalis Denpasar Bali”. Namun tidak berarti Gurat sedang terburu-buru. Kurang lebih sama seperti riset tentang Deblog yang telah dimulai sejak tahun 2014, riset tentang Tu Aji ini telah dimulai sejak tahun 2018 oleh salah satu founder Gurat, Wayan Seriyoga Parta yang akrab kami sapa Pak Yoga. Namun riset tersebut mulanya Pak Yoga lakukan untuk kebutuhan menulis dalam porsinya sebagai kurator pameran tunggal Tu Aji di Museum Puri Lukisan pada pertengahan tahun 2018.
Memberi label “orang bijak” pada Tu Aji saya rasa belum cukup untuk menggambarkan keseluruhan tentangnya. Karena itu saya perlu mengutip apa yang telah dituliskan oleh Pak Yoga dalam katalog pameran tunggal Tu Aji, yang pertama “(Ida Bagus Sena) selalu berusaha memetik pelajaran dari banyak orang, sehingga tidak pernah pupus senantiasa selalu belajar, hal ini ia petik secara tidak langsung dari pamannya Ida Bagus Made dan begitu membekas hingga menjadi tuntunan bagi dirinya untuk senantiasa mengembangkan diri”. Kedua, Pak Yoga juga menyimpulkan bahwa karya-karya Tu Aji adalah ruang penghayatan dalam dirinya sebagai upaya untuk memahami hidup, serta memahami perannya sebagai suami dan ayah bagi keluarganya.
Meski lahir dan besar di tengah lingkungan seniman, Tu Aji ternyata menemukan bahasa rupanya sendiri dengan cara otodidak. Ia tidak pernah benar-benar belajar langsung lewat kakeknya Ida Bagus Made Kembeng, pamannya Ida Bagus Made (Poleng), atau bahkan ayahnya sendiri Ida Bagus Wiri yang juga adalah seorang pelukis. Temuannya ini berhasil ia peroleh melalui dialog-dialog sunyi antara dirinya dengan pengalamannya, dirinya dengan medium gambar, dan dirinya dengan kegelisahannya. Proses kompleks yang berbekal keuletan, kemampuan teknis yang matang, serta pengetahuan-pengetahuan mengenai nilai filosofis budayanya ini membuat nama Tu Aji kemudian diakui diantara para seniman-seniman, khususnya di daerah Tebesaya Ubud.
Sebagai seorang yang juga belajar menggambar secara otodidak sejak kecil, melihat karya-karya Tu Aji tentu membuat saya tertampar dan termotivasi. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana sesungguhnya proses-proses itu dilalui oleh Tu Aji, yang pasti saya sepakat dengan yang dinyatakan oleh Pak Yoga dalam katalog pameran tunggal Tu Aji, apa yang kami lihat di studionya hari itu adalah karya-karya yang menampakkan kualitas estetik serta nilai-nilai intrinsik yang kaya dengan makna. Terutama salah satu karya hitam putihnya yang berukuran cukup besar dan mendominasi seluruh bagian ruangan, karya yang belum lama ini baru ia lahirkan setelah dikerjakan selama 3 tahun (2018-2021).
Kami tidak heran mengapa karya ini bisa dikerjakan begitu lama. Terlebih apabila dilihat secara langsung, pada tiap sudut dalam bidang lukisnya kita bisa temukan detil-detil yang membuat mata seakan ingin terus masuk menembus lapisan-lapisan warna dari gelap ke terang yang dibuat secara perlahan dan sulit dihitung jumlahnya. Karya ini Tu Aji hasilkan menggunakan kuas bambu dan tinta yang diolah dengan teknik lukis tradisional Bali yaitu mulai dari membuat sketsa (ngorten), membuat gelap terang (ngabur), menegaskan bentuk (ngucek/ngeskes), dan mendetil (nyawi). Teknik ini banyak dipakai oleh para pelukis di Ubud.
Beruntungnya selain mengobrol banyak dan cukup lama, rombongan kami juga berkesempatan untuk melihat proses berkarya Tu Aji secara langsung. Mulai dari mempersiapkan kuas bambu hingga proses ngeskes. Ditengah kesempatan itu Tu Aji juga mengeluarkan kumpulan sketsa-sketsanya yang banyak diantaranya belum sempat ia terjemahkan keatas kanvas. Sketsa-sketsa ini isinya hanya coretan-coretan garis pensil yang ia maksudkan untuk merancang komposisi dan merekam ide-ide. Sebagian besar rancangan karyanya tampak menggambarkan cerita-cerita yang bersumber dari epos ramayana dan mahabrata, sebagian kecil lagi mengangkat tema sosial.
Semua sketsa ini tampak biasa-biasa saja, sederhana dan tidak berlebihan. Namun setelah sketsa-sketsa itu dipindahkan keatas medium kanvas dan digarap hingga selesai, kita bisa tahu betapa khusyuk dan dalam penghayatan Tu Aji terhadap karya-karyanya, serta betapa peka ia terhadap unsur-unsur visual yang dapat teramati lewat caranya menyusun komposisi secara utuh. Semua kerumitan-kerumitan dalam karyanya, seperti latar depan-belakang yang penuh diisi figur-figur detail, setingan alam, hingga keesktriman dimensi warna gelap dan terang, semua itu dimulai dari sketsa-sketsa sederhananya. Salut.
Meski ada banyak cerita dari Tu Aji yang—akibat keterbatasan bahasa Bali saya—tidak bisa saya pahami, saya pribadi cukup puas dan bersyukur bisa melihat dan merasakan langsung energi positif dari karya-karya Tu Aji. Toh soal bahasa, saya percaya teks visual tidak kalah sering berbicara jujur dan apa adanya. Karena sejatinya karya seni itu sendiri dapat menjadi jembatan untuk menghubungkan orang-orang. Di akhir pertemuan, kami semua berjanji untuk datang kembali dan mengobrol lebih banyak. Dan hingga saat itu tiba, tulisan ini hadir untuk mengingatkan saya sendiri tentang betapa saya tidak tahu apa, yang berkat indahnya cara semesta bekerja hingga hari ini pun saya selalu dipertemukan dengan para guru-guru kehidupan.
Walaupun menurut Tu Aji, “Untuk kehidupanmu sendiri kamu tidak butuh guru. Kamulah contoh untuk dirimu sendiri.” [T]
Ruang Antara Studio, Gurat Institute, Batubulan, 2021