Bagaimana kalau saudara tidur di sebuah dapur bekas yang kini menjadi ranjang ayam?—Para betina mengeram; pejantan singgah malam-malam; kotoran ayam kering bertumpuk, berserakan seperti gundukan tanah; dan bila saudara sentuh, benda lengket itu akan menempel pada jari lentik saudara, tetapi aromanya, Saudara! Aromanya bisa membuat nafsu makan saudara menjadi kacau selama berhari-hari; menggerayangi pikiran saudara; mengelabuhi aroma apa pun yang saudara hirup, dan yang paling menyebalkan, ribuan serangga kecil akan mecubit-cubit tubuh saudara: panas seperti saudara baru keluar dari air rebusan cabai.
Saudara tentu enggan membayangkan hal itu terjadi pada diri saudara. Tetapi, bayangkan jika orang-orang memaksa saudara tinggal di tempat seperti itu. Tak ada pilihan—sebagaimana hidup untuk menebus dosa yang tak pernah saudara tahu. Saudara bisa saja berhayal melarikan diri ke kota bahkan ke luar negeri; hanya untuk menghindari tai ayam dan serbuan serangga yang bisa jadi membuat saudara ingin bunuh diri. Tapi, sayang sekali, Subali tak memiliki khayalan itu, Ia justru cengar-cengir ketika diadili orang-orang kampung.
Malam itu menjadi saat yang tepat bagi orang-orang Kampung Saren untuk meluapkan kesal pada Subali. Perasaan yang disumbat—karena ketakutan mereka sendiri—tumpah bersamaan dengan darah Subali yang mengaliri wajahnya; hingga tak satu pun warga yang bisa menebak wajah Subali; tak jelas lagi letak alis atau bibirnya yang terkatup, mungkin semua itu telah pindah posisi: lumpur atau darah atau air got atau ketiganya menutup wajah Subali. Puluhan bogem mangkal pada wajahnya, bogem seukuran bola kasti, hingga seukuran telapak kaki. Malam itu seperti sebuah pesta, setiap lelaki merayakannya dengan kepalan tangan sebagai hadiah untuk Subali. Di akhir pesta, seseorang mengikat tangan pria tiga puluh lima tahun itu dengan kawat besi, tapi, sial! Seseorang melihat giginya lalu berteriak, “Ia tersenyum!” dan pada saat seperti itu, senyum adalah hutang yang harus dibayar.
***
Bulan runcing kembar, dingin seperti jarum menyulam kulit, di depan pagar rumah yang tersusun dari cecabangan alamanda, seorang perempuan menjerit-jerit; meloncat-loncat; lalu memukul ember besi berisi sampah: ia memanggil para tetangganya. Ia mendapati seorang lelaki berbaring di selokan dangkal di seberang rumahnya. Perempuan itu mereka-reka; motif garis-garis pada baju kaos, sarung kuning yang bercampur lupur, dan sebuah sandal jepit hijau di atas aspal; tidak salah lagi, itu suaminya, Bargawa. Sementara keponakannya, Subali, duduk di atas perut Bargawa, tangannya melesat ke arah kepala Bargawa. Lumpur menciprat hingga ke aspal. Bargawa berusaha melawan tapi kedua lutut Subali menimpa masing-masing tangannya. Sesekali, Bargawa berhasil berkelit, tetapi berkali-kali gagal.
Warga berhamburan memenuhi jalan, seperti sungai kering ketiban air bah. Tapi setelahnya, mereka seperti semut; ramai-ramai menarik Subali, ramai-ramai mengangkat Bargawa, sisanya menonton semua itu. Tapi, Subali meronta. Seperti cerita pewayangan, Subali mengempas genggaman para warga, orang-orang seperti disapu puting beliung, lalu mereka menyaksikan langkah Subali yang seolah membuat aspal bergoyang.
“Mungkin tubuhnya yang dibasahi lumpur dan keringat membuatnya seperti belut,” gumam seseorang.
“Tapi dari mana ia mendapat tenaga dua ekor banteng seperti itu?” tanya yang lain.
Subali mendekati Bargawa, lalu menuding wajah Bargawa, lalu berteriak dan membuat warga datang lebih ramai lagi.
“Kau ingin membunuhku? Cepat potong leherku!” katanya.
Subali bergegas melepas bajunya yang basah dan dilempar sembarang. Beruntung, beberapa warga yang baru datang dan tadi hanya menonton langsung menghentikannya: Seseorang menendang punggung Subali dari belakang hingga ia tersungkur; Subali bangkit, yang lain langsung menendangnya dari belakang; sekali lagi ia bangkit, beberapa orang menendangnya lalu menggebuki Subali beramai-ramai. Malam itu, jalanan di Kampung Saren, tepatnya di depan rumah Bergawa seperti pasar kaget, hingga, tetangga yang sudah saling kenal sejak lama tak dapat mengingat secara pasti; siapa saja yang menendang Subali, siapa yang menggebukinya pertama kali, dan tidak ada yang tahu, siapa yang mengambil kawat, mengikat Subali, lalu menidurkannya di selokan kotor hitam itu.
Bargawa selamat dari maut. Ia terlihat sedikit ketakutan. Getar tubuhnya masih rapat. Istrinya segera datang menghampirinya dengan seember air; membasuh wajah Bargawa hingga terlihat: rahang bawahnya sedikit bergeser ke kiri dan giginya menjorok keluar, mata bagian kanan biru lebam, dan mulutnya yang terbuka itu terengah-engah mengambil napas panjang. Seseorang mendekatinya dan bertanya apa yang sesungguhnya terjadi.
“Saya tak tahu apa-apa. Sungguh mati! Ketika hendak ke warung, ia meneriaki saya, ‘bunuh aku! bunuh aku!…’ berkali-kali. Saya diam saja. Tapi dia seperti anjing yang mau mengigit. Tangannya yang kuat langsung menerkam leher saya. Saya ditarik ke selokan itu. Saya tak bisa melawan. Kedua tangan saya ditimpanya. Wajah saya rasanya telah rata. Ia memukuli saya berkali-kali…” suara Bargawa yang terengah-engah tak terdengar lagi. Sirine mobil polisi yang berisik mengalahkan suaranya yang payah.
Tepat ketika polisi membuka, lalu membanting pintu mobilnya, warga yang mengerubungi Subali langsung pergi satu per satu—mereka tentu enggan digaet untuk menjadi saksi, sebab itu merepotkan betul—empat orang polisi turun dari mobil dinas, dan langsung melakukan tugasnya masing-masing. Satu mendekati korban, dua memperhatikan Subali, dan satu bertanya kesaksian orang-orang. Polisi yang bertanya kesaksian itu rupanya menjadi tontonan; orang-orang melingkarinya, dan tiba-tiba terdengar teriakan di kerumuan itu.
“Tidak! Kami punya aturan sendiri!” teriak seseorang.
“Sudah semestinya dia mendapat sangsi sesuai aturan kampung. Dia kan berbuat di kampung,” terdengar suara berbisik dari mulut warga namun entah siapa yang bicara. Suara bisik-bisik itu dijawab dengan bisikan lain.
“Kita pasti menanggung semua biaya upacara permohonan maaf.”
“Dasar idiot. Sudah kubilang sejak dulu, Subali itu Idiot.”
“Ya…”
“Nasib anak jadah.”
“Dosa anak biadab harus kita tanggung.”
“Bikin repot!”
“Dasar pencuri jagung!”
“Pencuri durian!”
“Pencuri ayam!”
“Dia mencuri ayam aduanku!”
“Dia mengambil ayam betinaku yang mengeram.”
“Pencuri ayam!”
“Aku mendapatinya mencuri ayamku!”
“Aku mendapatinya mengambil telur ayam-ayamku!”
“Pencuri ayam!” semua orang diam.
“Ya…pencuri ayam…” Suara tipis itu berasal dari seluruh mulut warga yang melingkari polisi. Mereka memandangi polisi yang sedang menulis di atas kertas mungilnya, lalu saling lirik seolah menunjuk orang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan polisi.
“Dia harus dikurung dalam kandang ayam! Lagi pula, kami harus mempersiapkan segala upacara permohonan maaf atas darah yang telah menetes di tanah kampung ini.” sunyi kampung itu tiba-tiba menyelinap dalam pembicaraan itu.
“Subali harus dikurung dalam kandang ayam sebelum upacara permohonan maaf atas darah ini digelar!” kepala kampung menegaskan sangsi itu dan sontak suara bisikan warga semakin keras, seperti teriakan pendukung tim sepak bola—atau seperti lebah?—tapi dari apa yang mereka katakan, terdengar beberapa suara yang sama, “setuju”, “tepat”, “pas!”
Polisi yang sibuk dengan kertas mungil itu mencoba menenangkan warga. Polisi yang lain datang menembus kerumun orang-orang, lalu bertanya pada polisi dengan kertas mungil tadi. Mereka berembug. Seorang polisi berjaket kulit hitam, dengan perut tambun, berkumis putih mulai membujuk lembut.
“Bapak-bapak, saya paham keinginan, Saudara. Tapi kita proses dulu sesuai hukum negara, setelah itu kita bicarakan hukum kampung ini,” tapi, bujukan itu segera disambar oleh ketua kampung.
“Hukum adat dulu, baru kita bicarakan hukum negara! Subali medoai kampung ini, menyakiti hati warga kami!”
Kampung Saren adalah kampung tua; segala pelanggaran telah diatur dengan jelas pada tumpukan daun lontar; daun yang digurat dan hanya bisa dibaca beberapa orang. Segala aturan telah disusun dalam catatan itu; mulai dari aturan memelihara ayam, aturan memelihara anjing, buang kotoran, hingga pencurian dan pemukulan sebagaimana yang dilakukan Subali. Dalam daun itu jelas tertulis dan kepala kampung hafal betul:
“Setiap pencuri haruslah minta maaf pada dewa-dewi. Redakan murka-Nya dengan darah binatang suci. Gelar upacara di perbatasan jalan antar desa. Tunggu musim kawin anjing dan purnama hitungan ganjil. Kurung pencuri yang meneteskan darah umat-Nya. Gelar upacara pada hari baik sebelum bulan mati. Hapus noda dosa dengan darah empat binatang suci. Letakkan darah pada setengah kelapa gading. Taruh di setiap ujung desa dan perempatan. Letakkan darah anjing di ujung utara desa. Letakkan darah bebek putih di belahan timur desa. Letakkan darah anak babi di ujung selatan desa. Letakkan darah anak kambing di sebelah barat desa. Gelar upacara di perempatan dengan empat darah suci. Kurung pencuri itu agar hilang kotoran pada hatinya. Hilanglah kotoran yang ia tanam pada hati orang-orang: Kurung ia sebelum menggelar segala upacara.”
Kepala kampung membaca keras aturan yang mereka warisi; seperti sedang berorasi, pembacaan aturan disambut meriah oleh warga. Orang-orang meyakininya, dan mungkin polisi pun sesungguhnya begitu. Polisi menyerah dengan keputusan warga. Mereka sepakat untuk menyelesaikan masalah di kampung Saren lebih dulu. Subali akhirnya diseret menuju kandang ayam kelompok tani. Seorang warga melepaskan ikatan kawat pada tangan Subali yang kini tampak lemas seperti plastik kepanasan; memasukkannya dalam kandang ayam, lalu mengunci kandang ayam yang dipagari tembok beton itu. Terlihat beberapa jendela dengan tirai besi, bekas kaca yang melintang. Tak ada celah keluar. Ayam-ayam mulai ribut. Pintu digembok, orang-orang yang membawa Subali ke kandang ayam langsung menceburkan diri ke sungai karena gatal; bahkan panas yang diakibatkan serangga dalam kandang ayam itu.
***
Sebagai paman yang mengangkat Subali menjadi anak, Bargawa sering mendapat keluhan dari tetangga; mereka mengutuki Subali namun enggan berhadapan dengannya; membayangkan tubuh Subali saja, orang-orang sudah mengigil; tubuh subali setengah lebih tinggi dari ukuran normal orang-orang kampung, badannya lebih besar sehingga tak jarang orang menyebutnya Bima yang tersesat; Ia pencuri handal, meski beberapa kali dilihat pemiliknya, tapi ia bisa kabur dengan santai; seperti orang yang telah mendapat ijin dari pemilik sesuatu yang ia ambil. Meskipun Bargawa adalah paman yang penyabar, ia tak kuat menyimpan keluhan itu, sehingga ia menyampaikan kekesalan warga sekaligus kekesalannya pada Subali dan Subali tersinggung. Lalu, ia melempar barang-barang yang ada di depannya.
Seluruh isi rumah bisa habis bila Subali mengamuk, seperti gelas kaca yang ia banting, panci-paci penyok, piring pecah menjadi puluhan benda tajam yang berserak; Tv menggelayut hampir menyentuh lantai bila saja tidak ditahan kabel yang tersangkut di meja, kulkas dan seluruh isinya ia lempar-lempar, galon yang menjadi kepala dispenser dengan mudah ia tendang hingga basah seluruh ruangan; Bergawa yang tidak tahan melihat tingkah keponakannya langsung memaki-maki Subali: “Dasar anak Jadah! Anak setan! Pergi kau dari rumah ini!” Subali lari keluar rumah seolah lelah dengan makian itu.
“Saya tidak mengejarnya hingga ke sungai, Pak. Sungguh mati!” ucap Bargawa dengan mata memicing dan lebam yang belum pulih.
Menjelang upacara, kepala kampung menyambangi Subali. Hampir sekujur tubuh Subali nampak merah, dan aromanya kini tak ada bedanya dengan kandang ayam. Tapi, Subali nampaknya sudah terbiasa dengan itu; tai ayam yang masih lengket, baunya yang menempel, dan serangga-serangga kecil itu; tapi tidak dengan kepala kampung.
Keterangan Subali berbanding terbalik dengan Bargawa. Katanya, setelah dihujat oleh Bargawa, Subali pergi ke sungai untuk mandi dan menenangkan diri. Tapi, belum selesai membuka baju, orang besar yang tak dikenal meneriaki Subali. Gemuruh air dan sore yang tenggelam menyamarkan teriakan dan wajah orang itu. Namun, ketika semakin dekat, jelas sudah: itu adalah Bargawa. Bargawa mengacung-acungkan pisau dan membentak Subali.
“Ia ingin membunuh saya! Ia bahkan mengancam akan memotong leher saya! Ia bilang, saya adalah aib keluarga. Melihat langkahnya yang tegap. Saya merasa kecil. Saya kabur. Saya bersembunyi di ladang orang. Sesungguhnya saya ragu untuk pulang, tapi malam itu, saya memberanikan diri. Kebetulan sekali, saya menjumpai Bargawa di depan rumah. Karena takut ia melihat saya lalu memotong leher saya, langsung saya hajar si Bargawa itu lebih dulu!” Tiba-tiba tubuh Subali menggigil. Matanya terpejam. Wajahnya ia sembunyikan pada lututnya yang direngkuk.
“Sekarang Bapak sendiri menjadi saksinya!” sambil menunjuk ke belakang punggung Kepala Kampung.
“Lihatlah pisau di tangan Bargawa itu, Pak! Dengar ancaman itu, Pak! Saya menyerah… saya menyerah…”
Ketua kampung menjadi bingung, sebab tak ada siapa pun di sekitar mereka. Di belakangnya hanya rumah-rumah dengan tembok rendah, di kiri, kanan juga sama. Tak ada siapa pun! Tiba-tiba Subali berdiri. Ia berteriak menantang. Teriakan Subali semakin lama semakin keras sambil menepuk-nepuk dada, “Bunuh aku! Cepat potong leherku kalau kau bisa!” dengan tatapan garang seperti anjing dan telunjuk mengarah ke tembok dan semak yang dipenuhi suara jangkrik. [T]