Minggu-minggu ini saya “sedikit” dikejutkan dengan berita dihentikannya peredaran koran Tempo secara cetak, dan fokus mereka di peredaran digital. Mengapa saya katakan “sedikit” terkejut? Ada dua alasan.
Pertama karena koran Tempo cetak pun selama ini ini tak bisa kita temukan di Bali. Seingat saya koran ini hanya dapat saya beli di agen koran di Denpasar, itupun hanya dalam setahun dua tahun awal penerbitannya (maaf kalau saya salah, karena saya tinggal jauh di pedalaman Buleleng barat ).
Yang kedua, karena fenomena ini sudah berjalan sekian tahun. Satu persatu media cetak konvensional berguguran diterjang disrupsi di bidang teknologi informasi saat ini. Beberapa ada yang langsung tutup buku, seperti tabloid Bola, ada yang mengurangi halaman setipis mungkin seperti koran kebanggaan rakyat Bali, Bali Post. Dan ada yang menempuh jalan seperti koran Tempo yang beralih sepenuhnya ke digital, tanpa opsi menutup diri, cuma menghentikan peredaran yang edisi cetak saja.
Tetapi seperti kata sahabat saya, teknologi sendiri hanyalah sekedar sarana,bukan gagasan itu sendiri. Jadi selama gagasan yang hendak disebarluaskan media itu ke publik menarik dan berguna untuk kemaslahatan bersama, dengan sarana apapun yang dipakai niscaya akan tetap dicari dan dijadikan rujukan oleh masyarakat luas.
Yang kita amati, media media dengan konten yang tak cukup penting, sekadar untuk hiburan atau hobby, adalah yang paling pertama terkena arus disrupsi ini. Tabloid Bola, Majalah Popular, Trubus adalah sekian diantaranya. Kemudian media kesehatan, pengembangan diri, Infotainment menyusul di gerbong berikutnya. Ini bisa dimaklumi, karena saat ini hanya dengan jari, masyarakat bisa mendapatkan informasi apapun yang mereka inginkan. Info yang tersedia lengkap, dan aktual, cuma memerlukan kecerdasan kita untuk memilah mana informasi yang benar ataupun bohong. Tapi itupun bisa diakali dengan memilih berita dari sumber yang kita percaya.
Yang masih bisa bertahan saat ini mungkin hanya media dengan konten serius. Berita yang bisa dipertanggung jawabkan, dijadikan rujukan oleh banyak orang, dan cuma sedikit keraguan saat kita mendapat informasi dari media itu. Saya sendiri sampai saat ini tetap berlangganan Kompas harian dan Tempo (harian dan majalah) secara digital. Jadi saya bisa tetap membaca keduanya dimanapun saya berada, asal ada jaringan internet dan kuota kita mencukupi. Seandainya ada berita-berita yang saya baca di luar dua media itu cukup meragukan, pasti saya konfirmasi ke Kompas atau Tempo. Sesederhana itu sekarang hidup saya.
Tetapi ada satu yang cukup menyesakkan dada saya, pilihan pemberitaan Tempo yang belakangan sering berseberangan dengan pemerintah membuat ketakhadiran edisi cetaknya tak terlalu dihiraukan oleh pembaca. Itu yang saya baca di akun resmi mereka yang ditanggapi oleh netizen. Bahkan lebih dominan adalah tempik sorak yang menyertai kepergian edisi cetak mereka. Mungkin ini yang membedakan penerimaan masyarakat kepada Tempo dan Kompas, Dua barometer media cetak tanah air, yang terbukti tangguh melintasi zaman dan tetap bertahan diumur mereka yang nyaris setengah abad.
Pada kesempatan ini saya ingin menimbang-nimbang nasib dua media kesayangan saya ini. Kompas dan Tempo tak diragukan lagi adalah jurnalime ideal kita, media informasi terpercaya dan sekaligus pilar ke-empat demokarasi. Jadi demokrasi tanpa jurnalisme yang kuat, mesti kita ragukan masa depannya dan manfaatnya bagi bangsa ini.
Kompas yang didirikan dua sahabat, PK Ojong dan Jakob Oetama terkenal dengan filosofi mendidiknya, sesuai latar belakang keduanya yang pendidikan guru. Untuk informasi yang mencerahkan, yang merekatkan nilai kebangsaan , menumbuhkan toleransi, penghormatan pada yang lemah atau minoritas, tak ada yang bisa diragukan lagi dari mereka. Pramoedya Ananta Toer mengisi hari tuanya dengan membuat kliping tentang Indonesia. Setiap hari dia membeli dua edisi koran, karena dia tak mau terlewat halaman di baliknya yang terkena gunting kliping. Begitu berharganya informasi koran yang dibaca bagi Pram, dan saya membayangkan koran itu mestinya Kompas.
Tetapi untuk tugasnya sebagai pilar ke-empat demokrasi, mengontrol jalannya pemerintah yang dianggap keluar jalur. Tanpa mengurangi hormat pada Kompas, saya lebih memilih Tempo. Tempo yang sejak terbitnya telah dua kali mengalami pembreidelan, pertama saat memberitakan impor kapal selam yang menyinggung Habibie, dan sekali lagi menjelang jatuhnya Orde Baru di tahun 1997. Ini terkait pemberitaan mereka yang berani mengungkap bobrok pemerintah saat itu. Dan saat itu dilakukan pada saat rezim sedang kuat-kuatnya, maka hal itu perlu diapresiasi dengan selayaknya.
Kompas pun pernah mengalami hal serupa, saat beritanya dianggap mengganggu stabilitas (istilah rezim saat itu). Mereka pun pernah terancam pembreidelan, namun dengan sigap kedua pemimpinnya mengambil langkah adaptif dengan meminta maaf dan berjanji menyesuaikan isi berita dengan selera pemerintah.
Dari sana kita bisa belajar tentang cara ke-dua media itu mengambil perannya sebagai kontrol pemerintah. Kompas dengan gayanya yang santun, tak terlalu vulgar dan kritikannya tersembunyi halus dalam tulisan, bisa kita lihat di tulisan Budiman Tanurejo saban hari Sabtu. Terbukti lebih bisa berselancar di atas gelombang dan mendapat simpati dari masyarakat pembaca Indonesia.
Tempo yang terbiasa to the point, mengembangkan jurnalisme investigasi akhirnya menciptakan musuh-musuhnya sendiri. Kalau di masa lalu saat pemerintah tak cukup bagus dimata masyarakat, Tempo akan menjadi rujukan utama tentang situasi yang dianggap menyimpang dari pemerintah. Tapi saat ini, kala pemerintah terlihat cukup mengakomodasi suara rakyat, prioritas pembangunan sesuai harapan mereka. Maka kritik-kritik Tempo terasa seperti suara-suara nyinyir yang sengaja hendak menjelekkan pemerintah.
Tapi pengalaman saya sebagai pembaca, banyak kasus korupsi terungkap setelah ada laporan investigasi di Tempo. Beberapa yang saya ingat, suap daging di Kementerian Agama, skandal Hambalang dan terakhir kasus suap expor bibit lobster. Sudah jauh-jauh hari terendus oleh awak Tempo dan terbukti di kemudian hari terungkap sebagai kasus korupsi yang cukup besar. Dan hal semacam ini jarang saya temukan di Kompas.
Hal yang cukup merisaukan saya saat ini adalah posisi Tempo yang dilihat ber-oposisi dengan pemerintah tampaknya membuat sejumlah penulis enggan untuk menyumbangkan tulisannya di Tempo, mungkin karena mereka tak mau dianggap satu kubu dengan Tempo, atau tanpa menafikan mereka sudah tak sejalan lagi dengan pilihan sikap Tempo.
Jadi kalau dulu saya membeli Majalah Tempo, bagian pertama yang saya cari adalah rubrik kolom yang biasanya diisi penulis-penulis terbaik Indonesia di bidangnya, dengan tulisan yang jernih, tajam dan mempesona. Yang saya ingat salah satunya Imam Prasojo, Aswi Warman Adnan dan banyak lainnya.
Dan untuk situasi semacam ini, Kompas terbukti lebih unggul karena sampai hari ini semua penulis dan intelektual tanah air tak ragu untuk sumbang pendapat di Kompas. Jadi terbukti untuk kultur masyarakat kita, jurnalisme Kompas yang lembut, sopan dan tersamar mungkin lebih bisa di terima. Tapi bagaimanapun kritik adalah sebuah keniscayaan. Seperti kata GM, ” Karena tak ada yang final dalam kehidupan ini, kita hari ini bukanlah orang yang sama dengan kita minggu depan.” Jadi untuk urusan kritik saya lebih memilih Tempo.
Bisa saya simpulkan, untuk urusan berita saya pasti mencarinya dari dua sumber ini, atau mengklarifikasinya dengan dua media ini. Kedua media ini bagi saya saling melengkapi satu sama lain. Untuk berita yang menggembirakan, mencerahkan, membesarkan hati, tapi akurat saya pasti pilih Kompas. Tapi saat hati kecil saya merasa ada sesuatu yang sedikit mengusik nurani atas kebijakan pemerintah, termasuk instansi dan perangkatnya, saya pasti segera menengok Tempo. Membaca, menyimak dan menganalisanya. Dan urusan menyetujui berita itu, adalah hak prerogatif saya selaku sidang pembaca yang terhormat.
Akhir kata kalau saya ditanya pilih Kompas atau Tempo, mungkin bisa saya jawab dengan cerita ini; Kalau harian Kompas sampai tutup buku atau tak terbit lagi baik cetak maupun digital, saya akan mengibarkan bendera setengah tiang untuk runtuhnya pilar ke-empat Demokrasi Indonesia. Tetapi kalau itu menimpa Tempo, baik koran apalagi majalah, mungkin bendera setengah tiang saya naikkan agak lebih lama lagi, minimal satu minggu. [T]