Ada hal-hal menarik yang ingin saya lupakan. Memori tak cukup untuk menyimpannya. Namun jika dibuang begitu saja, saya seolah memperlakukan memori seperti sampah. Padahal, tak semua memori itu sampah. Ada memori yang sulit dibuang begitu saja. Itu adalah memori yang terlalu mencintai rumahnya.
Saya teringat ulasan menarik seorang bule Prancis—soal kuasa “maha penghapus” yang telah hadir di jari-jari tangan kita, dalam bentuk tombol “delete”. Bayangkan, jari kita saat ini mengambil peran destruktif: menghapus file dalam sekejap. Termasuk file-file yang sesungguhnya ingin kita simpan, ingin kita kenang sepanjang hayat. Seolah ada kekuatan “Siwa” di jari kita.
Saya ingin bercerita tentang perbincangan masyarakat saat ini—bukan soal politik. Karena bincang politik di bale banjar dan warung-warung sudah lumrah. Lalu soal apa? Teologis! Wah…..!
Entah mengapa, debat teologis ternyata sudah mewabah di bale banjar, di warung-warung, mungkin juga di mall-mall. Ramainya debat teologi diwarnai dengan perburuan teks, buku-buku yang berhubungan dengan teologi. Jangan heran jika sekarang makin banyak orang yang fasih bicara Tuhan. Termasuk mengutip kitab ini dan itu.
Mereka mencari penjelasan Tuhan di dalam bacaan. Kurang klop jika tak baca kitab suci untuk mendukung pemahamannya tentang Ketuhanan. Dan sering, imajinasinya tentang “yang ilahi” terbatas yang dijelaskan di buku-buku, di kitab-kitab suci.
Di sini penemuan tentang Ketuhanan sangat berhubungan dengan kitab suci. Jika ada penjelasan yang berbeda dengan yang tertulis: yang salah adalah yang tidak tertulis. Begitu kira-kira. Otoritas pun ada di dalam “yang tertulis”.
Saya tergelitik dengan asumsi seorang kawan bahwa gerakan “melek huruf” tidaklah menandai suatu pencerahan dalam arti yang sebenarnya. Ini menarik, jika kita ingin melihat dari sisi lain—berpikir tentang yang lain. Sama seperti gerakan “melek kitab suci” apakah membawa pencerahan yang sebenarnya? Bisa iya, bisa juga tidak.
Sebelum orang memahami keilahian di dalam kitab suci, orang berkeyakinan dengan sangat sederhana: mereka percaya ada kekuatan alam yang melebihi dirinya, berdampak pada kehidupan manusia. Kesadarannya berpusat pada alam.
Mitos-mitos tumbuh subur. Kesuburan mitos seiring dengan kesuburan semesta. Meskipun kelak “ketakutan” atas mitos dianggap “menjajah kemanusiaan”. Manusia mesti berkuasa atas dirinya—tak dikuasai sesuatu di luar dirinya. Orang lalu mengkampanyekan: Aku berpikir maka Aku ada!
Saat ini orang memahami keilahian cukup dengan kitab yang dibawanya. Cukup meyakini apa yang tertuang di kitab. Apalagi sejak bekerjanya “kapitalisme cetak”—meminjam istilah Ben. Anderson—pembumian kitab suci semakin marak dilakukan. Setiap orang bisa mengakses “Ketuhanan” dalam kitab suci.
Efeknya, setiap orang memiliki otoritasnya untuk menafsir. Hal ini memang cukup merepotkan otoritas-otoritas tradisional yang terlembaga. Maka tak sedikit agama yang berupaya tetap menjaga otoritas kelembagaannya untuk menafsir teks. Artinya, meskipun masyarakat bisa mengakses kitab suci, namun otoritas tafsir ada di tangan “lembaga agama” yang diakui.
Di lembagaan keagamaan yang dimiliki umat Hindu dulu pernah ada kesatuan tafsir: tujuannya adalah menyamakan persepsi, di tengah perbedaan tafsir. Perbedaan tafsir untuk laku personal mungkin dianggap tak masalah. Namun jika perbedaan tafsir melahirkan sebuah gerakan keagamaan, ini dianggap merepotkan—bahkan mengancam tatanan.
Memang tak dipungkiri, pembumian kitab suci melemahkan otoritas-otoritas keagamaan tradisional. Saat ini, setiap orang punya otoritasnya sendiri untuk menafsir dan bicara apa saja. Konflik ideologi keagamaan bisa jadi berawal dari sini. Gerakan “melek kitab suci” di sisi lain justru bisa membuahkan konflik lantaran perbedaan tafsir. Mungkin disinilah relevannya ajwa wera.
Namun saat ini, di tengah perbincangan teologis yang sudah menyentuh lapisan terbawah masyarakat—apalagi dibarengi dengan gerakan “melek kitab suci”, kita seolah kehilangan “kesederhanaan” dalam memahami keilahian. Mereka sibuk berburunya di dalam teks-teks.
Justru teks menjadi “ladang perburuan”. Saat Lubdaka berburu di hutan, kita berburu Lubdaka di dalam teks. Jika apa yang ada di dalam diri, bertentangan dengan ucapan teks—maka yang disalahkan adalah “suara bathin diri”, karena tak sesuai dengan teks. Pokoknya apapun yang tak sesuai dengan sastra atau kitab suci, berarti itu tidak benar. Ortodoksi mengalahkan ortopraksi. Kita mengamputasi “pengalaman” karena selesai di tataran teks.
Di sini kita kehilangan yang namanya “pengalaman mengalami”. Kecerdasan yang didapat melalui pengalaman dan laku. Dan celakanya, kita sedang menertawai laku karena tak sesuai dengan teks.
Teringat pesan di dalam tembang Jawa: Ngelmu iku kelakone nganti laku. Dan laku itu telah hilang kini. Semua selesai di dalam teks. Padahal teks lebih mudah di “delete” daripada “laku” itu. [T]