Malam itu, Suck Cafe ramai sekali. Barangkali karena akhir pekan. Banyak muda-mudi datang. Nang Kocong dan Pan Gobyah kebagian tempat di teras, membaur dengan udara hangat di luar.
Di panggung, penyanyi memainkan Vienna yang cozy dalam akustik: I’m on my way to something new. And so are they, and so are you. Back to a time we all went through… Saya sedang dalam perjalanan menuju sesuatu yang baru. Begitu pula mereka, dan begitu pula Anda, kembali ke waktu yang kita semua alami.
Nang Kocong menuang minuman, sedangkan Pan Gobyah tampak berusaha mencungkil bistik yang beberapa kali mental dari garpu.
“Kudengar rekan kita di Buleleng, Putu Satriya Koesuma, menggarap lakon Jayaprana. Mau dibikin film,” kata Pan Gobyah sambil menghentikan sejenak kesibukan tangannya di piring.
“Wah, pantas saja lama tak kelihatan batang hidungnya, rupanya dia lagi ada projek baru. Putu itu passionnya memang teater. Kalau sudah urusan drama pastilah dia mendadak sehat walafiat dan lupa yang lainnya.”
“Bagus ya kalau Jayaprana dibuat film. Anak-anak muda bisa nonton kisah ini.”
“Betul, Byah, film lebih komunikatif bagi generasi milenial.”
“Jayaprana & Layonsari itu adalah Romeo & Juliet a la Bali. Ceritanya sama-sama romantis dan berujung tragis. Kalau dikemas dengan baik, anak muda pasti suka.” sambung Pan Gobyah.
“Konon Romeo & Juliet berasal dari roman kuno yang kemudian disusun sebagai karya sastra oleh sejumlah sastrawan Italia. Kisah ini jadi sangat terkenal setelah ditulis dan dikembangkan oleh William Shakespeare pada abad ke-17 dan diadaptasi dalam berbagai bentuk pertunjukan. Sedangkan kisah Jayaprana & Layonsari itu, kita tak tahu entah siapa pengarangnya.”
“Jayaprana & Layonsari itu legenda, Cong, benar-benar terjadi pada zaman dahulu. Setua ceritanya Shakespeare, kisah Jayaprana juga terjadi pada abad ke-17, sebab Kerajaan Kalianget berdiri sekitar tahun 1622. Bukti kuburan Jayaprana juga ada di Teluk Terima, bukan?” sahut Pan Gobyah.
“Bali memang kaya dengan folklor, bahkan beberapa dihubungkan dengan dewa-dewa dan nama tempat atau daerah sehingga ceritanya jadi berkesan sakral dan hidup.”
“Jayaprana bukan folklor tapi kisah nyata. Desa dan jejak peristiwanya masih ada sampai sekarang, bahkan sudah dibangun pura di sana. Tempatnya indah, di puncak bukit, menghadap teluk. Aku sejak kecil sudah seringkali ke sana. Bahkan pada hari-hari tertentu, pemedeknya sangat padat. Mereka datang dengan berbagai harapan dan permintaan. Betara di sana bares atau murah hati. Banyak orang telah membuktikan.”
“Itu memang spot yang bagus untuk mereka yang suka foto-foto. Saat musim kemarau, pemandangan bukit akan terlihat dramatis dengan pohon-pohon merangas, ranting-ranting tak berdaun dan gersang. Bagus juga mendaki ke puncak untuk melatih dengkul.”
“Di Makam Jayaprana kita bisa merenung, mengenang tragedi yang menimpa dua insan malang itu. Kadangkala kehidupan bisa amat kejam tapi kita bisa belajar di situ.”
“Hebat orang yang dulu mengarang cerita ini dan memilih lokasi petilasannya. Pasti dia sastrawan pengelana. Atau mungkin pertapa. Bisa dibayangkan, ketika cerita dibuat pasti daerah sekitarnya sangat sepi, jauh dari pemukiman penduduk, tak ada jalan. Mereka tahu memilih tempat di belakang teluk yang indah dan terpencil itu sebagai bagian dari setting cerita sehingga kisahnya tetap hidup hingga saat ini. Agak mustahil cerita ini dikarang oleh pengembala kesasar.”
“Itu peristiwa pada masa kerajaan. Kalau raja sudah berkehendak, tak ada yang mustahil.”
“Ujung ceritanya dibikin tragis dan pilu, itu yang membuat emosi banyak orang mudah tersentuh dan berkecamuk oleh rasa marah dan sedih seakan-akan kisah itu menimpa dirinya.”
“Cinta kadang bisa mengubah orang jadi jahat. Hanya karena suka dengan Layonsari, seorang raja bisa berbuat kejam, sampai menghilangkan nyawa orang sepolos Jayaprana. Padahal dia abdi setia. Seperti tak ada wanita lain saja.”
“Namanya juga cerita. Boleh dibuat sedramatis mungkin supaya menarik.”
“Entahlah. Cuma, kesannya dia seperti tidak memiliki rasa kasih sayang, tidak punya hati, dan sewenang-wenang. Hidupnya seakan-akan hanya untuk ‘ngulurin indria’ dan nafsu. Apakah raja tidak punya penasihat, tidak ada yang memberi pertimbangan sebelum ambil keputusan?” Pan Gobyah nyeroscos seakan hatinya mengandung kesal.
“Sepertinya kamu menghayati betul cerita itu, Byah.”
“Ya, emosiku memang suka terpengaruh kalau ingat kisahnya, mungkin karena aku sering ke Makam Jayaprana.”
“Memangnya apa yang kamu ketahui tentang Jayaprana?”
“Itu kan sudah cerita umum, Cong. Jayaprana itu pemuda yatim piatu yang sejak kecil mengabdi di Kerajaan Kalianget. Bahkan dia abdi kesayangan raja karena berhati baik, rajin dan tulus.”
“Begitu, ya.”
“Suatu hari Jayaprana melamar Layonsari, putri kepala desa. Malah lamarannya dibuat dan disetujui oleh raja. Mereka pun menikah. Selesai upacara pernikahan, pasangan ini menghadap raja untuk memohon restu. Nah, sewaktu melihat kecantikan Layonsari, seketika raja merasa jatuh cinta dan ingin merebut Layonsari dari Jayaprana.”
“Itulah namanya cinta pada pandangan pertama, hehe…”
“Raja menyampaikan niatnya merebut Layonsari itu kepada Patih Saunggaling. Mereka kemudian menyusun siasat agar bisa menyingkirkan Jayaprana secara halus, dengan cara raja memerintahkan Jayaprana membasmi gerombolan perampok yang sedang mengganggu ketenteraman desa di tepi barat.”
“Maka tanda-tanda cerita sedih pun dimulai, hehe…”
“Jayaprana yang baru menikah terpaksa meninggalkan istrinya untuk menjalankan tugas dari raja. Sedangkan Layonsari, meski merasakan firasat buruk, mau tak mau, harus rela melepaskan suaminya.”
“Apa Jayaprana tidak berusaha menolak, mengingat ia baru saja menikah?”
“Itu perintah raja. Siapa bisa menolak? Jayaprana pun pergi bersama Patih Saunggaling diiringi beberapa prajurit. Saat rombongan tiba di kawasan hutan Teluk Terima, Patih Saunggaling pun menyampaikan tujuan sesungguhnya dari perjalanan mereka ini, bahwa Sang Raja menginginkan kematian Jayaprana dan dirinya yang ditugaskan mengeksekusi. Mendengar itu Jayaprana, yang seorang abdi setia, merasa tak punya pilihan lain, ia pun mengikhlaskan hidupnya diakhiri sesuai keinginan raja dan meminta Patih Saunggaling tidak ragu melaksanakan titah.”
“Apa mereka tidak bertempur, Byah?”
“Jayaprana kan sudah ikhlas. Tidak ada perlawanan. Biar kamu tahu, Cong, waktu Jayaprana ditusuk, darah yang keluar dari tubuhnya, berbau harum, lho. Itu tandanya dia seorang mulia. Setelah tewas, jenazah Jayaprana dikubur di hutan Teluk Terima itu. Di kerajaan, segera tersiar kabar Jayaprana telah tewas dibunuh perampok. Tentu saja Layonsari sangat terpukul mendengar kabar itu. Setelah sukses melaksanakan tipu dayanya, raja berusaha menghibur Layonsari yang sedih dan berniat mengajaknya ke istana untuk diperistri.”
“Selanjutnya?”
“Hati kecil Layonsari tahu kalau kematian suaminya itu karena siasat dari raja sendiri. Dia jadi sangat marah, terpukul dan putus asa. Akhirnya dengan menggunakan keris milik raja, Layonsari menikam dirinya sendiri hingga tewas di tempat. Ia menyusul suaminya ke alam baka. Kematian Layonsari ini sangat mengguncang jiwa raja. Ia sangat marah, membuatnya lupa diri, bingung dan gila. Tragedi besar pun tercipta di Kerajaan Kalianget. Dalam kegilaan, raja mengamuk, menusuk semua orang yang ada di sekitarnya. Banjir darah di mana-mana. Korban berjatuhan. Kerajaan kacau dan perang saudara pun pecah. Orang-orang jadi kalap dan saling bunuh hingga kerajaan ini habis, musnah tak berbekas. Begitulah kira-kira kisahnya, Cong. Menyedihkan, tapi itu semua berawal dari cinta.”
“Dulu aku pernah dengar ceritanya. Kurang lebih memang seperti yang kamu sampaikan itu.”
“Kamu masih menganggap itu cerita karangan?”
“Bukan begitu, sih. Kita juga tak tahu siapa pengarangnya. Tapi memang cerita-cerita zaman dulu kebanyakan anonim, tidak diketahui nama pengarangnya, mungkin karena kisah itu diniatkan sebagai pembelajaran. Tapi aku tertarik dengan nama Jayaprana dan Layonsari. Sepertinya itu simbol.”
“Simbol apa? Mulai dah kamu ngarang-ngarang.”
“Jayaprana. Prana itu artinya nafas, purusa. Layonsari. Layon itu badan kasar, jasmani, prakerti. Saat prana dengan jasmani, atau purusa dengan prakerti, menyatu, kehidupan tercipta. Jadi Jayaprana dan Layonsari itu simbol manusia. Itu kisah tentang eksistensi manusia.”
“Yah, kalau dikulik-kulik, bisa saja, Cong. Lagian itu memang hobimu, suka mencocoklogikan sesuatu.”
“Peristiwanya terjadi di Kalianget. Kali anget, sungai yang hangat. Itu simbol aliran darah, merujuk pada tubuh. Jadi yang diceritakan itu adalah peristiwa yang terjadi dalam diri manusia. Drama dalam hati manusia.”
“Terus ‘raja’ itu simbol ‘wong raja’ di kartu cekian, gitu? Jadi, itu kisah manusia main ceki? Haha…”
“Raja itu ego. Dalam ajaran catur marga itu dinamakan Raja Marga. Raja adalah penguasa. Raja atau pikiran egolah yang menguasai sifat manusia dalam kehidupannya.”
“Kalau Sawunggaling?”
“Sawunggaling itu mahapatih, tangan kanan, eksekutor. Dalam ajaran Catur Marga, ini disebut Karma Marga. Jayaprana & Layonsari itu lambang pengabdian, realisasi, prilaku, keberadaan hidup atau Bhakti Marga. Jadi kita semua sesungguhnya adalah Si Jayaprana sekaligus Raja Kalianget dan Patih Sawunggaling. Maksudnya dalam kita menjalani kehidupan ini, segala keputusan dan tindakan kita sesungguhnya dikendalikan oleh ego kita. Begitu, Byah.”
“Tapi yang kamu omongkan itu tidak nyambung dengan jalan cerita yang penuh tragedi!”
“Dalam cerita ini, satu hal yang tidak ada adalah jnana atau Jnana Marga. Jnana itu artinya pengetahuan, nilai-nilai, dharma. Tempat terbentuknya kesadaran moralitas atau etis dari kepribadian kita. Cerita ini hendak mengingatkan kehancuran macam apa yang bisa terjadi jika kehidupan tidak bersandar pada kesadaran jnana.”
“Maksudnya?”
“Kalau kamu hidup tanpa pengetahuan atau kesadaran moralitas atau dharma maka seperti yang digambarkan cerita Jayaprana itu, hidupmu akan terombang-ambing, mudah terjebak jaring-jaring maya duniawi, tak mengerti benar-salah. Segala keputusan dan tindakanmu hanya mengabdi pada nafsu dan kegilaan belaka. Makanya eksekutornya diberi nama Sawungggaling. Saung itu artinya liang, dan galing erasan dari galih atau tulang. Sawunggaling itu sama artinya dengan liang kubur. Maknanya, setiap tindakanmu hanya akan mendatangkan kematian dan kerusakan. Disimbolkan dengan kuburan di Teluk Terima. Itulah namanya hidup dalam tragedi. Hidup yang menciptakan kehancuran dan kesia-siaan. Akhirnya yang bisa dikenang dari eksistensimu di dunia ini hanya kuburanmu belaka. Cuma itu yang layak kamu terima.”
“Cing! Bisa saja kamu, Cong.”
“Maka dari itu, Byah, para leluhur mengajari kita Catur Marga Yoga atau Catur Yoga. Ada Yoga-nya. Istilah ini sering dimaknai sebagai penyatuan diri dengan kebenaran, kebijaksanaan dan kedewataan. Bersifat spiritual atau religius. Catur Marga Yoga itu kira-kira maksudnya empat jalan hidup yang berkesadaran, yakni Bhakti Marga Yoga, Karma Marga Yoga, Raja Marga Yoga, dan Jnana Marga Yoga.”
“Omonganmu tentang Catur Marga itu tidak seperti yang aku pahami, tapi apa yang ingin kamu jelaskan dengan itu?”
“Pada cerita Jayaprana, Jnana Marga ini yang tidak ada. Jnana ini sama dengan pengetahuan rohani. Dalam hidup, rohani ini yang diyogakan agar berada di jalan kesadaran atau tercerahkan dalam nilai-nilai niskala yang suci. Bila rohani tercerahkan maka ‘raja’ atau pikiran egomu, ‘sawunggaling’ atau tindakanmu, dan ‘jayaprana’ atau keberadaanmu di dunia akan tercerahkan. Jnana ini guru, penasihat, kompas dharma untuk pikiran ego dan segala tindakanmu sehingga kehidupanmu ada di jalur satyam, sivam, sundaram, dalam lingkar kebenaran, kesucian dan keharmonisan, jauh dari tragedi, kegilaan, kehancuran, dan kesia-siaan.”
“Kamu ini memang bisa aja.”
“Kisah Jayaprana itu seperti fragmen yang menggambarkan isi dari satu syair Bhagawad Gita, ‘kroddhad Bhavati sammohah, sammohat smrtivibhramah, smrtibhramsad budhinaso, budhinasat pranasyati’, bahwa berawal dari kemarahan, kemarahan akan memunculkan kebingungan, dari kebingungan hilanglah ingatan, hilangnya ingatan menghancurkan kecerdasan, hancurnya kecerdasan mengakibatkan kemusnahan.”
“Ya deh, disambung-sambungkan saja, Cong, sesukamu, hehe…”
“Makanya kalau nanti kamu pergi lagi ke Makam Jayaprana, hal inilah sepatutnya jadi bahan renunganmu di sana, bukannya malah minta nomor togel atau yang bukan-bukan. Kamu juga tak perlu larut oleh emosi di kulit cerita tapi hayati esensi maknanya. Kisah Jayaprana itu sesungguhnya kita semua mengalami, dengan kadarnya masing-masing. Mudah-mudahan sekarang kamu bisa belajar sesuatu, Byah.”
“Sip, sip… Habisin, Cong, minumannya. Aku sudah cukup uyeng-uyengan gara-gara ocehanmu.”
Dan di panggung kafe, si penyanyi mengakhiri nyanyiannya dengan fade out yang halus: I’m on my way to something new. Back to a time we all went through. [T]
Kuta, 2020.
BELAKANGAN ini, penguasaan tanah di Bali oleh investor (baik dari luar Bali maupun luar negeri) menjadi persoalan yang banyak mengemuka....
Read more