Kuning meriah dalam hamparan petak-petak sawah, Lelakut melakuni tugasnya membantu para petani menghalau hama khususnya burung. Sajian tersebut notabene
diantara rumbai-rumbai yang dibentangkan dengan tali, orang-orangan di sawah di Bali diberi mana Lelakut.
Komunitas Seni Rupa Galang Kangin (GK) menjadikan Lelakut sebagai sumber inspirasi, sejak terdiam dirumah karena wabah covid-19, mereka memberanikan diri keluar dari zone yang tak mengenakan. Kenapa Lelakut ? Galung Wiratmaja Ketua Galang Kangin menjelaskan lelakut sebenarnya adalah salah satu media atau bentuk visual menyerupai manusia atau orang-orangan yang fungsinya menjaga tanaman petani di sawah dari gangguan hama salah satunya adalah burung dan tentu saja hama-hama lainnya. Dalam membuat lelakut pastilah para petani sedikit bersentuhan atau memanfaatkan kreasi dan daya seninya untuk menciptakan lelakut sekalipun itu perwujudannta sangat sederhana.
“ Ya.. melihat kenyataan itu, kita GK bisa masuk lewat celah itu dan mengeksplorasikannya lebih jauh dalam dunia seni sebagai propaganda atau untuk menyuarakan kepada khalayak akan pentingnya menjaga, mengekplorasi dengan bijak, “ tutur seniman asal Sukawati itu.
Instalasi seni Lelakut, kata Galung, mengajak semua baik masyarakat, pemegang kebijakan tetap berupaya menjaga keharmonian alam dan lingkungan salah satu poin penting adalah keberpihak pada sektor agraris sangat penting. Di saat pandemic ini,
dimana disitu lebih menjamin untuk ketahanan pangan, mempersempit upaya alih fungsi lahan tersebut. GK belakangan ini sedikit lebih konsen mengangkat isu-isu lingkungan dibeberapa kali pameran yang telah terlaksana, seperti mengangkat air sebagai tema pameran, seni instalasi beberapa tahun terakhir.
Ketika ditanya berkarya dalam situasi wabah, Galung membeberkan
beberapa planning pameran seni yang konvensional ( karya visual art di galeri ) telah dirancang sejak setahun sebelum dan terpaksa ditunda. Praktis segala kegiatan yang melibatkan banyak orang dibatalkan atau juga ditunda.
“ Banyak diantara kita melakukan kegiatan pameran, diskusi , berkesenian dalam berbagai bentuk secara daring/ virtual. Dan, GK pung ingin terus eksis, hanya saja teman-teman tidak mau latah dan ingin memanfaatkan media dan cara berkesenian yang lebih membumi dengan berpameran karya seni instalasi dengan visual yang sangat akrab dangan kalangan masyarakat sementara memilih venue di tengah sawah, “ terang Galung.
Instalasi, dengan memanfaatkan media-media yang ramah lingkungan setidaknya menekan dari sisi pembiayaan, apalagi projek ini tidak untuk kepentingan pasar non profit. Murni didedikasikan untuk dunia seni ( seni penyadaran) untuk alam lingkungan yang lebih baik.
“ Pemerintah pastilah telah memikirkan penguatan-penguatan di sektor ini, hanya saja perlu lebih serius dan gencar lagi. Contoh yang sederhana saja, begitu gampangnya alih fungsi lahan terjadi, jelas ini sangat berbahaya untuk sektor pertanian dan memperparah disharmoni segala hal tentang alam dan lingkungan, “ kata Gelung.
Seniman yang terlibat 10 orang, terdiri dari Galung Wiratmaja, Wayan Setem, Made Gunawan, Wayan Naya, Nyoman diwarupa, Made Ardika, Sudarwanto, Agus murdika, Atmi kristiadewi, dewa Somawijaya bertempat di Subak Telunayah, Tegalalang, Bali. (T/*)