Bumi dilanda masalah serius akibat aktivitas manusia. Masalah Perubahan iklim, degradasi lahan, pencemaran air tawar, penangkapan ikan berlebihan, kerawanan pangan, punahnya keragaman hayati dan kesenjangan desa-kota adalah masalah yang bersifat struktural dalam arti ada sistem sosial ekonomi yang jadi pendorong hal tersebut. Dalam aspek sosial, terjadi keterasingan sesama manusia lewat internet.Gejala kesenjangan desa-kota mendorong urbanisasi besar besaran hingga muncul pemukiman kumuh di negara-negara berkembang. Solusi dengan teknologi yang dipropagandakan oleh lembaga yang berkuasa saat ini patut dipertanyakan karena mengesampingkan aspek sosial ekonomi dimana sistem produksi dan distribusi berperan besar atas gejala gejala tersebut. Akar masalah tersebut merupakan akumulasi dari 500 tahun penerapan sistem reduksionis pada ilmu pengetahuan dan ekonomi yang melanda segala aspek kehidupan manusia.
Teknologi yang berkembang saat ini berdasarkan ilmu mekanistik reduksionisme. Ini disebut kekerasan epistemologi. Karena sistem sosial ekonomi didasari oleh keuntungan jangka pendek, ekspolitasi dan akumulasi capital, perkembangan diarahkan untuk mencapai tujuan tersebut. Sistem mekanistik reduksionisme membagi masyarakat menjadi dua yaitu minoritas yang disebut pakar dan mayoritas umum yang dianggap bukan spesialisasi dari pakar tersebut sehingga cenderung tunduk pada pihak petama. Para pakar juga terspesialisasi dalam pembagian pengetahuan yang terpisah. Ini menciptakan alienasi manusia dari ilmu pengetahuan.
Filsuf John Ralston Saul menyebut ilusi melanda dunia modern yaitu keyakinan mutlak penyelesaian masalah oleh para pakar yang teorganisir secara rasional(1). Hali ini terjadi dengan solusi tehno fix yang diajukan oleh kelas elit teknokrat yang menjdipakar dibidangnya mashing masing, terpisah satu sama lain. Masalah pariwisata di Bali diselesaikan oleh para pakar pariwisata dengan meningkatkan promosi ke luar negeri, dan kurang memperhatikan transportasi umum,jalur pejalan kaki dan lingkungan hidup karena tiga hal tersebut berada pada kewenangan pakar transportasi dan lingkungan hidup, tidak memikirkan saling keterhubungan pada hal tersebut. Pendirian PLTU Celukan Bawang diusulkan oleh para pakar energi untuk mengatasi kekurangan listrik di Bali. Mereka ini mengabaikan dampak lingkungan dan sosial di daerah tempat PLTU berdiri maupun di daerah terkena dampak dari tambang batu bara. Ketika disebutkan warga Celukan Bawang terkena sesak nafas dan banyak tanaman tak tumbuh dengan baik sehingga mengusik mata pencaharian warga, para pakar ini hanya menganggap tugas dan tanggung jawabnya meningkatkan produksi energi saja. Rakyat di sana tidak diberi kesempatan untuk mempertimbangkan pendirian PLTU karena dianggap tidak memiliki pengetahuan teknis dan akademis serta bukan spesialis dalam bidang ini yang dikuasai “pakar”. Rakyat diarahkan untuk tunduk dan percaya saja.
Pembagian menjadi ladang feudal yang dikuasai oleh para pakar membuat pemahaman umum dan tindakan terkoordinasi menjadi mustahil, tapi dibenci dan tidak dipercayai(2). Mereka (para pakar) mengebiri imajinasi public dengan menguasai bahasa menjadi suatu kompleksitas yang membuatnya menjadi sesuatu yang private sehingga sulit dipahami masyarakat umum. Pemecahan dan perincian bahasa menjadi wilayah feudal para pakar membuat warga Negara yang merupakan khalayak umum tidak berkesempatan untuk berpartisipasi secara serius di masyarakat(3). Ini terbukti dengan barang barang berteknologi tinggi yang sulit dipahami perbaikannya oleh konsumen sehingga saat terjadi kerusakan atas barang tersebut, harus membayar pakar teknisi untuk meperbaikinya. Perusahaan sengaja mrancang kondisi ini untuk mendapatkan uang dari penjualan bagian bagian barang tersebut dan jasa perbaikan.
Masalah gas rumah kaca menyebabkan iklim menjadi sesak? Teknologi penangkapan gas rumah kaca dari udara dan disimpan dalam ruangan khusus , penanaman pohon rekayasan genetika yang diklaim mampu menyerap gas karbondioksia lebih baik daripada pohon alami, dan menaburkan pupuk buatan ke laut untuk merangsang pertumbuhan ganggang yang menyerap gas karbon dioksida. Efek samping dari teknologi tersebut dapat memperburuk lingkungan hidup. Penanaman pohon rekayasa genetika memicu terbentuknya ladang monokultur baru yang miskin keragaman hayati. Secara esensial menciptakan gurun hijau karena didominasi satu spesies tunggal saja. Lingkungan monokultur meski telah direkayasa dengan alat paling canggih tetap rentan terhadap hama dan penyakit. Memberikan pupuk zat besi di laut dapat memicu ledakan populasi ganggang dinoflagelatta yang beracun sehingga frekuensi red tide (lautan menjadi merah akibat ganggang ini) bertambah. Ikan dan udang banyak yang mati. Lautan yang dilanda red tide menjadi berbahaya bagi manusia.
Kerawanan pangan melanda dua miliar penduduk dunia? Rekayasa genetika untuk meningkatkan panen padi dan jagung berkali kali lipat dengan luas lahan yang sama diklaim memberikan kelimpahan pada semua orang dan menghapus kelaparan. Tidakkah memperhatian aspek sosial , ekologi dan ekonomi dimana miliaran orang tersebut tidak punya akses lahan akibat konsentrasi kepemilikan lahan di tangan segelintir orang dan lembaga bernama korporasi yang diberi status “individu” dengan nama corporate personhood? Mengapa tidak diadakan land reform ( reformasi agraria ) sehingga semua buruh tani tidak menjadi budak tuan tanah dan orang orang yang bermukim di pemukiman kumuh dan pengangguran mendapat penghidupan dengan memproduksi makanan sendiri dan melestarikan lingkungan? Bagaimana dengan sistem monokultur yang mematikan keragaman hayati, jenuhnya tanah akbat ditanamani tanaman monokultur terus menerus dengan pupuk buatan? Mengapa isu pembuangan makanan global tidak menjadi bahasan utama para penguasa ? Mengapa tidak menggalakkan agroekologi dimana tanaman yang akan ditanam harus menyesuaikan dengan kondisi tanah dan iklim sehingga tidak berkonflik dengan alam? Agroekologi merupakan konsep regenerative dengan menganggap hubungan antar factor biotik dan abiotic dalam produksi pangan adalah terpenting bukan hasil biji jagung yang dihitung dalam sekian ton per hektar dalam waktu singkat.
Kelangkaan ikan akibat overfishing? Rekayasa genetika untuk memproduksi ikan dengan ukuran lebih besar dari biasanya dan lebih cepat masa panennya serta lebih sedikit membutuhkan makanan , teknologi penangkapan menjangkau 5000 meter ke dasar laut dan artificial upwelling ( mendorong air bernutrisi tinggi dari bawah ke permukaan laut untuk menstimulasi plankton sebagai makanan ikan kecil ) diyakini dapat menangani masalah ini. Mengapa tidak merestorasi hutan bakau, rawa basah tepi pantai, terumbu karang, penghentian kapal tangkap berskala besar (fishing industry fleet) dan mendukung perikanan tangkap dan budidaya regenerative dengan melestarikan habitat ikan sehingga terbentuk kedaulatan pangan bagi komunitas di pulau pulau dan pesisir? Mengapa tidak mensemarakkan penerapan ekologi perikanan untuk konservasi laut demi masa depan generasi yang akan datang?
Miskinnya air tawar sehingga ratusan juta orang menderita? Teknologi mengubah air laut jadi air tawar dan memanen hujan dengan memaksa awan menurunkannya dari langit menjadi keajaiban yang ditunggu. Apakah tidak memikirkan dampak dari limbah air berkadar garam tinggi dari desalinasi air laut yang dapat mencemari lingkungan? Bagaimana dengan penggunaan energi luar biasa besar untuk memproduksi jutaan liter air minum setiap hari? Bagaimana dengan limbah air garam bersuhu tinggi dengan kandungan kimia yang dibuang ke laut sehingga membunuh organisme di sekitar pantai tempat instalasi berdiri? Lalu bagaimana dengan energi yang dibutuhkan sebesar 1 kilowatt per jam untuk memproduksi 1 meter kubik air dari desalinasi? Restorasi lahan untuk meningkatkan daya serap air ke tanah dan memulihkan siklus air yang efektif jauh lebih baik daripada bergantung pada teknologi seperti itu. Teknologi seperti itu mendorong privatisasi air yang menjadi hak asasi setiap orang karena hanya dapat diakses oleh lembaga berskala besar.
Leon Trotsky menulis tentang netralitas perkembangan teknologi yang dipengaruhi oleh nilai dan kekuasaan suatu kelompok di zamannya. Teknologi tidaklah bebas nilai dalam arti benar benar netral karena ia produk buatan manusia.
Dia menulis sebagai berikut :
“Saya mengingat saat manusia menulis perkembangan pesawat terbang akan menghentikan perang, karena akan menggiring seluruh populasi ke dalam operasi militer, akan mendatangkan kehancuran pada ekonomi dan kebudayaan suatu Negara. Faktanya, penemuan pesawat terbang membuka lembaran baru yang lebih kejam dalam sejarah militarism. Tidak diragukan lagi, kita mendekati permulaan lembaran yang masih menakutkan dan lebih berdarah. Teknologi dan ilmu pengetahuan mempunyai logika sendiri – logika kesadaran alam dan penguasaan atasnya demi kepentingan manusia. Akan tetapi teknologi tida dapat disebut pasifis atau militeristik. Di masyarakat yang mana kelas berkuasa bersifat militeristik, teknologi digunakan untuk melayani militerisme”.(4)
Teknologi rekayasa genetika, desalinasi, penangkapan karbon, pembangkit listrik bahan bakar fosil dan penangkapan ikan mencapai dasar samudera adalah demi kepentingan kelas atas yang jumlahnya minoritas untuk meningkatkan nilai lebih dan pertumbuhan tak terbatas dimana hal itu mustahil dalam planet bumi yang terbatas ini. Teknologi yang berkembang saat ini untuk akumulasi modal secepat cepatnya dan seluas luasnya sambil membuatnya sulit diakses bagi khalayak umum karena harganya yang tak terjangkau. Teknologi ini menimbulkan efek samping yang membuat kaum proletar menjadi makin rentan akibat dampak lingkungan yang timbul. Para kapitalis mencari keuntungan setinggi langit di atas penderitaan orang lain. Akumulasi capital adalah Tuhannya mereka.
Sumber :
1. Saul, Ralston John. Voltaire Bastard The Dictatorship of Reason . New York: Free Press, 1993 Chapter 1 In whih the Narrator Positions Himself
2. Ibid
3. Ibid
4. Williams, Chris. Ecologi and Socialism. Chicago : Haymarket Books, 2010 Chapter 6 Marxism and The Environment
Gambar 1.1 https://www.marxists.org/indonesia/archive/trotsky/index.htm