Kajian sejarah dan studi sastra timbul tenggelam seiring waktu (Ryan, 2011:217). Sejak tahun 1980-an, teks sejarah (dalam pengertian yang lebih luas) dimanfaatkan dalam kajian sastra Inggris, khususnya karya sastra era Renaisance yang dipelopori oleh Stephen Greenblatt. Kajian ini dikenal dengan new historicism, menolak sejarah hanya sebagai latar belakang karya (konteks) atau sastra refleksi sejarah.
Dalam suatu momen, sastra dan sejarah berhubungan secara paralel. Keduanya hidup berdampingan dan saling melengkapi (Ratna, 2007:330, 338) sehingga terjadilah interteks. Atas dasar ini, new historicism menggunakan pendekatan interteks. Pendekatan ini memberi peluang besar kepada new historicism dalam membongkar batas-batas teks yang dibekukan oleh konsep genre.
Istilah new historicism pertama kali digunakan oleh Stephen Greenblatt dalam sebuah pengantar edisi jurnal Genre pada tahun 1982, sebuah tawaran perspektif baru dalam kajian sastra era Renaissance. Greenblatt menekankan kaitan/paralelitas sastra dan berbagai kekuatan sosial, ekonomi, dan politik yang melingkupinya (Brannigan, 1999: 421; Bressler, 1999:236; Barry, 2010:201; Budianta, 2006:2-3). Seperti pandangan Old History (sejarah sebagai latar belakang karya sastra) atau newcriticism (sastra otonom atau ahistoris), new historicism tidak membedakan teks sastra dengan nonsastra. New historicism diterapkan dengan metode membaca paralel (parallel reading) karena teks-teks tersebut sebagai “rangkaian arsip” (Barry, 2010:203). Pelbagai macam argumen tentang makna teks sastra sering sekali mudah diuraikan dengan melihat sejarah. Sejarah adalah pisau analisis yang kuat karena acapkali memberikan dasar yang kokoh untuk memancangkan pernyataan yang berkenaan dengan makna (Ryan, 2011: 217).
Ketika mengkaji Shakespeare Greenblatt mengatakan, “nothing comes of nothing”. Greenblatt mempertanyakan: “dari mana ia memperoleh bahan-bahan”, “bagaimana ia bekerja dengan bahan-bahan itu”, dan “apa yang ia lakukan dengan bahan-bahan itu”. Pertanyaan-pertanyaan metodologis ini menjadi kunci kajian sastra Renaisance. Dalam praktiknya, teks sastra dimaknai dengan mengkaji segala hubungan dengan teks yang sezaman.
New historicism tidak menilai produk budaya (dari aspek apapun: tinggi-rendah, sastra-nonsastra, serius-populer, dll.) melainkan mengkaji paralelitas berbagai ragam teks dalam merepresentasikan persoalan zaman yang melahirkannya. Di dalam suatu zaman, sastra dan sejarah seperti jejaring yang rumit dan bukan pendulum. Menurut Barry (2010:202), dokumen sejarah tidak disubordinasikan sebagai konteks, melainkan dianalisis sebagai teks tersendiri, yang disebut “ko-teks” (teks ”dampingan”) dan bukan “konteks”.
Di tengah situasi yang menunjukkan batas fakta dan fiksi yang semakin ”blur”, new historicism hadir dengan perspektif baru dalam menyikapi keadaan tersebut. Sastra dan nonsastra dapat/harus dibaca secara paralel atau berdampingan (simultan) dalam rangkaian arsip. Batas keduanya tidak relevan lagi dikaji karena akan mengisolasi teks atau membuat teks sastra ekslusif. [T]