8 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Ledok-Ledok Nusa Penida Naik Kasta

I Ketut SerawanbyI Ketut Serawan
September 14, 2020
inOpini
Ledok-Ledok Nusa Penida Naik Kasta

Ledok-ledok Nusa Penida. Sumber foto: Wonderful Nusa Penida

Nusa Penida (Klungkung, Bali) memiliki kuliner khas bernama ledok-ledok. Sejenis bubur yang berbumbu—dengan berbagai campuran bahan dasar seperti jagung, ketela pohon, sayur-sayuran, kacangan-kacangan, dan kemangi. Dulu, makanan ini menjadi sajian populer di kalangan masyarakat biasa Nusa Penida (NP). Namun, seiring kemajuan pariwisata, ledok-ledok  “naik kasta” sekarang yakni menjadi hidangan para raja (baca: wisatawan).

Sekilas tentang Ledok-ledok

Prosesi naiknya ledok-ledok ke puncak lidah para raja (wisatawan) memang tergolong penuh liku. Pasalnya, ledok-ledok sempat mati suri selama kurang lebih 20 tahunan. Bagi saya, ledok-ledok mengalami popularitas (terakhir) pada tahun 1980-an, ketika saya masih kecil. Waktu itu, ada tiga makanan pokok masyarakat NP yang terkenal yaitu nasi sela (ketelah pohon), nasi kelanan (jagung) dan terakhir ledok-ledok.

Dari grafik konsumsi, nasi sela dan kelanan menduduki posisi lebih tinggi. Dalam kesehariannya, masyarakat lebih sering mengkonsumsi nasi sela atau kelanan. Sedangkan, ledok-ledok berada pada urutan bawah. Artinya, ledok-ledok lebih berperan sebagai selingan atau variasi menu makanan masyarakat NP.

Sebagai selingan, keberadaan ledok-ledok makin hari kian dilupakan. Puncaknya, tahun 1990-an, perekonomian masyarakat NP terutama di pesisir kian menunjukkan peningkatan atau kemajuan. Hal ini tidak lepas dari perkembangan budidaya rumput laut yang mengalami keemasan. Kemajuan ekonomi ini membuat gaya hidup masyarakat mengalami pergeseran termasuk soal selera makan.

Dari sinilah, cerita nasi beras mulai muncul. Awalnya, nasi beras dihidangkan hanya menjelang hari raya besar (misalnya Galungan dan Kuningan). Seiring membaiknya ekonomi masyarakat, nasi beras menjadi makanan sehari-hari oleh sebagian besar masyarakat NP. Hal ini diperkuat lagi oleh gengsi sosial. Nasi beras tidak hanya “menjajah lidah” masyarakat NP, tetapi menciptakan prestise sosial. Keluarga pengkonsumsi nasi beras (sehari-hari) seolah-olah mendapat pencintraan “kelas keluarga yang mampu”.

Perkembangan nasi beras kian meminggirkan keberadaan nasi sela dan nasi kelanan. Kian hari, jumlah keluarga pengkomsumsi nasi sela dan kelanan berkurang signifikan. Jumlah ini mungkin sangat kentara sejak tahun 1990-an dan puncaknya tahun 2000-an. Generasi kelahiran tahun 90-an dan terutama tahun 2000-an, lidahnya lebih akrab dengan nasi beras dibandingkan dengan nasi sela atau kelanan.

Lalu, bagaimana dengan ledok-ledok? Rentang tahun 90-an hingga awal 2000-an, ledok-ledok seolah-olah lenyap dari permukaan. Jangankan untuk membuat dan menyantapnya, menyisipkan obrolan dengan topik ledok-ledok saja masyarakat enggan (hampir tidak pernah).

Namun, perjalanan waktu tidak dapat ditebak. Sekitar tahun 2016, ketika pariwisata bertahta di NP, nasib baik menimpa ledok-ledok. Hal ini bermula ketika daerah pariwisata harus dikaitkan dengan local genius. Saya tidak tahu, siapa yang pertama kali memunculkan “selera” bahwa suatu daerah pariwisata mesti memiliki keunikan (local genius) tersendiri.

Setahu saya, pola ini menjadi latah dalam dunia marketing pariwisata. Pola unik (local genius) ini sudah menjadi wacana besar dan sangat kuat menundukkan indera para pelaku dan penikmat pariwisata. Karena itu, masyarakat NP pun takluk memunculkan ciri kelokalan (local genius) daerahnya. Mereka “kepupungan” untuk menggali local genius yang dimilikinya—karena ciri kelokalan ini seolah-olah menjadi kewajiban yang mesti ditonjolkan sebagai kotak-kotak (brand) untuk membedakan dengan daerah pariwisata lainnya.

Di antara sekian ciri lokal yang dimiliki, ledok-ledok mampu mendapatkan perhatian dari para pelaku pariwisata di NP. Ledok-ledok dianggap sebagai makanan khas milik masyarakat NP. Ledok-ledok masuk ring promosi dan berhasil menaklukkan lidah para raja (wisatawan).

Selanjutnya, keberadaan ledok-ledok kian melejit mengalahkan nasi sela dan kelanan. Namun, keberadaanya kini tidak lagi meladeni lidahmasyarakat biasa. Ledok-ledok hadir sebagai hidangan bagi orang berkelas dan berduit alias raja (wisatawan). Karena itu, para raja/ wisatawan bebas dapat menikmati ledok-ledok pada rumah makan tertentu (yang menyediakan) di NP. Apa yang istimewa dari bubur ledok-ledok?

Keistimewaan Ledok-ledok

Jika melihat tampilan fisik ledok-ledok, barangkali tidak ada yang terlalu istimewa. Ledok-ledok tampak kuat mencerminkan makanan kampung. Jauh dari kesan makanan yang modern atau metropolitan. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan latar belakang sosial-kultural yang melahirkannya, ledok-ledok mungkin dipandang memiliki beberapa keistimewaan.

Pertama, ledok-ledok sebagai representasi dari hasil bumi NP. Jagung, ketela pohon, kacangan-kacangan, sayur-sayuran dan kemangi merupakan tanaman khas dari ladang di NP. Semua bahan dari sumber ladang ini diolah (dicampur) dalam satu tempat (panci) plus campuran bumbu. Produk olahan campuran inilah yang disebut ledok-ledok.

Jadi, tidak ada yang kebetulan dari produk ledok-ledok ini. Tampaknya, ada pesan moral yang hendak disampaikan oleh pendahulu (leluhur) kita dari makanan ledok-ledok. Dari aspek bahan, setidaknya leluhur NP hendak mengajarkan kepada generasinya untuk membiasakan diri bersyukur dengan lingkungan alamnya, menguatkan kelokalan cita rasa dan mencintai tanah kelahiran.

Sementara itu, pada generasi luar NP, ledok-ledok memiliki fungsi tambahan yaitu sebagai referensi atau “semacam museum” hasil bumi di tanah Ki Dukuh Jumpungan. Ketika wisatawan menikmati kelezatan ledok-ledok, mereka sesungguhnya juga menikmati “petualangan pengetahuan gratis” tentang hasil bumi di NP. Jadi, ledok-ledok dapat memenuhi dua rasa sekaligus yaitu rasa lapar (perut) wisatawan dan rasa lapar pengetahuan tentang tanaman ladang (hasil bumi) NP.

Kedua, ledok-ledok dapat mengakomodir kebutuhan nutrisi. Artinya, di dalam satu makanan ledok-ledok kita mendapatkan beberapa nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh. Misalnya, kandungan karbohidrat sebagai sumber tenaga terdapat pada jagung dan ketela pohon. Pada sayuran, kita mendapatkan potasium, asam folat, serat makanan, dan vitamin. Sementara itu, kacang-kacangan kaya akan kalsium, sumber protein, kalium, antioksidan dan sumber vitamin E (blog.sayurbox.com).

Di samping dibutuhkan tubuh, bahan ledok-ledok tergolong baik untuk kesehatan. Contohnya, jagung dan ketela pohon. Berdasarkan tabel nilai Indeks Glikemik (IG) dari Harvard Medical School, per 150 gram nasi putih biasa memiliki nilai IG 72, kentang 82 dan jagung hanya 48. Sementara itu, per 100 gram singkong hanya memiliki nilai IG 55. IG disebut tinggi jika berada di atas angka 70, sedang berada pada kisaran 56-69, dan rendah jika berada di bawah 55 (https://www.pioneer.com/).

Secara komposisi bahan, ledok-ledok efektif memenuhi kandungan nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh. Coba bayangkan? Satu makanan dapat memenuhi nutrisi yang sangat kompleks. Mungkin jarang kita temui pada makanan yang lain. Di tambah lagi, bahan-bahan itu masih bersifat alami. Tidak terkontaminasi dengan zat-zat yang berbau pestisida, karena setahu saya tidak ada aktivitas penyemprotan pestisida terhadap tanaman ladang di NP.

Semua bahah ledok-ledok sangat aman bagi tubuh. Selain nihil dari pestisida, kandungan bahannya juga baik untuk menjaga kesehatan lebih panjang. Misalnya, penggunaan jagung dan ketela pohon aman bagi penderita diabetes karena IGnya cukup rendah.

Ketiga, ledok-ledok merupakan seni kolaboratif dalam dunia kuliner. Menggabungkan berbagai bahan menjadi satu masakan, bukan perkara mudah. Dibutuhkan skill lebih. Tidak cukup bermodalkan skill masak saja, tetapi juga seni. Produk ledok-ledok membuktikan bahwa betapa leluhur NP juga seorang juru masak dan sekaligus “seniman masakan” yang tak boleh diremehkan.  

Keempat, ledok-ledok dapat dikatakan sebagai masakan modern (canggih) pada zamannya. Sebab, jarang ada masakan zaman dulu yang mampu mengkolaborasikan berbagai bahan makanan menjadi satu. Padahal, era sekarang model masakan ini mungkin sedang menjadi perhatian serius, apalagi di negara maju. Masyarakat modern pasti berpikiran bahwa sebuah masakan mesti bersifat praktis, efektif (mengandung berbagai nutrisi), bahannya alami dan tidak mengandung campuran lain yang membahayakan kesehatan. Saya pikir ledok-ledok mendekati standar tersebut.

Dengan keistimewaan itu, tidak salah jika ledok-ledok cepat mendapat panggung lebih tinggi—dari hidangan rakyat biasa menjadi sajian bagi kalangan raja modern (para wisatawan). Fenomena ini pantas mendapat apresiasi. Setelah tenggelam puluhan tahun, ledok-ledok kembali menunjukkan eksistensinya di jagat kuliner.

Meskipun tidak sehebat makanan modern, setidaknya ledok-ledok mencuat kembali ke permukaan. Mungkin pada tahap eksis saja, kita pantas bersyukur—sebab ledok-ledok merupakan kuliner khas dan menjadi catatan serta dokumentasi penting tentang hasil bumi. Catatan penting betapa geografi NP mampu menyediakan nutrisi kompleks yang dibutuhkan oleh tubuh untuk melangsungkan kehidupan.

Sayangnya, eksistensi ledok-ledok (sekarang) seperti berada pada situasi paradoks. Momen pariwisata membangkitkan dan melebarkan ruang popularitas ledok-ledok—meskipun hanya di tingkat pengunjung (luar daerah). Sedangkan, penduduk lokal justru makin berjarak dengan cita rasa ledok-ledok sekarang. 

Di sisi lain, pariwisata juga kian mempersempit ruang agraris di NP. Lahan pariwisata semakin melebar, sedangkan lahan pertanian kian terdesak. Ke depan, tentu akan bermasalah dengan penyediaan bahan ledok-ledok. Belum lagi, kini generasi petani sudah memasuki usia rapuh.

Tentu persoalan tersebut sudah dipikirkan terutama oleh pelaku bisnis kuliner di NP. Bahkan, mereka mungkin sudah menemukan solusi visioner atas masalah ini. Kalau tidak, sangat mungkin suatu saat nanti bahan ledok-ledok akan didatangkan dari luar daerah.

Jika terjadi hal seperti ini, maka ledok-ledok hanya menjalankan fungsi sebagai “sesuatu” yang mengenyangkan rasa lapar perut wisatawan, memuaskan hasrat pencintraan wisatawan dan tentu saja memuaskan keuntungan dari para pebisnis ledok-ledok. Di sisi lain, ledok-ledok pasti akan kehilangan nilai historis dan edukatifnya.

Dalam konteks inilah, saya mengatakan bahwa ledok-ledok akan mengalami kelahiran kedua. Lahir sebagai “ledok-ledok imitasi” untuk menjadi alat pemuas, pencintraan, tiruan ikonis dan pemuas keuntungan pelaku pariwisata.

Previous Post

Zaman Beda, Air Beda

Next Post

Serunya Galungan Kita Dulu

I Ketut Serawan

I Ketut Serawan

I Ketut Serawan, S.Pd. adalah guru bahasa dan sastra Indonesia di SMP Cipta Dharma Denpasar. Lahir pada tanggal 15 April 1979 di Desa Sakti, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung. Pendidikan SD dan SMP di Nusa Penida., sedangkan SMA di Semarapura (SMAN 1 Semarapura, tamat tahun 1998). Kemudian, melanjutkan kuliah ke STIKP Singaraja jurusan Prodi Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah (selesai tahun 2003). Saat ini tinggal di Batubulan, Gianyar

Next Post
Serunya Galungan Kita Dulu

Serunya Galungan Kita Dulu

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Covid-19 dalam Alam Pikir Religi Nusantara – Catatan Harian Sugi Lanus

    Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Sederhana, Haru dan Bahagia di SMPN 2 Sawan: Pelepasan Siswa, Guru Purnabakti dan Pindah Tugas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kabut Membawa Kenikmatan | Cerpen Ni Made Royani

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Sumbangan Ketut Bimbo pada Bahasa Bali | Ada 19 Paribasa Bali dalam Album “Mebalih Wayang”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Wayang Kulit Style Bebadungan, Dari Gaya Hingga Gema

by I Gusti Made Darma Putra
June 7, 2025
0
Ketiadaan Wayang Legendaris di Pesta Kesenian Bali: Sebuah Kekosongan dalam Pelestarian Budaya

JIKA kita hendak menelusuri jejak wayang kulit style Bebadungan, maka langkah pertama yang perlu ditempuh bukanlah dengan menanyakan kapan pertama...

Read more

Efek Peran Ganda Pemimpin Adat di Baduy

by Asep Kurnia
June 7, 2025
0
Tugas Etnis Baduy: “Ngasuh Ratu Ngayak Menak”

PENJELASAN serta uraian yang penulis paparkan di beberapa tulisan terdahulu cukup untuk menarik beberapa kesimpulan bahwa sebenarnya di kesukuan Baduy...

Read more

Menguatkan Spiritualitas dan Kesadaran Budaya melalui Tumpek Krulut

by I Wayan Yudana
June 7, 2025
0
Tumpek Landep dan Ketajaman Pikiran

TUMPEK Klurut, sebagai salah satu rahina suci dalam ajaran agama Hindu di Bali, memiliki makna yang sangat mendalam dalam memperkuat...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Gede Anta Wakili Indonesia dalam “International Visitor Leadership Program” di AS

Gede Anta Wakili Indonesia dalam “International Visitor Leadership Program” di AS

June 5, 2025
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Cerita Keberlanjutan dan Zero Waste dari Bali Sustainable Seafood dan Talasi di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Cerita Keberlanjutan dan Zero Waste dari Bali Sustainable Seafood dan Talasi di Ubud Food Festival 2025

AWALNYA, niat saya datang ke Ubud Food Festival 2025 sederhana saja, yaitu bertemu teman-teman lama yangsaya tahu akan ada di...

by Julio Saputra
June 7, 2025
Abraham dan Cerita Sebotol Lion Brewery di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Abraham dan Cerita Sebotol Lion Brewery di Ubud Food Festival 2025

IA bukan Abraham Lincoln, tapi Abraham dari Lionbrew. Bedanya, yang ini tak memberi pidato, tapi sloki bir. Dan panggungnya bukan...

by Dede Putra Wiguna
June 6, 2025
Buku “Identitas Lintas Budaya: Jejak Jepang dalam Teks Sastrawan Bali” Memperkaya Perspektif Kajian Sastra di Bali
Khas

Buku “Identitas Lintas Budaya: Jejak Jepang dalam Teks Sastrawan Bali” Memperkaya Perspektif Kajian Sastra di Bali

BUKU Identitas Lintas Budaya: Jejak Jepang dalam Teks Sastrawan Bali karya Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt., memperkaya perspektif kajian sastra,...

by tatkala
June 5, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Gunung Laut dan Rindu yang Mengalir | Cerpen Lanang Taji

Gunung Laut dan Rindu yang Mengalir | Cerpen Lanang Taji

June 7, 2025
Puisi-puisi Emi Suy | Merdeka Sunyi

Puisi-puisi Emi Suy | Merdeka Sunyi

June 7, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [18]: Bau Gosong di “Pantry” Fakultas

June 5, 2025
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co