Umat Hindu Bali sempat digemparkan oleh keberadaan Pura Paluang. Pasalnya, pura mistis yang berlokasi di Dusun (Banjar) Karang Dawa, Desa Bunga Mekar, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung-Bali ini dianggap memiliki arsitektur yang tidak lazim. Dari 13 pelinggih yang ada, dua pelinggihnya berbentuk mobil. Persisnya berbentuk mobil jeep (Suzuki jimmy) yang dipercaya sebagai pelinggih Ida Bhatara Ratu Gede Ngurah (Siwa) dan Hyang Mami (Durga). Sementara, yang satunya lagi berbentuk mobil VW kodok (VW Beatle), pelinggih dari para pengikutnya. Kemudian, banyak umat Hindu penasaran. Referensi tatwa mana yang (kira-kira) dijadikan dasar pendirian pelinggih mobil tersebut?
Selama ini, umat Hindu Bali sudah memilikilandasan panduan rancang bangun arsitektur (pemujaan/ pelinggih) tradisional Bali yang dimuat dalam lontar Asta Kosala Kosali. Lontar ini memuat falsafah perwujudan arsitektur pura yaitu Tri Hita Karana, Panca Maha Buta dan Nawa Sanga.
Selain Asta Kosala Kosali, juga termuat dalam lontar Dewa Tattwa, Kusumadewa, Ithi Prakerti, Padmabhuwana, Anda Bhuwana, dan lain-lain. Landasan-landasan bangunan tradisional ini juga sangat terkait dengan ajaran etika dan moralitas kehinduan (Ida Pandita Dukuh Samiaga dalam Suyoga, 2019).
Jika mengacu pada sastra (lontar) yang ada, maka Pandita Dukuh Samiaga mengungkapkan bahwa pendirian pelinggih mobil dapat dikatakan tidak menggunakan landasan panduan rancang bangun Arsitektur Tradisional Bali, yang lazim digunakan oleh masyarakat Hindu Bali (Suyoga, 2019). Terus, pendirian pelinggih mobil itu menggunakan acuan (tatwa) yang mana?
Hingga kini, masyarakat setempat memang belum menemukan dasar tatwa (sejarah tertulis atau lontar) atas pendirian pelinggih mobil tersebut. Hal ini diakui oleh masyarakat di Karang Dawa. Beberapa referensi yang saya baca, hampir semuanya menyebutkan bahwa Pura Paluang atau Pura Mobil dibangun dari “fondasi mitos” yang kuat. Baik penglingsir, jero mangku, tokoh adat dan masyarakat setempat mengungkapkan hal sama.
Diceritakan dulu, warga Karang Dawa berniat membuka lahan perkebunan baru di area Pura Paluang. Dalam proses pengerjaannya, ditemukan sebongkah batu karang besar yang perlu dipindahkan ke tempat lain. Batu itu dipindahkan oleh warga. Namun, keesokan harinya batu itu kembali ke tempat semula. Kejadiannya tidak hanya sekali. Setiap dipindahkan, besoknya batu itu kembali lagi ke tempat semula. Aneh dan tidak wajar. Karena itu, warga memohon petunjuk kepada orang pintar. Dari hasil penerawangan orang pintar inilah, lahir petunjuk niskala untuk mendirikan bangunan suci di kawasan tersebut.
Menurut Jro Mangku Suar, awalnya dibuatkan pelinggih sederhana berupa tumpukan batu. Dalam perjalanannya, ada petunjuk sekala nyata dan niskala gaib bahwa Ida Bhatara yang berstana di Pura Paluang memiliki kendaraan “kereta” beroda empat tanpa kuda (menyerupai mobil). Sebelum ada pelinggih mobil, setiap piodalan di pura ini sering ada umat yang kerasukan dan meminta agar dibuatkan bangunan suci berbentuk kereta tanpa kuda/ mobil. Akhirnya, dibangunlah kedua pelinggih tersebut. Jadi, awalnya hanya ada dua pelinggih berbentuk mobil. Setelah banyak orang bersembahyang, dibangunlah pelinggih-pelinggih lainnya dan berkembang menjadi seperti saat ini (dalam Suyoga, SENADA Vol, 2, 2019).
Meski keluar dari pakem bangunan tradisional Bali, namun tidak menyurutkan hasrat berspiritual warga setempat. Berpuluh-puluh tahun (mungkin sudah hitungan abad), warga Karang Dawa menjadikan pelinggih berbentuk mobil sebagai tempat pemujaan. Cerita-cerita (mitos) yang diceritakan secara turun-temurun justru semakin menguatkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kebesaran dan kekuasaan Hyang Mami.
Bahkan, semakin ke depan, eksistensi “aura mistis” dari Pura Paluang semakin kuat menundukkan keyakinan masyarakat setempat. Pasalnya, eksistensi kuasa Hyang Mami kian nyata dirasakan oleh masyarakat Karang Dawa. Kesimpulan ini didapat dari kolerasi peristiwa-peristiwa nyata (dunia nyata) yang dialami oleh warga setempat. Misalnya, soal suara mobil misterius tengah malam.
Menurut cerita, saat malam hari warga setempat sering mendengar suara deru mobil, klakson dan melihat sinar yang terang melaju dengan kecepatan tinggi menuju arah barat laut. Namun, deru suara mesin itu terdengar sepintas, lalu menghilang di kegelapan malam. Beberapa warga tertentu bahkan pernah melihat secara langsung mobil gaib itu seperti bentuk mobil Jimmy Katana buatan Jepang.
Namun bedanya, bagian depan mobil gaib ini dililit oleh dua ekor naga, sama seperti pelinggih mobil di Pura Paluang. Mobil gaib ini konon sering keliling desa, kadang-kadang melaju di jalan, di udara, dan bahkan di atas laut (RADITYA No.253, Agustus 2018). Masyarakat setempat meyakini bahwa mobil gaib itu merupakan kendaraan Hyang Mami. Karena masyarakat setempat percaya bahwa pada malam tertentu Hyang Mami berkeliling memantau umatnya dengan mengendarai mobil.
Cerita mistis lainnya pernah dituturkan oleh Jro Mangku Suar. Dulu, waktu kecil, ayahnya pernah dirampok oleh 2 perampok bersenjata golok. Sang ayah sudah tak berdaya dan berpikir akan meninggal. Namun, tiba-tiba ayahnya mengingat Pura Mobil dan berdoa memohon keselamatan. Ketika golok hendak menebas leher sang ayah, tiba-tiba golok itu terpental karena ayahnya mendadak kebal. Malah, perampok itu dapat dilumpuhkan oleh sang ayah (https://bali.tribunnews.com/2015/09/04/).
Terkait dengan kekuatan Hyang Mami, Putu Gita menuturkan bahwa pernah ada warga lain terjebak air dalam goa karang saat mengambil sarang burung walet. Kemudian, dia teringat dengan Ida yang melinggih di Pura Mobil. Seketika itu pula, datang mobil menjatuhkan batu ke dalam air sehingga mendorong keluar goa. Akhirnya, goa tertutup dan orang itu selamat (https://bali.tribunnews.com/2015/09/04/). Dan masih banyak cerita-cerita mistis lainnya.
Riak Teologi Lokal
Tumpukan cerita-cerita mistis, yang berkaitan dengan eksistensi kekuatan Beliau (Ida Bhatara Ratu Gede Ngurah-Hyang Mami), kian menebalkan (menguatkan) kepercayaan dan keyakinan masyarakat setempat. Cerita mistis itu dipelihara secara turun-temurun. Diceritakan dari generasi ke generasi, tanpa riak pengingkaran. Semua warga setempat percaya bahwa mitos itu nyata dan hidup dalam setiap tarikan napas mereka.
Karena itu, pelinggih mobil diterima sebagai sebuah kebenaran. Kebenaran untuk menyalurkan hasrat religi baik personal maupun kolektif. Keyakinan terhadap kebenaran inilah yang membawa mereka merasakan kenyamanan berketuhanan—meskipun keluar dari pakem rancang bangun arsitektur tradisional Bali.
Dalam konteks ini, saya melihat ada semacam riak teologi lokal. Riak yang saya maksud adalah sejenis gejolak batin. Masyarakat Karang Dawa (kelompok masyarakat tertentu) hendak mengkaji ulang bahwa keseragaman berteologi (berketuhanan) bukan harga mati—walaupun sudah dianggap mapan.
Dengan kata lain, masyarakat Karang Dawa menginginkan celah kemerdekaan berteologi melalui simbol pelinggih mobil. Lewat simbol inilah mereka ingin menunjukkan bahwa sekelompok orang memiliki otoritas (caranya sendiri) dalam berketuhanan. Ya, mungkin mereka berpikir bahwa berketuhanan merupakan ranah (rasa) keyakinan/ kepercayaan. Ranah yang sebetulnya sangat subjektif. Jika terjadi perbedaan respon (pikiran, sikap, dan tindakan) antara satu atau kelompok orang dengan yang lainnya, mesti dihargai.
Namun demikian, bukan berarti otoritas dan subjektivitas ini lantas menjadi bias. Seolah-olah setiap personal dan kelompok orang “semau gue” merumuskan arsitektur pelinggih. Tentu harus ada fondasi yang kuat atas keputusan yang diambil. Setidaknya, keputusan itu memiliki latar belakang yang bisa dipertanggungjawabkan baik secara skala maupun niskala.
Dari uraian skala dan niskala sebelumnya, mungkin pendirian pelinggih mobil ini dapat diterima sebagai riak/ gejolak (baca: spirit kebebasan) berteologi lokal ala masyarakat Karang Dawa. Gejolak yang tentu saja berdasar, tidak ngawur. Mereka memiliki kronologi mitos (pengalaman mistis) yang panjang, mulai dari masa lalu hingga sekarang. Mitos-mitos itu hadir melalui pengalaman mistis (niskala) dan nyata (skala) yang dialami oleh warga lokal dan bahkan termasuk warga luar dusun.
Lalu, apakah modal mitos bisa dijadikan dasar berteologi (baca: merumuskan bentuk pemujaan)? Wah, saya belum pernah membaca tentang hal ini. Setahu saya, tidak sedikit (mungkin) pendirian pura di Bali dibangun dari latar cerita mistis (mitos). Saya tidak tahu, apakah cerita mistis merupakan salah satu syarat dalam pendirian tempat pemujaan. Rasanya tidak. Karena mitos tidak terukur. Sering irasional sehingga tidak kuat dijadikan prasyarat rasional.
Namun, kenyataan yang saya lihat justru mitos menguatkan rasa “keangkeran atau kesakralan” sebuah pura. Mitos menjadikan pura menjadi lebih berkharisma, mistis, sakral, metaksu dan lain sebagainya. Terserah. Mungkin Anda mengatakan ini perspektif lama. Cara pandang orang-orang zaman dulu, tetapi setidaknya ini yang dialami oleh banyak umat hingga sekarang. Sangat kontekstual dengan eksistensi Pura Paluang saat ini.
Mitos dan efek kuasa keangkeran ini menyebabkan Pura Paluang (yang secara arsitektur “nyeleneh”) disegani kesakralannya oleh kelompok keluarga tertentu (awalnya) hingga masyarakat luas. Menurut Jro Mangku Suar, awalnya pura ini adalah pura keluarga. Dalam perkembangannya, banyak orang berkunjung (masyarakat lokal Nusa, Bali daratan, dan orang luar Bali), dengan berbagai tujuan persembahyangan, seperti proses memohon kesembuhan, memohon “taksu balian”, keberhasilan usaha dagang, kesuksesan meraih jabatan politik, memohon keturunan, dan lainnya yang telah banyak berhasil.
Potensi pura ini semakin terlihat dan semakin naik daun dalam kancah pura yang patut diperhitungkan di Nusa Penida. Desa berinisiatif melakukan penataan dengan perluasan halaman pura dan penambahan sejumlah pelinggih. Selanjutnya, dikelola oleh pengurus pura tersendiri di bawah Dusun /Lingkungan Karang Dawa, Desa Bunga Mekar. Statusnya menjadi Pura Kahyangan Desa dan diempon oleh sekitar 80 Kepala Keluarga (dalam Suyoga, SENADA Vol, 2, 2019).
Lebih lanjut Jro Mangku Suar menuturkan bahwa Pura Paluang dianggap sebagai Pura Dalem, tetapi bukan Pura Dalem Kahyangan Desa, melainkan Pura Dalem Jagat, sama seperti Pura Dalem Ped di Desa Ped, Nusa Penida (RADITYA No.253, Agustus 2018).
Dalam perkembangannya, kini Pura Paluang justru kian melejit dan populer di kalangan umat Hindu secara luas. Hal ini tidak terlepas dari bentuk arsitekturnya yang dianggap unik (plus mitos-mitos kuat yang melatarbelakanginya). Suyoga melihat fenomena ini sebagai kontestasi pergulatan identitas. Ia melihat bahwa ada relasi wacana-kuasa-pengetahuan yang melatarbelakangi altar berbentuk mobil tersebut. Hasil ini diperoleh setelah melakukan penelitan dengan menggunakan pendekatan kritis Kajian Budaya (pendekatan pascastrukturalisme), metodologi genealogi kekuasaan Foucault dan teori relasi wacana-kuasa-pengetahuan dari Foucault.
Menurut Suyoga, ada kuasa pengetahuan yang kuat dalam mitos. Kuasa ini dikembangkan oleh para intelektual organik, yakni tokoh religius (pemangku) bersama tokoh adat dan dinas dusun Karang Dawa. Kemudian, pengetahuan di balik mitos itu ditangkap dan dikembangkan sebagai kuasa melalui media bangunan suci berbentuk mobil. Selanjutnya, relasi kuasa bekerja mendisiplinkan tubuh masyarakat Dusun Karang Dawa untuk patuh dan taat dalam praktik pemujaan di Pura Paluang. Kuasa disiplin bahkan sudah meluas mendisiplinkan tubuh masyarakat di luar wilayah Dusun Karang Dawa. Pendisiplinan tubuh ini tidak saja sebagai bentuk pemenuhan hasrat dan ekspektasi, perekat relasi sosial, tetapi sudah menjadi ideologi.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa secara arsitektural desain pelinggih mobil dipengaruhi oleh merk pabrik mobil tertentu (VW dan Suzuki), lalu ditransformasikan menjadi simbol keagamaan atau tanda religius. Pelinggih mobil yang di luar nilai dan norma tradisi tersebut, menurut Suyoga termasuk kategori budaya populer.
Hal ini sesuai dengan pemikiran Piliang yang memahami agama di dalam budaya populer berkembang bersamaan dengan industrialisasi, produksi massa, dan media massa. Justru karena label pop inilah, Pura Paluang dengan dua pelinggih mobilnya mampu bersanding dalam kontestasi identitas sebagai pura yang “wajib” dikunjungi bila melakukan perjalanan spiritual ke Nusa Penida (Suyoga, 2019).
Jadi, Suyoga lebih menyoroti eksistensi Pura Paluang dari unsur budaya pop dan konteks beragama kekinian. Namun, saya lebih tertarik membaca eksistensi Pura Paluang dari perspektif “kemerdekaan berteologi lokal”. Terserah. Anda mungkin memiliki perspektif yang berbeda. [T]