Bila dalam bumbu masakan Bali ada yang namanya basa genep maka dalam kumpulan cerpen berbahasa Bali, Aud Kelor, Carma Citrawati menyuguhkan kelor dengan berbagai rasa. Kelor yang lengkap: pedas, agak kelebihan jahe, asinnya pas mengunci cita rasa, ada juga yang terasa bukan seperti bumbu Bali. Ya, kelor yang bukan terasa seperti bumbu Bali sering kali dicecap, penuh kejutan di tiap alurnya sehingga pembaca digiring untuk selalu ke luar dari ekspektasi-ekspektasi rasa yang ingin dicari.
Aud Kelor menjadi “anak kedua” seorang Carma Citrawati setelah anak pertamanya bernama Kutang Sayang Gembel Madui lahir 2016 silam. Perjalanannya dalam mengasuh Kutang Sayang Gembel Madui, menjadikannya “ibu” yang lucu, serius, banyak akal, bahkan sesekali psikopat (maaf mungkin berlebihan) untuk menjadikan “anak pertamanya” sedikit penurut agar dia bisa melahirkan adik terbaik. Perjalanan “ngidam” Carma dimulai dari kesibukannya menonton drama Korea, membaca karya-karya penulis lainnya, membaca lontar, memasak makanan yang resepnya diganti, menertawai hidup, berdiskusi, dan yang paling sering: berbicara dengan bonsai milik suaminya (mungkin).
Seperti umumnya perempuan yang sedang “ngidam”, seperti itu pula Carma mencoba meramu berbagai macam ide-ide yang berlompatan di kepalanya. Tak bisa dielakkan kadang ide itu berakhir mangkrak, seperti darah yang luruh di dinding rahim, namun sekali lagi Carma bukan perempuan yang menyerah untuk itu. Tanpa larut dalam kesedihan, Carma mencoba ramuan-ramuan baru di setiap harinya, hingga melahirkan berbagai gaya dalam penyajian cerpennya.
Buku Aud Kelor memuat tiga belas cerpen yang kalau diperhatikan hampir sebagian besar tokoh dalam dalam cerpen menggunakan nama Kelor. Sungguh menggelitik, mengapa Kelor yang dipilih, mengapa bukan yang lain? Apa karena Kelor sedang naik daun untuk kesehatan? Atau karena ungkapan aud kelor dalam bahasa Bali berarti kondisi tak bersalah namun diikutkan menanggung kesalahan orang lain? Alih-alih dibela, namun menjadi kambing hitam? Kelor di sini lebih dari itu, Carma menghadirkan tokoh-tokoh Kelor yang satir, brutal, kalem, licik, cerdas, bijak untuk menjungkirbalikkan keadaan normal. Celakanya, Carma selalu berhasil memutar logika dengan baik, akhir cerita yang disiapkan tanpa terkesan dipaksa.
Satu hal yang membuat benar-benar terkejut, tiga belas cerpen sebagian besar menggunakan laki-laki sebagai tokoh utama. Kalau pun ada hanya satu judul cerpen saja pada Ka-rauh-an, selebihnya pada cerpen-cerpen lain tokoh perempuan hanya bagian dari konflik untuk menuju alur yang lain. Menarik bukan, penulis perempuan biasanya terjebak dalam eksplorasi keperempuanannya, yang kemudian menjadi pendukung garis keras feminisme. Carma tidak begitu. Sekali lagi Carma menjadikan “aku” diri sebagai “Kelor” laki-laki. Ataukah ini juga semacam meminjam karakter laki laki untuk menguatkan, bahwa suara perempuan akan didengar apabila lelaki yang bicara. Ya, di sini mari bersepakat tentang feminisme bukan sekadar urusan kelamin, tapi urusan karakter yang ada dalam diri tiap individu baik laki-laki maupun perempuan.
Pada cerpen yang berjudul Wayan Kelor misalnya, penulis menghadirkan nuansa komikal sekaligus satir yang terjadi di akhirat, saat tokoh Wayan Kelor dipaksa masuk akhirat atas catatan kematiannya yang mati dipatuk ular. Wayan Kelor yang logis dan sederhana, tidak ingin mati, dia hanya ingin pulang ke dunia, menjalani hidup sebagai manusia. Dialog penuh drama terjadi antara Wayan Kelor dengan Sang Suratma yang bertugas sebagai pencatat segala dosa dan karma baik manusia. Sang Suratma tidak menoleransi kesalahan sekecil apa pun, Sang Suratma tidak mau menerima alasan pada setiap hal buruk yang dilakukan meski pun itu tujuannya baik. Perhitungan Sang Suratma mutlak: salah ya salah. Di sini penulis hadir dengan percakapan yang menggiring membaca pada alur berikutnya, yaitu lahirlah kesepakatan Wayan Kelor mau masuk akhirat bilamana Sang Suratma turun dulu ke dunia menjadi Wayan Kelor. Sepakat pada akhirnya Sang Suratma yang mencoba menjadi Wayan Kelor frustasi hidup di dunia, lalu ingin kembali ke akhirat, sayangnya Wayan Kelor yang menjadi Sang Suratma membuat skenario baru: Sang Suratma tetap menjadi Wayan Kelor, Wayan Kelor menjadi Sang Suratma.
Keberanian Carma menggugat kemutlakan Sang Suratma melalui tokoh Wayan Kelor adalah bentuk perlawanan manusia terhadap hukum-hukum akhirat yang konon hanya melihat benar salah. Pikiran-pikiran liar untuk sesekali menukar posisi dewa dan manusia menjadi tawaran baru menyelesaikan akhir cerita, karena di masa-masa sekarang ini ada pelajaran agama juga yang patut digugat dan didiskusikan agar tidak menakutkan. Bukankah agama itu pekerjaan, sehingga setiap pekerjaan memang selalu harus diperbaharui kontraknya untuk bisa tetap langgeng?
Carma dalam cerpen Gamongan Kladi Jaé terlihat sangat rapi dalam menuntun pembaca mencari-cari aroma bangkai yang dicium oleh tokoh Lecir. Penggambaran ketakutan tokoh Lecir membuat pembaca bertanya-tanya apa yang terjadi terdahulu, bagaimana bisa ada bau bangkai di rumah tetangganya yang mahajudes bernama Pan Puspa padahal rumah itu sudah ada penghuni baru setelah Pan Puspa menghilang entah ke mana. Lalu siapa penghuni barunya itu, mengapa ada bau bangkai lagi setelah penghuni itu datang. Lecir bertanya-tanya penuh ketakutan, hingga mencoba berkenalan dengan penghuni barunya. Apa yang terjadi? Saya mencoba untuk tidak mengungkapkannya di sini, bagi yang belum membaca silahkan membaca Gamongan Kladi Jaé, sebab saat saya membaca ini, jujur saya merasa terteror. Yang jelas, Carma berhasil dengan sabar meneror pembaca dan menggiring pembaca untuk mengetahui nasib tokoh Lecir setelah mencium bau bangkai serta apa yang sesungguhnya terjadi di rumah Pan Puspa. Ini sama terterornya saat menonton drama Korea, Terius Behind Me.
Sementara pada cerpen lainnya, Ka-rauh-an, Carma menghadirkan dua tokoh perempuan yang mengintimidasi dan terintimidasi dalam sebuah percakapan yang dibalut dalam pengamatan penulis tentang maraknya karauhan di sekolah. Sekali lagi, Carma cukup berhasil memainkan emosi pembaca dengan dialog yang dominasi oleh tokoh Wayan Murni. Diceritakan Wayan Murni dan Luh Suti adalah sama-sama guru di sekolah favorit, keduanya sedang mengawas ujian, keduanya memiliki nasib yang sama: janda. Percakapan Janda Murni cukup membuat marah Janda Suti, keduanya lalu saling cakar, saling teriaki, murid-murid ketakutan (ada yang melompat ada yang berlari), wartawan menyerbu, kepala sekolah panik. Apa isi percakapan dan bagaimana kepala sekolah meredam isu, Carma mencoba menggali konflik lain tentang janda yang bukan hanya rebutan pacar tetapi juga tentang kesetiaan pada keluarga. Membaca cerpen ini, seperti melihat dunia “perjandaan” lainnya yang ada di Bali.
Kurungan adalah cerpen Carma yang menghadirkan lima kepribadian dalam satu diri tokoh bernama Wayan Kacrut. Pergantian satu kepribadian dengan kepribadian lain digarap dengan sangat teliti oleh Carma, kontruksi konflik yang dibangun menjadikan Kurungan layak disebut gaya baru penulisan cerpen berbahasa Bali. Sepertinya saat “ngidam” cerpen ini, Carma sedang tergila-gila dengan eksplorasi tokoh Cha Do Hyun dalam drama Korea Kill Me Heal Me. Eksplorasi yang tidak dipaksa melahirkan karya yang bernas dalam cerpen Kurungan.
Selain empat cerpen tersebut Carma juga mengangkat fenomena-fenomena sosial yang terjadi seperti dalam cerpen PNS (tokohnya dipaksa menjadi PNS oleh ayahnya), Me (anak lelaki yang menikahi ibunya), Maberuk Tanah (absurbditas sorga neraka dengan jalan cerita yang cukup sunyi), Pingit (kesepian seorang ayah atas kesalahannya), Keneh Pasih (tentang reklamasi), Majalan Puyung (tentang menjual warisan).
Secara keseluruhan, dibanding Kutang Sayang Gembel Madui, Carma memperlihatkan kemajuan dalam gaya penulisan dan keutuhan cerita. Hanya saja dalam beberapa cerpen, masih ditemui kesan ekshibisionis dimana penulis mencoba menampilkan pengetahuan personalnya ke dalam tokoh. Penjelasan tampak berpanjang-panjang dalam narasi dan dialog sehingga tema yang diangkat jadi tidak tajam, cenderung datar. Pilihan menggunakan percakapan yang seolah “terlalu apa adanya” juga membuat cerita kehilangan greget dan sisi urgensinya.
Terakhir, selamat mencicipi olahan kelor dalam Aud Kelor, jika cita rasa kelornya belum ditemukan di awal, bersabarlah, kunyahlah tiga puluh dua kali: temukanlah. [T]