SAAT ini, pendidikan bukan barang mewah. Hampir setiap orang tua masa kini punya anggapan paten, bahwa sekolah adalah hal wajib yang harus diterima anaknya. Anak-anak punya hak untuk bersekolah.
Sekolahnya pun tidaklah sebentar. Bukan hanya dua belas tahun, tapi lebih dari itu. Bisa 16 tahun jika menempuh pendidikan S2, bisa ditambah lagi 2 tahun jika S2, ditambah lagi 4 tahun jika mau gelar doktor. Atau bisa ditambah bertahun-tahun jika tak tak lulus-lulus, atau malas mengerjakan skripsi/tesis/disertasi.
Sekolah begitu tinggi, dan belajar begitu lama, tentu ada sesuatu yang hendak dikejar. Salah satunya, apalagi kalau bukan gelar. Gelar itu biasa dimanfaatkan untuk mencari pekerjaan. Pekerjaan yang relevan dengan pendidikan yang sudah ditempuh, tentunya.
Kalau pekerjaan tidak relevan, artinya gelar tak terpakai. Pendidikan tinggi-tinggi pun sia-sia rasanya. Semisal, pernah bersekolah tinggi di sebuah universitas pendidikan, tapi, ketika bekerja malah memilih untuk tidak menjadi guru karena sesuatu dan hal-hal lain.
Kondisi seperti itu bisa saja terjadi karena ketersediaan lapangan pekerjaan yang relevan dengan pendidikan yang ditempuh tidak tersedia banyak. Kalau pun ada, mungkin sulit untuk menembusnya. Saingan begitu banyak. Ya, karena banyak yang sekolah tinggi-tinggi.
Dunia sekolah dan dunia kerja itu memang agak aneh, kadang tak nyambung. Sarjana yang punya gelar, bisa juga mendapat pekerjaan bukan semata karena pendidikannya yang cemerlang. Ada yang dapat kerja karena keberuntungan. Banyak orang yang iseng, melamar pekerjaan, coba-coba, eh tahunya dapat. Padahal saat kuliah nilainya C melulu.
Ada juga sarjana yang mendapat pekerjaan karena punya koneksi, misalnya salah satu anggota keluargnya, atau mungkin tetangganya, jadi pejabat penting yang bisa memuluskan jalan menuju kursi pekerjaan.
Tapi, selain dua tipe peraih kerja yang tersebut di atas, syukurlah masih banyak pencari kerja yang diterima bekerja karena usaha dan kemampuannya sendiri. Lulus murrni, kata orang.
Nah, bagi kawan yang sudah coba-coba, yang tak punya koneksi atau keluarga atau tetangga pejabat, dan yang sudah berusaha tapi tak lolos-lolos juga, sudahlah jangan berkecil hati. Kalau sudah begini, yang harus dilakukan adalah terus dan teruslah berusaha.
Bukankah sering mendengar nasihat penghibur, bahwa hasil itu tidak mungkin menghianati usaha? Jadi, semangatlah. Semangat!
Tapi, kalau semua usaha sudah dilakukan dan tak juga membuahkan hasil, bagaimana kalau sebaiknya tanggalkan saja gelar yang dipunya? Ini saran saja, lho ya. Kalau tidak setuju juga tidak apa-apa. Siapa tahu tidak rela gelar sarjananya ditanggalkan.
Oh ya, pernah tidak kalian curiga, jangan-jangan gelar itulah yang menghabat kemajuan hidup kita? Justru gelar sarjana itulah yang membuat kita tak mau bekerja sehingga tak dapat-dapat kerja? Mungkin saja gelar itu menganggu pikiran kita?
Sebab, pernah ada seorang teman, sarjana, yang menolak mentah-mentah anjuran saya untuk menjadi cleaning servis di sebuah instansi. Padahal, dia sedang membutuhkan biaya untuk hidup.
Bukan bermaksud memberi pekerjaan yang jelek. Saya pikir dia menerima karena sebelumnya dia bilang dengan sangat dramatis, tragis dan memprihatinkan kalau ia benar-benar sedang butuh uang.
“Masak aku sarjana, kerjanya jadi tukang bersih-bersih,” kata dia, sang sarjana.
Nah, itu membuktikan bahwa gelar bisa membuat kita tidak bergerak. Tak punya ide. Tak kreatif. Gelar bisa menjadi beban bagi pemiliknya.
Sebagian besar orang memilih untuk bersekolah tinggi dan mengejar sebuah gelar hanya untuk mengubah nasib mereka. Mengubah nasib mungkin maksudnya menjadi pekerja kantoran. Lalu, kalau itu-itu saja yang ingin dicapai, padahal sudah tidak ada harapan lagi, apakah kita mau, sebagian waktu hanya dihabiskan untuk menunggu?
Menunggu pekerjaan yang tak datang-datang itu sama seperti menunggu kekasih yang tak jua mau diajak menikah padahal umur sudah tidak bisa diajak kompromi. Ya boro-boro sang kekasih mau diajak nikah, wong kerja saja belum.
Kita bisa lupa pada sekolah tinggi, tapi tak boleh lupa pada tujuan kita bersekolah tinggi. Yakni untuk mengubah nasib. Nasib baik, tentunya. Kalau tidak mendapat pekerjaan yang dinginkan sampai berbulan-bulan lamanya, demi bisa menjadi pegawai kantor, apa itu disebut nasib baik? Kalau tidak mendapat penghasilan selama berbulan-bulan, apa itu juga disebut nasib baik?
Untuk sementara ini, lakukan pekerjaan yang ada saja. Yang tersedia. Kalau ada lowongan menjadi pedagang, kasir, atau cleaning servis, ya diambil saja. Ya, meski pun status dari orang yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan macam itu tidak cukup keren, tapi pekerjaan-pekerjaan itu halal.
Kadang-kadang, hidup tidak melulu soal status. Meski pun kita sering mendengar bahwa di mana-mana lingkungan mementingkan status. Buktinya saja bekerja di mana dan sebagai apa adalah dua pertanyaan yang masih berserakan di lingkungan sekitar. Ya itu wajar-wajar saja.
Sebab, pertanyaan macam begitu kadang serius, kadang juga untuk berbasa-basi. Ya kalau hanya basa-basi saja, mau pekerjaan kita buruh cuci baju sekali pun, mereka tak akan hirau. Tapi, kalau serius ingin tahu dan memberikan penilaian terhadap diri kita, bagaimana? Pertanyaan mereka cukup menjadi ancaman untuk kalian pasti.
Dalam keadaan seperti ini, mendengar memang penting dan baik. Begitu pula lingkungan. Bertanya, berbasa-basi, berbicara, itu juga baik. Tapi, buat kita, percayalah bahwa ada yang patut didengar, ada yang tidak patut. Sama seperti berbicara, ada yang patut dibicarakan, ada juga yang tidak. (T)