Di Facebook saya melihat sebuah video menggelitik. Wawancara petinju Muhammad Ali yang membahas soal rasialisme. Ali mempertanyakan tampilan seorang Yesus.
Ia bertanya kenapa Yesus kulitnya putih, rambut pirang dan matanya berwarna biru? Kenapa hingga malaikatnya juga seperti itu? Ke mana malaikat yang kulitnya berwarna hitam?
Pertanyaan tadi memancing tawa dari audien yang melihat langsung wawancara itu.
Ali juga mempertanyakan kenapa Tarzan yang hidup di belantara hutan Afrika berkulit putih? Kenapa orang Afrika yang berkulit hitam dan singa di sana menjadi musuh Tarzan? Sekali lagi statemen “si mulut besar” berhasil memancing tawa penonton.
Pada periode 60-an rasialisme di Amerika masih tinggi. Bahkan seorang Martin Luther King Jr pada 28 Agustus 1963 dikenang dengan pidato “I have a dream” karena menentang perbedaan ras berdasarkan warna kulit. Kini, rasialisme itu meledak ketika kasus kematian George Floyd.
Saya tidak tahu apa yang terjadi setelah wawancara Ali yang membicarakan soal Yesus dan Tarzan. Setelah menonton, saya tersenyum dan merenung. Ternyata ada yang salah dengan cara pandang kita terhadap warna kulit.
Muhammad Ali juga dikenal sebagai sosok berpengaruh sekaligus kontroversi. Juara kelas berat tiga kali ini bahkan pernah diskors ketika menjalani wajib militer karena menentang perang Vietnam.
Putih dan citra oleh media
Berbicara tentang warna kulit beberapa waktu saya sempat membaca buku yang berjudul Putih, penulisnya L. Ayu Saraswati. Buku ini membahas soal warna kulit dan ras, serta kecantikan di Indonesia dan transnasional.
Alasan saya membeli dan ingin membaca buku ini karena saya sedang patah hati. Ini agak absurd sich.
Namun, entah kenapa saat itu saya berpikir perlu mengatur ulang terkait “selera” terhadap perempuan.
Saya sebenarnya seperti orang kebanyakan, suka melihat perempuan berkulit putih, rambut lurus, langsing, muka yang bersih dan mulus serta enak dipandang.
Selama masa pacaran, ciri di atas memang menjadi kriteria saya untuk mencari pasangan.
Namun, semuanya berubah ketika saya berkeinginan membentuk rumah tangga. Bagi saya pasangan untuk rumah tangga tidak hanya bisa diukur dari tampilan fisik.
Lebih dari itu, sikap dan visinya terhadap rumah tangga lebih penting.
Oh ya, saya merasa saat ini sudah on the track ya dalam urusan rumah tangga,hehehee.
Dari buku Putih saya memahami bahwa selera “kita” terhadap perempuan yang dikatakan “putih” dibentuk oleh media.
Misalnya, naskah-naskah kuno seperti Ramayana dan Mahabarata menggambarkan seorang perempuan cantik tampak seperti bulan yang bercahaya.
Sekilas kita lihat bulan purnama akan tampak putih kekuningan. Ya, cantik adalah putih. Kalau di Indonesia bisa ditambah kuning langsat.
Jadi, terlepas dari pilihan individu soal pasangan. Menurut saya, persoalan seperti agama, suku dan ras harusnya kita bisa bicarakan dengan lebih slow bahkan mungkin jenaka seperti yang dilakukan oleh Muhammad Ali.
Satire
Ali mungkin tidak ada maksud memperkeruh suasana rasisme di Amerika dengan statemennya itu, apalagi menyingung soal keyakinan. Meski dia adalah seorang mualaf. Saya melihat apa yang dilakukan oleh “The Gretest” adalah satire yang berangkat dari pengalaman masa kecilnya.
Namun, berbicara soal satire, sepertinya beda yang dialami oleh komedian, Emon Bintang yang mengomentari kasus Novel Baswedan. Ia dilaporkan ke Kementerian Komunikasi dan Informasi.
Memang video yang berdurasi tidak lebih dari dua menit ini membuat kita tersenyum, karena telah mengomentari ironi hukum di negeri ini.
Video Muhammad Ali dan Emon Bintang merupakan kritik atas ketimpangan yang terjadi di masyarakat. Kritik tidak harus ditanggapi serius, tapi juga bisa membuat tawa. Namun, tertawalah sebelum itu dilarang atau dilaporkan. [T]