Selain Nusa Penida (NP), rasanya tidak ada lagi distrik (kecamatan) yang berbentuk kepulauan di Provinsi Bali. NP merupakan satu-satunya kecamatan di Kabupaten Klungkung (termasuk di Bali) yang berbentuk kepulauan. Distrik Nusa Penida terdiri atas 3 gugus pulau yaitu Pulau Nusa Penida (luas 191,4625 km2), Pulau Nusa Lembongan (8,6875 km2), dan Pulau Nusa Ceningan (2,6875 km2). Apakah istimewa distrik berbentuk kepulauan?
Menurut saya, pertanyaan ini memerlukan fakta, pemahaman dan rasa yang jujur. Itu pun tidak menjamin keseragaman perspektif. Celah-celah perbedaan (variasi) cara pandang tetap terbuka baik antara sesama masyarakat NP, apalagi dengan masyarakat luar. Karena itu, saya mencoba memulai melihat realitas status kepulauan NP dari kacamata sejarah yaitu zaman kerajaan Klungkung.
Zaman kerajaan Klungkung, status kepulauan NP justru dipandang potensial sebagai wilayah pengasingan yaitu pembuangan orang bermasalah dari Klungkung, Gianyar dan Bangli (Sedimen, 1984). Kepulauan NP dianggap memiliki kelebihan karena jauh dari Bali daratan, arus lautnya deras, dan bergelombang tinggi sehingga sulit bagi para napi meloloskan diri. Alasan lainnya ialah kondisi geografi kepulauan NP yang tandus dan musim kemarau yang relatif panjang. Di tambah lagi stereotip bahwa NP menjadi pusat ilmu hitam zaman itu.
Dengan kata lain, kerajaan Klungkung memandang bahwa status kepulauan NP merupakan kenyataan diri yang justru merugikan. Kelautan tidak dipandang sebagai potensi yang mesti diberdayakan. Sebaliknya, kelautan dipandang sebagai jarak atau penghalang dinamika dan kemajuan. Maklum pula, moda transportasi laut zaman dulu sangat sederhana. Hanya jukung kecil dan digerakkan dengan tenaga manusia (didayung plus angin melalui layar).
Ya, wajar saja kepulauan NP dipandang sebagai ikon keterasingan, terisolasi dan terbelakang. Pertimbangan inilah yang menyebabkan kerajaan Klungkung memanfaatkan wilayah NP sebagai tempat pembuangan—meskipun kebijakan ini sesungguhnya kental berselubung misi akulturasi yaitu pengikisan karakter ke-nusa-an orang NP. Namun, di permukaan justru konotasi pembuangan berhembus lebih kuat—menguatkan citra negatif NP yang terisolir sebelumnya. Faktor inilah yang mungkin menyebabkan beberapa literasi barat memberikan predikat bandit island kepada NP.
Kerajaan Klungkung berdiri setelah Gusti Agung Jambe (putra Dalem Di Made) mengalahkan pemberontakan I Gusti Agung Maruti. I Gusti Agung Jambe tidak mau bertahta di Gelgel, tetapi memilih tempat pemerintahan baru di Semarapura yaitu Puri Agung Klungkung pada tahun 1686 (Wikipedia.org).
Kerajaan Klungkung berakhir dengan perang Puputan Klungkung tahun 1908. Kerajaan Klungkung melakukan perlawanan dengan cara puputan dalam mempertahankan eksistensinya sebagai kerajaan yang merdeka terhadap meluasnya praktik politik kolonial Belanda di nusantara.
Pada 25 Juli 1929, pemerintah Hindia Belanda merestorasi kepemimpinan kerajaan Klungkung dengan mengangkat Dewa Agung Oka Geg sebagai Regent. Selanjutnya, setelah kemerdekaan Republik Indonesia (1950), Klungkung hanya berstatus sebagai sebuah kabupaten di dalam pemerintahan Provinsi Bali. Tahun 1977, Tjokorda Gde Agung menjadi bupati pertama Klungkung (Wikipedia.org).
Pasca kemerdekaan RI, status kepulauan yang disandang oleh NP tetap menjadi batu sandungan. Masuk menjadi bagian dari empat kecamatan di Kabupaten Klungkung, kemajuan masyarakat NP tampaknya “tersandera” oleh realitas kepulauan. Dibandingkan dengan kecamatan lainnya, pembangunan infrastruktur di NP mungkin lebih minim. Dinamika pembangunan bergerak cukup lambat.
Bisa jadi Pemda Klungkung berkilah karena faktor kepulauan membutuhkan biaya operasional pembangunan yang tinggi. Di sisi lain, PAD Klungkung masih cukup rendah. Umumnya, BPS Provinsi Bali mencatat bahwa pendapatan Klungkung bertengger di kisaran ranking 3 terbawah dari 9 kabupaten/ kota di Bali. Mungkin inilah yang menyebabkan “jalan utama” di NP hanya berukuran kurang lebih 4-5 m, dengan aspal kasar hingga puluhan tahun. Belum lagi, pengadaan air bersih (PDAM), layanan kesehatan dan penerangan (listrik) yang masih dirasakan kurang maksimal dan belum merata. Di tempat saya, layanan air PDAM dan listrik baru masuk sekitar tahun 200-an.
Di samping itu, sikap dan cara pandang masyarakat Klungkung daratan juga setidaknya berpengaruh terhadap kebijakan Pemda Klungkung terhadap NP. Anggapan sisa-sisa preseden buruk (terhadap NP) zaman kerajaan oleh beberapa masyarakat Klungkung belum habis seratus persen. Ada kelompok masyarakat tertentu (tidak semua) seolah-olah merasa lebih tinggi dengan masyarakat NP. Bahkan, konon indikasi ini kadangkala merembes ke ranah tatanan game politik yang berujung pada kebijakan berbau deskriminatif.
Seiring berjalannya waktu, kesetaraan masyarakat perlahan-lahan mencair. Namun, potensi kelautan NP tidak disentuh dan digarap secara maksimal oleh Pemda Klungkung. Kepulauan tetap menjadi alangan atau hambatan. Kelautan adalah persoalan jarak yang merepotkan pemerintah dalam memajukan masyarakatnya. Seolah-olah kepulauan menjadi semacam legitimasi bagi pemerintah untuk mengabaikan kesejahteraan masyarakatnya.
Potensi Kelautan (kepulauan) Nusa Penida
Di penghujung tahun 80-an, budidaya rumput laut mulai berkembang di pesisir NP. Fenomena ini mematahkan bahwa laut NP tidak hanya sebagai ladang mencari ikan bagi nelayan saja, tetapi juga ladang bertani rumput laut. Sepanjang tahun 90-an, rumput laut mengalami kejayaan—mendongkrak perekonomian masyarakat NP (terutama daerah pesisir) dengan cukup signifikan. Setahu saya, segala akvitas bertani rumput laut dilakukan secara swadaya oleh masyarakat, tanpa campur tangan dari pemerintah daerah. Sayangnya, di akhir-akhir tahun 200-an, rumput laut mati total, kecuali di Pulau Nusa Lembongan dan Ceningan.
Sekitar tahun 2015, potensi kepulauan NP (baca: Pulau NP) mulai mendapat perhatian karena terdampak pariwisata. Sentuhan pariwisata ini diawali dengan promosi kepulauan NP yang gencar dari pihak Pemda Klungkung, pihak swasta, dan pelaku wisata di berbagai media.
Sementara itu, Pulau Nusa Lembongan jauh sebelumnya terdampak pariwisata. Seingat saya, tahun 1988 saya pernah menginap di daerah Jungutbatu. Pada tahun itu, saya sudah melihat beberapa wisatawan asing berseliweran di pantai. Akan tetapi, tidak seramai belakangan ini (sebelum pandemi covid-19).
Dalam konteks pariwisata, realitas menjadi kepulauan menyebabkan NP tampak istimewa (memiliki kelebihan). Pariwisata di kepulauan NP berkembang dengan cepat. Hanya membutuhkan waktu kurang lebih 4-5 tahun, kunjungan wisatawan ke NP terus menanjak hingga menembus angka ratusan ribu per harinya.Pada tahun 2018 misalnya, jumlah realisasi kunjungan wisatawan mencapai 253.472 orang per hari dari target semula 343.979 (radarbali.jawapost.com).
Lalu, apa yang menjadi daya tarik (magnet) kepulauan NP? Keindahan alam. Saya menyebutnya dengan istilah “whisky geografi” yaitu pesona geografi (alam) yang indah dan khas kepulauan. NP memiliki laut, teluk, tebing, dan pantai yang tersohor dan “memabukkan” (baca: menarik) para wisatawan. Misalnya, Crystal Bay, Broken Beach, Thousand Island, Kelingking Beach dan lain sebagainya.
Tak tanggung-tanggung, Kelingking Beach masuk dalam daftar ranking ke-9 pantai tercantik di asia versi CNN Travel, dan ranking ke-19 pantai tercantik sedunia versi TripAdvisor (Kompas.com). Tidak hanya itu, kepulauan NP juga sempat menyandang predikat peringkat 1 dunia sebagai destinasi backpacker 2020 versi Hostelworld.
Efek pariwisata seolah-olah menggali dan mengangkat potensi kepulauan NP. Status kepulauan yang dimiliki oleh NP menjadi semacam keistimewaan. NP memiliki pantai, tebing, teluk dan terutama pemandangan bawah laut yang indah. Karena itu, NP mempunyai beberapa spot wisata bawah laut yang diburu oleh para diving atau snorkeling. Beberapa tempat favorit itu misalnya Manta Bay, Budha Tempel, Crystal Bay Beach, Gamat Bay, Mangrove Point dan lain sebagainya. Perairan NP memanjakan mata para diving dan snorkeling dengan keindahan terumbu karangnya, variasi ikan karang termasuk ikan besar seperti ikan pari manta raksasa. Bahkan, beberapa titik perairan NP juga dihuni oleh ikan purba yaitu mola-mola.
Potensi kepulauan inilah yang memancing beragam tipekal wisatawan mengunjungi NP. Sebab, medan-medan rekreasi menjadi lebih beragam dan variatif. Belum lagi, wisata air terjun (mata air), bukit dan wisata spiritual (pura-pura). Sekali lagi, dalam konteks terimbas pariwisata, sesungguhnya NP adalah istimewa. Kita dapat mengatakan bahwa “hanya dalam satu wilayah kecamatan” tetapi mampu mengakomodir berbagai tipekal objek wisata (objek pantai, spot wisata bawah laut, tebing, bukit, air terjun, wisata spiritual).
Kompleksitas tipekal rekreasi itu juga secara otomatis melebarkan lapangan pekerjaan terutama di sektor pariwisata. Tidak cukup memberdayakan masyarakat ahli menyetir, pemandu wisata (guide), waiter/ waitress, dan lain-lainnya. Akan tetapi, terbuka juga misalnya menjadi kapten boat dan instruktur diving/ snorkeling.
Artinya, jika potensi kepulauan (kelautan) NP diberdayakan secara lebih maksimal, tidak menutup kemungkinan NP akan berkembang menjadi distrik yang spesial—melebihi kecamatan-kecamatan lain di Bali daratan. Namun dengan catatan, hambatan-hambatan sebagai status kepulauan harus bisa diminimalisasi terutama oleh peran pemerintah.
Selama ini, hambatan-hambatan kelautan itu menjadi persoalan klasik bagi NP. Contoh paling prinsip misalnya masalah transportasi laut dan pelabuhan modern (untuk kapal besar). Hingga kini, hanya tersedia satu pelabuhan modern dan satu kapal roro (milik Pemda Klungkung). Fasilitas ini masih dianggap kurang representatif dalam mengantisipasi keringanan biaya hidup di NP. Selain kapalnya lumayan kecil, trip perjalanan terbatas karena Klungkung daratan belum memiliki pelabuhan tersendiri. Untuk sementara, meminjam pelabuhan di Padang Bay, Karangasem.
Di samping itu, dampak pelabuhan dan kapal modern tersebut juga dirasakan tidak merata oleh masyarakat NP. Karena berada di Pulau NP, masyarakat yang tinggal di Nusa Lembongan dan Ceningan tidak merasakan dampak pelabuhan-kapal roro ini secara langsung.
Tanpa disadari, pembangungan infrastruktur NP lebih cenderung difokuskan di daerah Pulau NP. Pelabuhan modern, listrik, sarana kesehatan dan lain-lain (termasuk kantor camat, polsek) berada di Pulau NP. Ya, dilematis memang. Mungkin Pemda Klungkung berpandangan bahwa mayoritas penduduk NP mendiami Pulau NP. Sekali lagi, ini salah satu kasus klasik kepulauan dan biaya pembangunan—tetapi harus dicarikan solusinya.
Jika pernah berhembus rumor NP dimekarkan menjadi 2 kecamatan, bisa jadi sumbernya berasal dari pembangunan yang kurang merata tersebut. Sebab, memang sepatutnya pembangunan di NP harus dinikmati secara merata oleh semua masyarakat, tak memandang mereka tinggal di wilayah mana.
Karena itu, isu pelabuhan segitiga emas, yang gencar diwacanakan oleh Pemda Klungkung dewasa ini, mungkin hendak menjawab (solusi) atas kekurangmerataan pembangunan di NP. Hal ini mungkin dirasakan oleh masyarakat terutama yang tinggal di Nusa Lembongan, Jungutbatu dan Ceningan.
Pelabuhan segitiga emas yang digadang-gadang itu meliputi Dermaga Sanur (Denpasar Selatan), Dermaga Sampalan (Nusa Penida, Klungkung), dan Dermaga Bias Munjul Ceningan (Nusa Penida, Klungkung). Semula, pelabuhan segitiga emas meliputi Dermaga Pesinggahan (Desa Pesinggahan, Kecamatan Dawan, Klungkung), Dermaga Sampalan (Desa Sampalan, Kecamatan Nusa Penida, Klungkung), dan Dermaga Bias Munjul Ceningan (Desa Lembongan, Kecamatan Nusa Penida, Klungkung). Namun, dalam perkembangannya, Dermaga Pesinggahan tidak masuk dalam pelabuhan yang dikawal oleh pemerintah pusat.
Rencananya, pembangunan pelabuhan Sampalan akan dibangun dua lantai dengan luas area kolam 9 hektar dan kapasitas sandar 10 fast boat. Estimasi biayanya mencapai Rp 98 miliar, sedangkan pelabuhan Bias Munjul akan dibangun terkoneksi antara fast boat dan kapal Ro-ro, dengan estimasi biaya sebesar Rp 138 miliar. Menurut Bupati Suwirta, pelabuhan segitiga emas ditarget sudah selesai periode 2022-2023 (www.nusabali.com).
Saat ini, Detail Engineering Design (DED) Dermaga Sampalan sudah siap. Sedangkan, DED untuk Dermaga Bias Munjul Ceningan sedang dalam pembuatan. Menurut Sekda Klungkung, I Gede Putu Winastra, penetapan lokasi sudah ada rekomendasi oleh Bupati. Tinggal menunggu rekomendasi Gubernur Bali untuk selanjutnya diajukan ke Kementerian Perhubungan (www.nusabali.com).
Jika pelabuhan segitiga emas itu betul-betul terwujud, saya berkeyakinan bahwa masalah klasik kepulauan (kelautan) NP dapat diretas secara perlahan-lahan. Artinya, harapan mencapai kehidupan yang lebih maju sangat mungkin diraih oleh masyarakat NP secara merata. Pelabuhan tersebut tidak sekadar melancarkan arus penyeberangan, tetapi potensial untuk mendatangkan pendapatan. Pun akan dapat menggali potensi kelautan NP dengan lebih optimal. Dalam konteks ini, pelabuhan dengan sendirinya menjadi kelebihan yang dimiliki oleh NP sebagai kecamatan yang berbentuk kepulauan. [T]
______
BACA: Tulisan lain tentang Nusa Penida dari penulisKetut Serawan
______